Konstantinopel, dari namanya saja sudah berbau sejarah,
tetapi buku thriller lokal ini tak menggunakan sejarah yang rumit di dalam inti
ceritanya. Nama Konstantinopel hanya digunakan sebagai nama sebuah kelompok
eks-mahasiswa Indonesia yang pernah berstudi di Istanbul, Turki. Menjadi
menarik ketika tujuh anggota geng Konstantinopel ini secara kebetulan sangat
dekat dengan dunia perpolitikan di Indonesia, ada seorang putri presiden,
seorang calon anggota dewan, sampai seorang wartawan yang tulisannya vokal
mengkritik pemerintahan berjalan. Konflik dimulai ketika seorang anggota
Konstantinopel tewas gara-gara tertabrak kereta dan kehilangan jari
kelingkingnya, mulai dari sinilah maut mengincