Kamis, 31 Oktober 2013

Tara, Ello dan Alfons: Katarsis



Tara Johandi, seorang gadis belia berpikiran dewasa, putri dari pasangan Bara dan Tari Johandi yang merasa lahir dari orang tua yang salah. Sejak kecil Tara sudah membenci kedua orangtuanya, namanya, dan keadaan di sekitarnya. Tak ada panggilan ayah atau ibu kepada kedua orangtuanya, yang ada hanyalah panggilan nama, Bara, atau Tari kepada mereka. Saking bencinya, Tara juga tak ingin dipanggil sesuai namanya, nama gabungan antara Bara dan Tari. Obsesi Tara sejak kecil memang sudah terlihat aneh, ia akan merasa berdesir dan mempunyai sebuah perasaan yang tak tergambarkan apabila ia melihat atau membaui darah, hal ini pula yang membuatnya tak takut kepada siapapun, bahkan untuk melakukan tindakan keji sekalipun. Empat orang anggota keluarga telah menjadi korban kebiadabannya, suatu kebiadaban yang didasarkan rasa benci pada mereka, serta rasa takjub terhadap darah. Satu lagi obsesi aneh Tara yaitu mengenai uang logam lima rupiah. Uang yang selalu dipegangnya, dibawanya kemana saja, hasil dari pengalaman waktu kecilnya saat ia bertemu seseorang yang nantinya mempunyai obsesi besar terhadap diri Tara.

Marcello Ponty, biasa dipanggil Ello, seorang laki-laki yang lahir dari keluarga brokenhome. Ello mempunyai sebuah kelainan yaitu tidak bisa merasaka rasa sakit. Ini kali kedua saya menemukan tokoh yang mengalami kelainan ini. Sebelumnya, ada seorang tokoh di buku The Girl Who Played with Fire yang juga mengalami keadaan seperti ini. Ello yang jauh dari ayahnya tiba-tiba pulang ke rumah ayahnya, ia tahu semua yang telah dilakukan oleh ayahnya, mengenai kotak perkakas, serta mengenai obsesi ayahnya terhadap permainan harta karun dengan menggunakan kotak perkakas sebagai kotak harta karun dan manusia yang dimasukkan ke dalamnya sebagi harta karunnya. Ia mengikuti jejak ayahnya bermain pencarian harta karun dengan satu orang gadis obsesinya selama ini, yaitu Tara Johandi, yang dulu merupakan seorang gadis kecil yang ia beri koin lima rupiah sebagai obat untuk menahan rasa sakit.

Katarsis memiliki arti penyucian diri; suatu metode psikologi untuk menghilangkan beban mental seseorang; dan kelegaan jiwa / emosional diri. Bisa dibilang arti dari katarsis sendiri ketiga-tiganya tergambarkan di dalam novel ini. Arti pertama yaitu mengenai penyucian diri, ini terjadi kepada Ello dan ayahnya. Mereka berdua, terutama ayah dari Ello menganggap dengan bermain harta karun dengan manusia sebagai hartanya mereka telah mencapai sebuah tingkatan diri menjadi lebih suci. Ada rasa puas tersendiri ketika mereka melakukan hal ini, terutama ketika mayat yang berada dalam kotak perkakas ini ditemukan oleh masyarakat luas. Memang, terdengar psycho, tapi ini kenyataannya. Poin kedua yaitu mengenai metode psikologi yang dilakukan guna menghilangkan beban mental sesoerang dengan membiarkan orang itu menceritakan segala yang dirasakannya. Hal ini lah yang dilakukan Alfons terhadap Tara sebagai psikiater. Ini pula dapat terlihat dari diri Tara yang tidak menolak dipanggil dengan nama Tara apabila Alfons yang memanggilnya, sebuah metode yang cukup efektif untuk orang yang berkepribadian seperti Tara. Arti ketiga yaitu mengenai kelegaan jiwa / emosional diri. Inilah yang Tara lakukan terhadap keluarganya sebelum ia bertemu Alfons. Hal-hal yang ia benci ia hilangkan dengan cara apapun bahkan dengan tindakan yang begitu sadis. Terbukti hal ini menimbulkan kelegaan pada diri Tara dengan tak adanya rasa penyesalan sama sekali, bahkan cenderung puas karena ia telah menghilangkan hal yang ia benci. Ya, psycho juga sih.


Dengan sudut pandang orang pertama bergantian antara Tara dan Ello, penulis tidak membedakan font atau memberi keterangan siapa yang sedang berbicara. Hal ini membuat pembaca dibawa untuk berpikir siapakah yang sedang berbicara, apakah Ello atau Tara. Memang, banyak yang mengeluhkan PoV seperti ini, tapi menurut saya hal ini sangat menarik, membuat bertanya-tanya, serta menambah kesan misterius ketika membaca buku ini. Dengan bagian per-babnya yang pendek-pendek, membuat buku ini pun enak untuk dibaca. Namun hati-hati, banyak adegan kekerasan, darah, hingga mutilasi di buku ini, sehingga buku ini terkesan mengerikan ketika dibaca. untuk saya, buku ini memang agak mengerikan ketika bagian awalnya, saya tak bisa membayangkan memiliki putri seperti Tara, yang sedari kecil memiliki rasa benci terhadap orangtuanya, bagian ini membuat saya merinding apabila terjadi dalam kejadian nyata. Lima bintang untuk buku ini.


Judul: Katarsis
Penulis: Anastasia Aemilia
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 264 hal.
Tahun Terbit: 2013
Rate: 5/5

Rabu, 30 Oktober 2013

Changez: The Reluctant Fundamentalist




Lelaki yang Terbuang.
The Reluctant Fundamentalist.
Dilema Seorang Muslim Amerika antara Dunia Barat dan Islam Pasca 11/9.

Tiga kalimat tersebut terdapat dalam sebuah buku yang masuk dalam shortlist Man Booker Prize tahun 2007 karangan Mohsin Hamid. Hamid ialah seorang muslim Pakistan lulusan Princeton, Amerika Serikat. Ia kini tinggal di London, dan inilah mengapa ia masuk shortlist award ini. Ya, Man Booker Priza merupakan award yang dikhususkan untuk novel berbahasa Inggris dengan syarat si penulis tinggal di Inggris dan negara persemakmurannya, Irlandia, dan Zimbabwe.

Bercerita tentang seorang muslim Pakistan yang juga kuliah di Princeton, Hamid seolah ingin menceritakan pengalamannya sendiri ketika ia tinggal di sana. Namun ini bukanlah  sebuah memoar, Hamid hanya “menitiskan” dirinya pada tokoh Changez, yang hidup pada zaman berbeda, yaitu zaman modern ketika terjadi peristiwa 11 September yang menluluhlantahkan World Trade Center di Amerika Serikat. Hamid sendiri telah lulus jauh sebelum itu, yaitu tahun 1993, dengan predikat summa cumlaude, sebuah prestasi membanggakan bagi warga imigran asal Asia.

Sebenarnya, keterangan “Dilema Seorang Muslim Amerika antara Dunia Barat dan Islam Pasca 11/9” yang terdapat pada cover buku menurut saya kurang tepat. Ya, Changez memang muslim, tapi tak diceritakan secara detail bagaimana keislamannya. Mungkin yang tepat ialah dilema antara Dunia Barat dan Negerinya, Pakistan. Setelah peristiwa 11/9, pandangan Amerika terhadap muslim menjadi lebih waspada. Perbedaan perlakuan seperti ketika seorang muslim tiba di bandara di Amerika memang begitu kentara, dan Hamid menceritakan secara gamblang di buku ini. Nah, yang dirasakan Changez sendiri lebih kepada rasa cintanya kepada negerinya yang memang mayoritas muslim. Apalagi, Pakistan berada dekat dengan Afghanistan, dimana Osama bin Laden yang menjadi “tersangka” peristiwa 9/11 menjadi orang nomor satu yang paling dicari di dunia. Belum lagi konflik antara Pakistan dengan India yang kemungkinan besar ditunggangi oleh Amerika Serikat, membuat hidup Changez di Amerika menjadi sangat tidak nyaman. Dari sinilah terjadi perubahan pada diri Changez, ia yang mempunyai prestasi gemilang di sebuah firma hukum mulai tak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya, hidupnya mulai berantakan. Belum lagi hubungannya dengan Erica yang membuatnya begitu frustasi walaupun tak ada penolakan dari keluarga Erica. Sikap Erica yang misterius semakin membuatnya galau dan membuatnya makin berada di dalam sebuah dilema, haruskah ia tetap di Amerika atau kembali ke Pakistan membela negaranya.


Diceritakan dengan cara yang sangat tidak biasa, seolah-olah Changez sedang mengobrol dengan tamunya yang berasal dari Amerika Serikat. Changez sendiri ketika itu telah kembali ke Pakistan, dan melalui perbincangannya itulah ia menceritakan tentang kisahnya ketika ia merantau ke Amerika, menjadi salah satu lulusan terbaik Princeton, menjadi karyawan sukses di sebuah firma hukum, hingga masa-masa terpuruknya ketika ia berhubungan dengan Erica dan peristiwa 9/11. Buku ini pun sangat anti-mainstream, penulis tak ragu mengkritsi kebijakan-kebijakan Amerika Serikat melalui Changez. Mengenai cara bercerita di buku ini sendiri menurut saya merupakan sebuah cara yang berbeda, alur ketika Changez bercerita dan apa-apa saja yang ia kerjakan dengan tamunya sangat luar biasa, apalagi menginjak bagian ending buku ini, membuat pembaca menebak sendiri bagaimana akhir nasib dari si tamu Changez ini. Dari segi cerita sendiri menurut saya memang agak flat, konflik yang ada tak semegah kalimat “dilema Dunia Barat dan Islam”, dan ceritanya cenderung membosankan. Tapi semua itu tertutupi dengan cara penceritaan yang khas serta ending yang penuh tanda tanya tersebut. Tiga bintang.


Judul: The Reluctant Fundamentalist
Penulis: Mohsin Hamid
Tebal: 181 hal.
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: 2007 (1st) / 2008 (terjemahan)
Rate: 3/5

Sabtu, 19 Oktober 2013

Persik Raksasa dan James, dan Serangga-serangga Lainnya



Kali ini buku dari Roald Dahl yang saya baca bisa dibilang cukup tebal, hampir dua ratusan halaman. Masih tetap dengan ilustrasi-ilustrasinya, kali ini penulis mengajak kita mengunjungi James, seorang anak yatim piatu malang yang kedua orangtuanya dimakan oleh badak! Ia akhirnya dirawat oleh kedua bibinya yang jahat, Bibi Spiker yang kurus dan Bibi Sponge yang gemuk. Walaupun berbeda postur, mereka sangat kompak dalam menganiaya James, sungguh sangat malang nasib anak itu.

Nasib James yang malang mengalami perubahan besar etika ia bertemu seseorang misterius yang memberinya butiran-butiran lidah buaya ajaib. Efek dari lidah buaya ajaib itulah yang menjadi judul dari buku ini: Buah persik raksasa! Bayangkan, buah persik raksasa yang bisa dimasuki, bahkan daging buahnya bisa dimakan ketika kita berada di dalam buah persik raksasa itu. Inilah yang terjadi pada hidup James, ia berpetualang dengan “mengendarai” buah persik raksasa ini. Teman petualangannya pun tak main-main, ada cacing tanah, lipan, kakek belalang hijau, kepik, nona laba-laba, ulat sutera, dan cacing cahaya. Ukuran mereka pun bisa dibilang raksasa, ya, mereka pun terkena efek biji lidah buaya tadi. James yang sempat ketakutan akhirnya mendapati bahwa teman-teman barunya ialah teman yang menyenangkan, seketika itu hidupnya yang tadinya malang berubah menjadi menyenangkan, tentunya diselingi dengan kejadian-kejadian menarik di sepanjang petualangannya.

Luar biasa. Itulah kesan saya terhadap buku ini. Bagaimana penulis menghidupkan tokoh-tokoh serangga sehingga dapat berkomunikasi dengan manusia, saya rasa merupakan sebuah ide yang brilian. Terdengar biasa saja? Iya, apabila kisah mereka hanya ngobrol-ngalor-ngidul-gak-jelas. Tapi disini, penulis menyisipkan ilmu pengetahuan tentang binatang-binatang tersebut dalam kisah ini. Bagaimana kisah belalang hijau dapat membuat suara merdu seperti biola diceritakan disini. Ada juga kisah totol-totol pada kepik yang katanya menentukan usia kepik itu, diceritakan pula di buku ini. Penasaran kan pelajaran apa lagi yang ada mengenai serangga-serangga lainnya? Ada kok di buku ini, dengan bahasa yang tidak menggurui, membuat pembaca tak sadar bahwa ilmu baru sebenarnya telah mereka pelajari.

Tak hanya itu, perpaduan pelajaran yang benar-benar pelajaran dengan hal-hal konyol pun ada di sini. Lihat saja, bagaimana proses pembuatan pelangi yang dibuat dengan cara mengecat sebuah benda di angkasa oleh manusia awan, terdengar konyol namun juga kadang membuat berpikir, apakah kenyataannya seperti itu, hehehe...

Petualangan James ini menurut saya mampu membawa pembaca larut dalam kisahnya yang campur aduk, menegangkan, konyol, bahkan menggemaskan, apalagi ketika melihat tokoh si lipan yang begitu congkak dan tokoh si cacing tanah yang sangat paranoid sudah mulai beradu mulut, pasti akan membuat pembaca terpingkal-pingkal dibuatnya. Kabar baik dari buku ini ialah bahwa buku ini pernah difilmkan oleh Disney pada tahun 1996, tentunya dalam format kartun, karena saya tak bisa membayangkan serangga-serangga ini main film dalam wujudnya yang nyata, bisa jadi filmnya malah mengerikan untuk anak-anak, bukan menghibur.



Satu pesan moral dari buku ini: sikap sabar seperti yang James lakukan akan membawa manusia dalam kebahagiaan, siapa yang menabur benih, ialah yang akan menuai hasil. Itu pula nasib yang menimpa bibi Spiker dan bibi Sponge, bagaimana nasib mereka? Baca sendiri bukunya, dan masuklah ke dalam buah persik raksasa.


Judul: James and the Giant Peach
Penulis: Roald Dahl
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 192 hal.
Tahun Terbit: 1961 (1st) / 2006 (read)
Rate: 5/5
Rekomendasi Usia: Semua Umur

Gregg Family: The Magic Finger



Buku kedua Roald Dahl yang saya baca. Dari judulnya saja sudah dapat diketahui bahwa kisah di buku ini merupakan sebuah kisah ajaib nan mustahil. Memang, hal ini menimpa si "aku", seorang anak perempuan berusian delapan tahun yang memiliki kekuatan ajaib pada jarinya apabila dia sedang sangat marah terhadap seseorang. Dari jarinya itu, ia dapat membuat seseorang berubah bentuk, semacam  kutukan, namun sayangnya, lucu.

Alkisah, ia berteman dengan William Gregg, anak lelaki sebayanya, putra dari keluarga Gregg. William ini mempunyai kakak bernama Phillip, seorang anak berusia sebelas tahun. Keluarga Gregg ini amat gemar berburu, apalagi berburu bebek. Si tokoh "aku", yang tidak menyukai hal tersebut berulang kali telah berbicara kepada keluarga Gregg ini, namun hanya ditanggapi sambil lalu saja. Si "aku" yang terlanjur marah akhirnya mengacungkan jari ajaibnya ke keluarga ini. Tak ada yang terjadi, hingga keesokan harinya, ketika bangun tidur, Pak Gregg dan Bu Gregg serta kedua anaknya mendapati diri mereka tidak lagi memiliki tangan. Tangan mereka ternyata berubah menjadi sayap bebek! Bukan itu saja, bebek yang tadinya mereka buru pun mengalami keanehan, sayap mereka hilang digantikan tangan manusia! Kehidupan keluarga Gregg dan keluarga bebek pun berubah seratus delapan puluh derajat, kali ini giliran keluarga bebek yang memburu keluarga Gregg. Apakah keluarga Gregg akan selamat?


Buku setebal 80 halaman ini dapat dihabiskan hanya dalam sekali lahap, font yang digunakan pun bisa dibilang segede gaban, sehingga saya yakin buku ini akan sangat cocok untuk dibaca anak-anak segala usia. Apalagi, dengan membaca buku ini pun diperoleh pelajaran hidup bahwa sesama makhluk hidup dilarang saling menyakiti, apalagi memburu secara membabibuta seperti apa yang dilakukan oleh keluarga Gregg.Selain itu, ada pula sisi negatif dari buku ini, yaitu pelajaran bahwa emosi harus bisa dikendalikan, jangan seperti tokoh si "aku" yang tanpa berpikir panjang begitu saja” menyihir” orang-orang yang membuat ia marah. Satu hal lagi yang membuat saya bingung, yaitu tentang bedanya nasib ibu guru dari si "aku" dan keluarga Gregg yang sama-sama menjadi korban jari ajaib, mengapa bisa nasib mereka berbeda? Apa bedanya? Baca sendiri dan selami dunia Roald Dahl. Setelah baca? Ceritakan kembali kisah ini kepada anak-anak beserta nilai moralnya.


Judul: The Magic Finger
Penulis: Roald Dahl
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 80 hal.
Tahun Terbit: 1966 (1st) / 2003 (read)
Rate: 4/5
Rekomendasi Usia: Semua Umur

Alfie si Kura-kura: Esio Trot



Ini buku pertama Roald Dahl yang saya baca. Cuma setebal 68 halaman, fontnya juga lumayan gede, yakin deh bisa cepet bacanya. Judul buku ini Esio Trot, membingungkan bagi yang belum paham isi buku ini, tapi bakal sangat menghibur bagi yang sudah membacanya.

Inti cerita ini sederhana, Mr. Hoppy jatuh cinta kepada Mrs. Silver, keduanya bisa dibilang sudah berusia separuh baya. Mr. Hoppy seorang pensiunan, sedangkan Mrs. Silver seorang janda. Mereka tinggal dalam satu apartemen yang sama, namun berbeda lantai. Nah, karena Mr. Hoppy tinggal di atas, maka dari balkonnya ia dapat melihat Mr. Silver di lantai bawahnya, tentunya di balkonnya juga. Mr. Silver ini punya seekor kura-kura bernama Alfie yang disayanginya sudah seperti anaknya sendiri. Mr. Hoppy pun ingin disayangi seperti itu, ia pun mendapat akal begitu mendengar Mrs. Silver mengeluh bahwa Alfie beratnya tidak naik-naik. Dengan bantuan bahasa kura-kura dan alat penangkap kura-kura, Mr. Hoppy pun memulai usahanya untuk membuat kegalauan Mrs. Silver hilang.

Inti dari buku ini memang menceritakan tentang kura-kura. Yang saya sukai, ada juga catatan penulis tentang sejarah kura-kura di Inggris sana, dan cerita yang Roald Dahl karang ini memang berdasarkan kisah nyatanya memelihara kura-kura ketika ia kecil. Bukan itu saja, ada lagi sebuah hal yang terinspirasi dari kisah hidup RD yang diaplikasikan di Esio Trot ini. Apa itu? Baca sendiri untuk mengetahuinya.

Kesan saya membaca buku ini ialah salut kepada Roald Dahl. Bagaimana ia mampu mencipatakan sebuah cerita dari kehidupan sehari-hari dan juga masuk akal. Belum ada hal-hal aneh yang dimasukkan Roald Dahl ke dalam buku ini sehingga bisa dibilang cerita ini logis dan masuk akal, bagi anak-anak sekalipun. Bahasa kura-kura yang ia ciptakan pun dapat membuat pembaca tersenyum-senyum.


Pesan moral yang dapat diperoleh dari buku ini ialah, bagaimana seseorang yang gigih akan mendapatkan apa yang dicita-citakannya, tentu saja hal itu mesti dibarengi oleh usaha dan akal serta kerja keras guna mencapainya. Sebuah pesan moral yang wajib disampaikan kepada anak-anak apabila suatu saat cerita ini disampaikan kepada mereka melalui cerita, baik disaat senggang maupun di kala sebelum tidur. Cerita dari buku ini cocok untuk segala usia, buku yang sangat saya rekomendasikan, lima bintang.


Judul: Esio Trot
Penulis: Roald Dahl
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 68 hal.
Tahun Terbit: 1989 (1st) / 2006 (read)
Rate: 5/5
Rekomendasi Usia: Semua Umur

Master Post Baca Bareng Buku-bukunya Roald Dahl


Oke, jadi ini adalah event baca barengnya buku-buku anak karangan Roald Dahl, yang memang benar-benar sangat legendaris dan cocok bagi anak-anak. Selain itu, buku-bukunya Roald Dahl ini layak banget buat dijadiin dongeng sebelum tidur, semoga nantinya bisa gitu :)

Waduh, deadline nih deadline, gawaaat...
Semoga postingan ini masih bisa dihitung deh, setelah susah payah pinjem buku-bukunya Roald Dahl ke @miss_zp, akhirnya berhasil juga nuntasin beberapa bukunya Roald Dahl.

So, this is my list:
1. Esio Trot ---> Review
2. The Magic Finger ---> Review
3. James and the Giant Peach ---> Review
4. Danny the Champions of the World
5. The BFG
6. The Witches

Oke, ini master post-nya mbak Hobby Buku ---> Roald Dahlsilakan kunjungi link untuk melihat kemeriahan baca bareng ini, dan juga membaca revie-review lain yang menyenangkan dari peserta challenge ini.

Minggu, 13 Oktober 2013

Balsa Yonsa: Guardian of the Darkness (Moribito #2)



Beranjak dari kisah sebelumnya, kali ini Balsa kembali ke negeri Kanbal, nnegeri kelahirannya untuk membersihkan nama baik ayah angkatnya, Jiguro. Nama Jiguro menjadi buruk di Kanbal gara-gara ia melarikan Balsa ketika Balsa  berumur enam tahun, dan ia pun mencuri cincin dari Tombak Kanbal.  Tombak Kanbal sendiri ialah para petarung ahli tombak yang menjadi pengawal Raja Kanbal. Kanbal ini terdiri dari sembilan klan, Balsa merupakan klan Yonsa, sedangkan Jiguro adalah klan Musa. Kakak dari Jiguro yaitu Kaguro ialah ketua klan Musa, sedangkan adiknya, Yuguro, adalah salah satu Tombak Kanbal. Jeleknya nama Jiguro sendiri akibat liciknya raja Kanbal sebelumnya, yaitu Rogsam. Ia pandai memutarbalikkan kata-kata dan fakta. Tabiat Rogsam ini juga menjadi tabiat Yuguro, sehingga Yuguro ikut adil juga dalam membawa jelek nama Jiguro.

Dalam perjalannanya, Balsa memutuskan untuk melewati jalan pintas berupa gua. Tak disangka, Balsa bertemu dua orang kakak-adik, Kassa dan Gina. Mereka berdua sedang kritis karena akan diserang oleh Hyohlu, yaitu makhluk gaib penunggu gua yang bertindak apabila ada yang berani untuk mencuri batu berharga di gua itu. Balsa menyelamatkan kedua anak itu, dan ternyata mereka adalah keponakan Jiguro, anak dari adik bungsu Jiguro yaitu Leena. Balsa yang meminta kedatangannya ke Kanbal dirahasiakan oleh Kassa dan Gina akhirnya harus berhadapan dengan bahaya karena dua anak itu terpaksa membocorkan rahasia mereka tentang Balsa kepada ayah mereka dan kepada Kaguro dan Yuguro. Kaguro dan Yuguro yang mengetahui bahwa anak angkat saudara mereka datang, lekas mengumumkan bahwa Balsa merupakan ancaman bagi klan Musa dan negeri Kanbal. Mereka berpendapat Balsa datang ke Kanbal guna membalas dendam.

Balsa, adalah salah satu ahli tombak paling hebat, maka ancaman dari klan Musa ia hadapi hingga akhirnya ia terkena racun. Ketika terluka, tanpa sengaja bertemu dengan Kaum Penggembala dan Kaum Penggembala pula yang membuat Balsa pulih dari racun yang mengenainya. Sementara itu, Yuguro dan Raja Radalle (anak dari Rogsam) sedang menyusun rencana guna menyerang Raja Gunung, penguasa gua-gua di sekitar Kanbal. Sebuah rencana yang gila, karena sebenarnya ada hal yang lebih besar dibandingkan Raja Gunung ini, hal yang bersifat sangat rahasia tentang Raja Gunung, gua, hyohlu, bahkan kaum Penggembala itu sendiri. Rahasia yang akhirnya diketahui Balsa, dan ia pun harus melindungi Kanbal dari kehancuran dari tindakan yang akan diambil Yuguro dan Raja Radalle.

Awalnya, agak membosankan membaca buku ini. Fantasi sudah kurang menarik minat saya untuk membaca, namun ternyata saya salah. Terjemahan yang bagus, alur yang jelas, serta fantasi yang tidak terlalu ngawur membuat saya perlahan-lahan menyukai kisah ini dan menyukai  bagaimana Jepang kaya akan fantasi-fantasi yang terdengar tak masuk akal. Kisah ini sendiri murni fiksi, ya namanya juga fantasi, dan juga cocok untuk anak-anak. Apalagi Moribito memang ada kisah dalam manga-nya pula. Bagaimana ceritanya saya tidak tahu, namun sepertinya memang menceritakan Balsa si ahli tombak.

Kisah fantasi buku ini hanya sekedar adanya dunia gaib yang berkebalikan dari bumi yang kita diami. Selain hal itu, kisah dari buku terbilang masuk logika, tak ada kisah-kisah naga, walaupun ada juga makhluk fantasi yang akhirnya muncul tetapi tidak diceritakan secara detail. Ada pula Kaum Penggembala yang mempunyai postur lebih kecil dari manusia normal, ini mengingatkan saya kepada kaum Hobbit.


Kekuatan lain buku ini yaitu adanya istilah-istilah khusus yang penulis gunakan dalam menceritakan bkisah Balsa ini. Istilah ini tak hanya berkutat pada masalah makanan yang cenderung “aneh-aneh”, tetapi juga merambah ke bidang lain seperti waktu. Ya, negeri Kanbal memiliki istilah waktu sendiri, berbeda dengan jam dan menit yang biasanya dikenal orang. Kekuatan lainnya terletak pada ilustrasi-ilustrasi yang ada di dalam buku. Ilustrasi yang digambarkan sungguh sangat menggambarkan keadaan yang sedang diceritakan.

Empat tombak untuk buku terakhir dwilogi Moribito ini.



Judul: Moribito: Guardian of the Darkness
Penulis: Nahoko Uehashi
Tebal: 342 hal.
Penerbit: Matahati
Tahun Terbit: 1999 (1st) / 2010 (terjemahan)
Rate: 4/5
Rekomendasi Usia: > 10 tahun

Jumat, 11 Oktober 2013

Poirot: Taken at the Flood




Pengenalan Tokoh

Gordon Cloade... Pusat dari semua masalah, kematiannya membawa sengsara kepada lima anggota keluarganya. Lima orang yang selalu ia suapi dengan kekayaannya, bahkan  dijanjikan warisan olehnya. Semuanya berjalan lancar sebelum tiba-tiba ia menikah dengan seorang wanita muda yang otomatis menggugurkan surat wasiat pertamanya. Istrinya yang bernama...
Rosaleen Cloade... Sebelumnya dikenal dengan nama Rosaleen Underhay, Seorang janda dari Robert Underhay, yang meninggal di benua Afrika. Pernikahannya dengan Gordon Cloade membuatnya bagai mendapatkan durian runtuh, apalagi dengan kematian suaminya tersebut. Hal ini pula sangat menguntungkan bagi...
David Arthur... Kakak dari Rosaleen, yang merasa hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat akibat pernikahan adiknya, tetapi tetap harus waspada terhadap lima anggota Cloade lainnya yang menjadi miskin secara tiba-tiba setelah kematian Gordon.
Lynn Marchmont... seorang gadis yang baru saja tiba dari tugasnya menjadi tentara. Calon istri dari...
Rowley Cloade... keponakan dari Gordon yag berprofesi sebagai petani. Sehari-harinya bekerja di pertaniannya. Salah seorang anggota keluarga Cloade yang kehilangan Gordon, terutama kehilangan harta yang biasa pamannya berikan.
Jeremy Cloade... Saudara dari Gordon, seorang pengacara yang menikah dengan seorang wanita yang merupakan putri dari kliennya, yaitu...
Frances Cloade... putri tunggal dari Lord Edward Trenton, seorang saudagar kuda.
Lionel Cloade... seorang dokter, saudara dari Gordon pula, mempunyai seorang istri yang bernama...
Kathie Cloade... seorang yang memercayai ilmu gaib dan hal-hal yang berhubungan dengan roh halus.
Mayor Porter... kenalan dari Robert Underhay.
Enoch Arden... seseorang yang mengaku mengetahui sesuatu tentang Robert Underhay


Pra-Poirot

Cerita berawal di sebuah klub dimana Mayor Porter sedang membual tentang kematian Gordon Cloade, tetangganya di London, yang dimuat di sebuah surat kabar. Porter, yang juga mengenal Robert Underhay, suami pertama dari istri Gordon Cloade terus membual tentang dugaan Underhay masih hidup di suatu tempat dan bahwasanya suatu hari nanti ia akan muncul dengann nama Enoch Arden. Tanpa diduga, Jeremy Cloade, adik dari Gordon sedang ada pula di club tersebut, dari sinilah kisah berawal.

Kehidupan keluarga Cloade yang tadinya kaya-raya menjadi berantakan setelah kematian Gordon. Tak ada lagi yang akan menafkahi mereka kali ini. Apalagi, mereka pun sama sekali tak mempunyai simpanan atau tabungan, ini akibat pengaruh dari Gordon yang menjamin kehidupan mereka tanpa harus menabung atau menyimpan uang. Kini, semua harta jatuh kepada Rosaleen Cloade, istri baru Gordon, juga kakak dari Rosaleen, David Arthur. David, yang senang dengan keadaan ini sedikit waswas juga, apalagi ia mengetahui tentang kemelaratan anggota Cloade lain. Ia pun berusaha sekuat tenaga melindungi adiknya dari serangan keluarga Cloade yang sepertinya ingin adiknya mati guna mendapatkan kembali harta tersebut.

Situasi yang berjalan normal mulai bermasalah ketika muncul seseorang yang bernama Enoch Arden ke sebuah penginapan di dekat keluarga Cloade tinggal. Arden mengaku tahu mengenai Underhay dan ini menjadi sebuah celah untuk keluarga Cloade karena apabila terbukti Underhay masih hidup, maka otomatis status pernikahan Rosaleen dan Gordon batal sehingga harta Gordon dapat kembali dimiliki oleh keluarga Cloade. David Arthur yang mengetahui keadaan ini seketika langsung khawatir dan merasa diperas oleh Arden, maka David pun berusaha mengabulkan permintaan dari Arden, sebelum tiba-tiba Arden ditemukan tewas dengan luka pukul benda keras di bagian belakang kepalanya. Disinilah saatnya Hercule Poirot beraksi menuntaskan kasus kematian misterius ini.


Pasca-Poirot

Buku setebal 348 halaman ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama berupa kisah keluarga Cloade dan segala permasalahannya. Nah, di bagian kedua ini yang menarik, karena mulai melibatkan Hercule Poirot. Bagian kedua dimulai di halaman 186, hampir setengah bagian dari keseluruhan buku ini. Mencengangkan juga bagaimana Poirot dapat memecahkan kasus ini bahkan ketika ia tidak berada di tempat kejadian perkara. Apalagi, metode Poirot tidak sampai menanyai satu persatu orang yang terlibat kasus pembunuhan ini. Namun, berkat metodenya yang tak melewatkan fakta satu pun berhasil membuatnya memecahkan kasus ini secara elegan.

Sebenarnya jawaban dari kasus ini sudah terlihat dari bagian pertama bahkan dari prolog. Apabila kita jeli membacanya, maka bukan tidak mungkin siapa pembunuh Enoch Arden dapat diketahui. Walaupun memang, ketika si pembunuh diketahui masih ada lagi sesuatu yang tersembunyi yang tiba-tiba tersibak oleh Poirot, sungguh tidak terduga. Jangan lupakan juga judul buku ini: Taken at the Flood atau Mengail di Air Keruh. Penjahat yang sebenarnya dapat diketahui dari tokoh yang sangat mencerminkan judul di atas, menarik bukan?

Lima bintang untuk hasil penelusuran Poirot yang dilakukannya seorang diri.




Judul: Taken at the Flood
Penulis: Agatha Christie
Tebal: 348 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 1948 (1st) / 2008 (read)
Rate: 5/5

Rabu, 09 Oktober 2013

Lima Sekawan #13: Rawa Rahasia



Petualangan Lima Sekawan kali ini terjadi ketika mereka sedang menginap di sebuah peternakan, tepatnya sebuah “sekolah” dimana anak-anak diajarkan berkuda di tempat itu. Memang mungkin hanya di Inggris atau di luar negeri kita menemukannya, karena di Indonesia rasa-rasanya tidak ada. Jadi, di tempat ini anak-anak membayar untuk biaya penginapan sekaligus kursus berkuda, sebuah kegiatan yang positif dalam mengisi liburan sekolah.

Berawal dari rasa penasaran anak-anak ditambah adanya kaum kelana yang menuju kesana, anak-anak mulai menjelajahi sebuah daerah yang dinamai Rawa Rahasia. Rawa Rahasia alias Mistery Moor ini pula yang menjadi judul buku ketigabelas dari anak-anak keluarga Kirrin ini. Dalam petualangannya kali ini, teman baru anak-anak dari kaum kelana diberi julukan si Ingus, nama sebenarnya dari si ingus sendiri tidak diketahui, maklumlah, kaum kelana, apalagi Ingus sudah tidak memiliki ibu, ia hanya memiliki seorang ayah yang galak dan bengis. Sikap ayahnya itu terbukti dari sikapnya terhadap Clip, kuda mereka. Si kuda yang dalam keadaan sakit terus dipaksa menarik karavan, untung saja ada Kapten Johnson si pemilik peternakan yang mengobati Clip dan mencegah si Ingus atau ayahnya untuk mengambilnya sebelum Clip benar-benar sembuh. Dari peternakan sendiri, anak-anak bertemu dengan Henry dan William, serta beberapa anak kecil lain yang belajar berkuda pula di peternakan itu. Henry dan William sendiri telah digambarkan dalam cover buku Lima Sekawan terjemahan Indonesia cetakan kedua yang saya baca ini. Yang menarik, Henry bukanlah nama sebenarnya. Laiknya George yang memiliki nama asli Georgina, Henry pun memiliki nama asli Henrietta. Selain itu, keduanya bersikap dan bergaya ala laki-laki, serta tak mau dipanggil dengan nama asli mereka. Anehnya lagi, bukannya akur gara-gara memiliki kesamaan gaya, keduanya justru sering cekcok karena ingin membuktikan siapa yang sebenarnya lebih laki. Ketidakakuran ini sungguh membuat bingung anak-anak lainnya. Inilah tokoh-tokoh yang berandil dalam petualangan kali ini, petualangan anak-anak menjelajahi rawa rahasia.

Ketidakberesan pertama kali terjadi ketika anak-anak berkemah di kaki bukit di dekat Rawa Rahasia. Tanpa diduga, kaum kelana berkemah dengan karavan dekat dengan daerah anak-anak Lima Sekawan berkemah. Yang lebih mencengangkan anak-anak ialah adanya suara pesawat terbang yang mendekat ketika tengah malam tiba. Lebih ganjil lagi ketika anak-anak hampir terkena barang berupa paket yang dijatuhkan oleh pesawat itu. Anak-anak yang sudah curiga dengan kaum kelana akhirnya mengambil paket tersebut dan menemukan isinya ialah lembaran uang yang sangat banyak. Ketika bergegas untuk kembali ke perkemahan dan melaporkan ke polisi, tiba-tiba saja kabut turun dan membuat anak-anak tersesat di perjalanan, anak-anak pun mulai mengalami ganasnya Rawa Rahasia yang mitos tentangnya telah tersebar di masyarakat.

Lagi-lagi anak-anak terlibat kasus yang tidak sembarangan dan main-main. Kasus kali ini berhubungan dengan sebuah jaringan internasional antarnegara, yaitu dari Prancis ke Inggris. Memang, nampaknya Enid Blyton ingin mengangkat tema kejahatan-kejahatan yang agak berat guna membuat anak-anak Lima Sekawan ini “berguna”. Walaupun memang terlihat agak memaksakan mengingat umur anak-anak ini masih di awal puluhan tahun. Tapi tetap, kisah anak-anak ini, apalagi ditambah latar belakang cerita yang mengambil suasana pedesaan, ditambah makanan-makanannya, membuat pembaca, siapapun itu, terbius dengan ceritanya. Masih pula, umpatan-umpatan serta kata-kata kasar belum hilang dari kisah Lima Sekawan ini, membuat kisah ini perlu diberi pemahaman lebih kepada anak-anak yang membacanya.


Dari buku ini juga pelajaran-pelajaran baru dapat diperoleh. Kali ini mengenai patrin, yaitu sebuah tanda yang dibuat kaum kelana guna menandai jalan mana yang mereka ambil kepada kawanan kaum kelana lainnya. Sebelumnya saya sangat asing dengan istilah ini, namun setelah membaca kisah ini saya jadi mengerti apa patrin itu. Ada pula pengetahuan tentang sekolah berkuda di Inggris sana. Seperti telah saya singgung di paragraf awal, inilah salah satu keunggulan anak-anak di luar Indonesia, mereka berlibur sekaligus belajar dan memahami kehidupan di pertanian, sebuah hal yang nampaknya masih asing di Indonesia. Akhir kata, tidak sabar menunggu petualangan mereka yang keempatbelas, dan melihat kasus serta pelajaran apalagi yang akan disuguhkan oleh Enid Blyton.


Judul: Lima Sekawan: Rawa Rahasia
Penulis: Enid Blyton
Tebal: 208 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 1954 (1st) / 1982 (read)
Rate: 4/5
Rekomendasi Usia: >10 tahun

Wishful Wednesday #7 - Rencana Besar & Roger Ackroyd

Hore… Hari Rabu lagi, saatnya Wishful Wednesday lagi. Malu juga sih sebenarnya Cuma bikin postingan WW pas ada giveaway aja, tapi demi buku impian, apapun dilakukan :D


Sebelumnya, selamat ulang tahun  kepada yang hari ini berulangtahun, terutama buah hati dari Mbak Astrid si pemilik meme Wishful Wednesday ini, karena berkat ulangtahunnya lah terselenggara Wishful Wednesday + Giveaway dadakan ini #eh

Skip deh.., sekarang kita lihat buku impian saya minggu ini:

  1. Rencana Besar by Tsugaeda
Rencana Besar adalah novel thriller yang mengangkat setting dunia perkantoran (perbankan) di Indonesia. Alur plot yang seru dan setting yang jarang diangkat membuat novel ini unik, segar, dan (mungkin) belum ada duanya di fiksi Indonesia. 

==================================================
Rifad Akbar. Pemimpin Serikat Pekerja yang sangat militan dalam memperjuangkan kesejahteraan rekan-rekannya.

Amanda Suseno. Pegawai berprestasi yang mendapat kepercayaan berlebih dari pihak manajemen.

Reza Ramaditya. Pegawai cerdas yang tiba-tiba mengalami demotivasi kerja tanpa alasan jelas.

Lenyapnya uang 17 miliar rupiah dari pembukuan Universal Bank of Indonesia menyeret tiga nama itu ke dalam daftar tersangka. Seorang penghancur, seorang pembangun, dan seorang pemikir dengan motifnya masing-masing. Penyelidikan serius dilakukan dari balik selubung demi melindungi reputasi UBI. 

Akan tetapi, bagaimana jika kasus tersebut hanyalah awal dari sebuah skenario besar? Keping domino pertama yang sengaja dijatuhkan seseorang untuk menciptakan serangkaian kejadian. Tak terelakkan, keping demi keping berjatuhan, mengusik sebuah sistem yang mapan, tetapi usang dan penuh kebobrokan ….
Kenapa saya tertarik dengan buku ini? Thriller adalah My Cup of Coffee, makanya saya penasaran sama buku thriller ini, apalagi asli Indonesia, makin tambah penasaran deh. Emang sih, buku thriller impian saya sebelumnya, Katarsis belum berhasil saya miliki, tapi mudah-mudahan kali ini jadi rejeki saya :p
Selain itu, pemilihan buku ini didasarkan adanya lomba dari @tsugaeda untuk mereview buku ini, hadiahnya menggiurkan, jadi bisa dibilang sekali dayung satu dua pulau terlewati. Pede banget kan bakal dapet, hahaha…

Mau beliin? di sini nih :D


  1. Pembunuhan Atas Roger Ackroyd by Agatha Christie
Mrs. Ferrars meracuni suaminya... Tetapi tidak seorang pun mencurigainya, kecuali pemerasnya...

Sampai ia bunuh diri, dan meninggalkan sepucuk surat untuk laki-laki yang dicintainya.

Roger Ackroyd tidak pernah membaca surat itu sampai selesai... Karena si pemeras telah beralih melakukan kejahatan lain, pembunuhan.

Dan tidak satu orang pun mencurigainya pula... tidak seorang pun, kecuali Hercule Poirot.
Kenapa buku ini? Simple alasannya, yang pertama tentunya gara-gara buku ini masuk list 1001 Books You Must Read before You Die. Nah, yang kedua prinsipnya sama dengan buku pertama, saya lagi ikut challenge baca bareng-nya Mbak HobbyBuku mengenai Agatha Christie, jadi buku ini intinya untuk lomba juga, hehehehe…

Mau beliin juga? Wah.. langsung ke sini deh ya...

Semoga kali ini menjadi milik saya, random.org, tolonglah sekali saja berpihak padaku…#RapalMantra
Terima kasih sekali lagi buat Mbak Astrid, semoga WW-nya langgeng terus dan GA-nya juga ada terus #eh


Tertarik ikutan Wishful Wednesday? Begini caranya:

  • Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)
  • Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) atau segala hal yang berhubungan dengan kebutuhan bookish kalian, yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku/benda itu masuk dalam wishlist kalian ya!
  • Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
  • Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)

Jumat, 04 Oktober 2013

Satu Hari Bukan Di Hari Minggu



Empat belas cerpen. Satu buku. Satu Hari Bukan di Hari Minggu merupakan salah satu judul dari cerpen itu. Judul itu pula dipakai sebagai judul utama buku ini. Judul yang bisa dikatakan membuat bertanya-tanya, ada apakah di hari minggu? Ada apa pula di hari yang bukan hari minggu? Kumpulan cerpen ini merupakan kumpulan dari cerpen-cerpen karangan Yetti A.KA yang dimuat di berbagai surat kabar di tanah air, Jawa Pos,Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Merdeka, bahkan Tabloid Nova. Agak mencengangkan juga melihat banyaknya cerpen yang dikarang penulis dimuat di koran-koran “besar” nasional.

Satu Hari Bukan di Hari Minggu merupakan cerita kelima di buku ini. Bercerita dari sudut pandang Wiwi, seorang gadis kecil yang ibunya bekerja di sebuah rumah mewah. Hari minggu ialah hari yang ditunggunya, karena hanya hari minggu ia bisa ikut dengan ibunya guna berkunjung ke rumah itu. Di rumah itu, ia tak berani menyapa si nyonya rumah. Terkadang si nyonya rumah tersenyum kepadanya, walau hanya sekilas. Sebuah kepiluan muncul ketika di satu hari yang bukan hari minggu Wiwi berkunjung ke rumah itu guna menemui ibunya, ia melihat sebuah tragedi, tragedi yang memang diceritakan melalui bahasa sastra, sehingga bisa dikatakan hanya penulis dan Tuhan yang tahu. Yang jelas, cerita ini, epik.

Gadis Pemetik Jamur, cerita ketujuh di kumpulan cerpen ini. Lolanda, inilah nama si gadis pemetik jamur ini. Bekal dari almarhumah ibundanya tentang mana-mana saja jamur yang bisa dimakan tetap diaplikasikannya dalam kehidupan setelah kematian ibundanya. Kali ini ia menyerahkan jamur kepada ibu tiri, sekaligus adik ibunya, yang menikah dengan ayah kandungnya. Tak ada masalah berarti antara Lolanda dan ibu tirinya, bahkan cerita-cerita tentang kekejaman ibu tiri tidak nampak di diri ibu tiri Lolanda. Sayangnya Lolanda yang bermasalah, ia merasa ayahnya direbut dan posisi ibundanya direnggut oleh si ibu tiri. Ketidaktahuan sang ibu tiri tentang dunia perjamuran menjadi akhir yang tragis dalam cerita ini. Bisa dikatakan cerita ini merupakan sebuah cerita ironi-tragedi. Ending yang ada cukup mengejutkan dan tidak disangka-sangka, karena apabila ditelaah lebih lanjut, masalah di keluarga itu bukanlah masalah besar, bahkan bisa dibilang hampir tak ada masalah.

Cerita terakhir dalam kumpulan cerpen ini berjudul: “Dalam Kabut, Aku”. Sebuah cerita mengenai realita dewasa ini, tentang sulitnya untuk melihat kabut, terutama di perkotaan. Kabut masih banyak ditemui di pedesaan, namun tak semua orang kini dapat menikmatinya, selain karena mulai terjadinya pemanasan global, maupun gara-gara orang-orang lebih memilih untuk hidup di kota guna mencari kehidupan yang lebih baik. Cerita yang ditulis oleh Yetti A.KA ini menurut saya sangat menarik, dimana kisah seorang ibu yang terbiasa hidup dengan kabut di pedesaan, namun si ibu mulai menyadari bahwa tak mungkin anak-anaknya kelak hidup mengikuti jejak orangtuanya di pedesaan sebagai petani, apalagi lahan di pedesaan pun mulai berkurang. Maka, pergilah sang anak ke kota, hingga akhirnya, ketika si ibu beranjak menua, ia terpaksa hidup meninggalkan kabut, meninggalkan desa, mengikuti anaknya ke kota, karena tak ada sanak famili lagi di desa. Sebuah cerita mengenai kerinduan sang ibu terhadap kabut, juga sebuah cerita mengenai sang anak yang melupakan kabut ketika beranjak dewasa.


Memang, perlu pemahaman lebih dalam membaca cerpen-cerpen di dalam buku ini. Ada beberapa cerita yang akhirnya menggantung, juga ada beberapa cerita yang saya kurang mengerti juga bagaimana akhirnya. Namun, ketika kita merenungi isi dari buku ini, yang terlintas adalah bagaimana dalamnya makna yang ingin disampaikan penulis melalui cerpen-cerpennya. Tiga bintang untuk kumpulan cerpen ini.


Judul: Satu Hari Bukan di hari Minggu
Penulis: Yetti A.KA
Penerbit: Gress Publishing
Tebal: 140 hal.
Tahun Terbit: 2011
Rate: 3/5

Voodoo a.k.a. Mr. Clarinet




Max Mingus, seorang detektif, juga seorang mantan narapidana gara-gara kasus penembakan terhadap tiga orang anak yang mencoba memperkosa seorang gadis kecil. Ia mendapati kehidupannya setelah keluar penjara sangat berubah drastis, apalagi setelah kematian istrinya Sandra, ketika ia di dalam penjara. Satu hal utama, ia kekurangan uang untuk membiayai hidupnya. Di saat itulah, ada penawaran menarik dari keluarga Carver di Haiti guna mencari anak mereka yang hilang, Charlie Carver. Memang, saat itu penculikan anak sedang marak terjadi di Haiti, namun Charlie menghilang secara misterius, tanpa terendus jejaknya. Mingus, yang akhirnya tergiur oleh tawaran sepuluh juta dolar apabila menemukan Charlie, akhirnya memutuskan untuk mengambil kasus ini dan berangkat ke Haiti.

Haiti, sebuah negara di Amerika Utara yang penuh akan kekerasan dan ilmu hitam, terutama voodoo. Ya, siapa yang tidak mengenal voodoo? Sebuah ilmu tenung dimana digunakan obyek boneka guna melukai seseorang yang tidak disukai. Tinggal tusuk bonekanya, maka si obyek sasaran juga akan merasa kesakitan. Haiti juga terkenal akan kemiskinannya. Dari deskripsi yang saya baca dari buku, sangat banyak pemukiman kumuh yang berada di sana, belum lagi masalah pangan, tak jarang masyarakat sana hanya memakan gorengan dari tanah dicampur tepung maizena, sungguh memilukan. Jalan-jalan raya di sana pun keadaannya sangat mengkhawatirkan, jalan berlubang, bergelombang, hingga jalan yang hanya berupa bebatuan, hal-hal tersebut cukup menggambarkan bagaimana miskinnya Haiti.

Hanya saja, perbedaan orang miskin dan kaya di Haiti sangatlah jomplang. Sebagai contoh, keluarga Carver yang menjadi klien dari Max Mingus merupakan salah satu orang terkaya di Haiti. Keluarga tersebut memiliki bank dan sebuah lembaga bernama Bahtera Nuh, sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang kemanusiaan dimana mereka membiayai pendidikan anak-anak Haiti sampai mereka nantinya menjadi orang. Walaupun ya, ibaratnya Bahtera Nuh ini lembaga balas jasa, dimana lulusan-lulusannya akhirnya bekerja juga untuk keluarga Carver.

Keluarga Carver ini terdiri atas Gustav Carver, Allain Carver, dan Francesca Carver. Gustav merupakan kakek dari Charlie, sedangkan Allain dan Fransesca merupakan orangtuanya. Gustav memang terlihat sangat dominan di keluarga ini, seluruh bisnis ia yang tangani, ia juga yang paling kehilangan atas lenyapnya Charlie. Sebagai salah satu keluarga kaya, tentu saja keluarga Carver memiliki banyak musuh, salah satunya keluarga Paul. Tetapi, kisah ini hanyalah masa lalu, karena kini keluarga Paul sudah kehilangan kekayaannya, yang tersisa dari keluarga Paul hanyalah Vincent Paul, dan ia merupakan seorang legenda di Haiti. Perbuatan baiknya terhadap masyarakat Haiti membuatnya banyak dihormati dan dikagumi orang, apalagi ia memiliki banyak anak buah. Konon juga, Vincent Paul merupakan salah satu bandar narkoba terbesar di dunia, sehingga tak heran ia dapat membantu masyarakat Haiti.

Di Haiti, Mingus dibantu oleh Chantale. Ia seorang perempuan yang bekerja untuk keluarga Carver. Melalui penyelidikan-penyelidikan yang intensif dilakukan oleh mereka berdua, diketahui bahwa detektif-detektif sebelumnya yang menangani kasus ini mengalami kasus yang amat naas dan mengilukan (bukan memilukan, baca sendiri kalau penasaran). Carver yang sudah terlanjur terlibat mau tak mau harus memecahkan kasus ini. Tak hanya itu, tanpa diduga Mingus pun dibantu oleh seorang wartawan bernama Huxley yang memberinya sedikit demi sedikit informasi penting, kelak wartawan ini menjadi salah satu kunci terbongkarnya kasus ini.

Tak hanya mencari Charlie, sebelum keberangkatannya ke Haiti Mingus pun dimintai tolong oleh seorang pastor untuk membantu mencari keponakannya yang hilang. Penyelidikan pun dilakukan secara paralel, Mingus pun mendatangi rumah adik dari pator itu dan mendapatkan sedikit petunjuk mengenai pria jingga. Selain itu, Mingus pun mulai mengeksplorasi mitos-mitos setempat mengenai penculik anak yang bernama Mr. Clarinet, dimana si penculik ini menggunakan alat musik klarinet sebagai alat untuk membujuk anak-anak itu untuk ikut dengannya. Perlahan, puzzle pun mulai terkuak, dan penculikan Charlie ini ternyata tidak hanya sekedar penculikan, namun melibatkan juga suatu organisasi kejahatan besar yang tak disangka-sangka.

Seperti telah disebut di atas, dari buku ini pembaca bisa sekalian mengenal Haiti lebih jauh. Tidak hanya mengenai alam dan lingkungannya, namun juga mengenai dunia politiknya. Buku ini cenderung seperti fiksi sejarah, dimana Papa Doc dan Baby Doc (keduanya anak dan ayah, mantan presiden Haiti, Duvalier nama lengkapnya), serta Aristide (presiden Haiti juga) disebut-sebut di dalam buku ini. Tonton Macoute juga disebut-sebut disini, dimana Tonton Macoute merupakan milisi pribadi dari Duvalier. Sejarah Haiti pun dibahas disini, bagaimana bendera Haiti sempat berganti dari hitam-merah menjadi biru-merah, lumayan membuka wawasan pembaca.

Kasus yang ditawarkan Nick Stone pun menurut saya seru dan cerdas. Apalagi menjelang akhir cerita, hal-hal mistis yang menyangkut judul buku ini, yaitu voodoo, perlahan-lahan mulai menjadi rasional dan dapat dihubung-hubungkan, sehingga semuanya terlihat logis. Eksekusi dari Nick Stone sendiri cukup vulgar dan apa adanya, membawa pembaca larut ke dalam kisah ini. Apalagi, mengenai hal-hal yang mengilukan yang telah saya singgung di atas, sungguh sangat terasa, ouch...


Dalam hal terjemahan pun tak begitu masalah, buku ini nyaman untuk dibaca. Hanya saja, judul buku ini telah diubah dari judul aslinya yaitu “Mr. Clarinet”. Entah apa sebabnya, namun judul Voodoo saya rasa kurang merepresentasikan isi dari buku ini. Jadi jangan berharap membaca kisah-kisah mistis tentang ilmu voodoo ketika mulai membaca buku ini, salah besar jika mengharapkannya. Lima bintang, senang berkenalan dengan Max Mingus dan Nick Stone.


Judul: Voodoo
Penulis: Nick Stone
Penerbit: Voila Books
Tebal: 669 hal.
Tahun Terbit: 2006 (1st) / 2008 (terjemahan)
Rate: 5/5

The Mystery of the Yellow Room



Gaston Leroux, seorang Prancis yang terkenal atas karya fenomenalnya: The Phantom of the Opera. Siapa yang tak kenal judul itu? Mungkin hampir semuanya pernah mendengar. Namun, siapa yang telah terbiasa mendengar judul Mistery of Yellow Room? Saya yakin jarang, padahal judul ini merupakan judul buku karangan Leroux yang dipuji sebagai “satu dari tiga novel misteri ruang tertutup terbaik sepanjang masa” oleh Edward D. Hoch. Pujian ini terdapat pada cover buku berwarna kuning terbitan Visimedia, bukan sebuah pujian yang main-main, karena di cover belakang buku ini juga dapat diketahui bahwa karya Leroux ini adalah inspirasi bagi Agatha Christie untuk menulis novel sejenis, sehingga menjadikannya novelis perempuan dengan genre detektif paling terkenal seantero dunia.

Bercerita dari sudut pandang orang ketiga, alias “asisten” si detektif utama, saya setuju dengan review seorang teman bahwa novel bergenre detektif “telah terbiasa” menggunakan sudut pandang tersebut dalam bercerita. Detektif utama novel yang satu ini ialah Joseph Josephine alias Joseph Rouletabille. Rouletabille ini seorang wartawan muda berusia sekitar delapanbelas tahun. Kasus yang ia tangani kali ini ialah misteri pembunuhan atau lebih tepatnya percobaan pembunuhan terhadap seorang perempuan di sebuah kamar berwarna dominan kuning. Ia tidak sendirian dalam menangani kasus ini, selain dibantu si pencerita yang menjadi asisten tak resminya, ia juga bersaing dengan seorang detektif profesional yaitu Frederick Larsan. Selalu ada misteri di balik misteri, belum usai kasus kamar kuning ini, ketika Rouletabille sedang berusaha menjebak pelaku, muncul lagi misteri baru, yaitu misteri “Koridor yang tak Bisa Dijelaskan”. Disebut seperti itu karena ketika terjadi pengejaran terhadap si pelaku, dengan seluruh koridor dijaga dengan ketat, tiba-tiba saja jejak si pelaku menghilang begitu saja di sebuah koridor, seperti asap.

Dengan cover berwarna kuning, buku ini seolah ingin menegaskan judul dari buku ini. Saya memuji desain buku terbitan visimedia ini, banyak ilustrasi menarik di dalamnya, ilustrasi-ilustrasi yang menggambarkan kejadian yang sedang diceritakan. Ada juga kelengkapan penunjang untuk memudahkan pembaca yaitu seperti peta denah rumah. Sungguh, kemasan yang sangat menarik, membuat semangat membaca tumbuh ketika melihatnya.

Sayangnya...

Terjemahan buku ini kurang enak dibaca, entah, apakah buku ini diterjemahkan dari bahasa Inggris atau Prancis. Entah juga, apakah terjemahan ini mengikuti bahasa sastra di tahun terbitnya buku ini, yaitu 1908, yang memang terkenal sastra klasik itu sulit dibaca. Namun tak ada alasan, selalu saja ada terjemahan-terjemahan yang terdengar ganjil ketika dibaca. contoh saja, pada halaman 145: “Saya sudah mengatakan - rasanya - bahwa pada masa itu, menjadi seorang pengacara muda dengan sedikit kasus.” Terdengar agak ganjil di telinga saya, saya tidak tahu apakah yang pembaca yang lain merasa seperti itu atau tidak. Selain itu, terlalu banyak tanda “-“ di setiap bagian buku ini, yang menyebabkan pembacaan agak tersendat-sendat. Ada lagi, setiap dialog yang masih diucapkan oleh seseorang terkadang luput menggunakan tanda kutip ketika pindah paragraf, jadi terkadang pembaca dibingungkan, apakah ini masih sebuah percakapan ataukah telah memasuki sebuah narasi.


Tetapi di balik itu semua, saya berterimakasih kepada penerbit karena telah mengenalkan saya kepada detektif Prancis yang bernama Joseph Rouletabille, dan terutama telah mengenalkan kepada Gaston Leroux yang disebut-sebut sejajar dengan Sir  Arthur Conan Doyle di Inggris dan Edgar Allan Poe di Amerika. Jadi penasaran dengan karya Leroux lainnya, yang semoga saja lebih diterjemahkan dengan bahasa yanng lebih enak dibaca dan dipahami.


Judul: Mystery of Yellow Room
Penulis: Gaston Leroux
Penerbit: Visimedia
Tebal: 327 hal.
Tahun Terbit: 1907 (1st) / 2013 (terjemahan)
Rate: 2/5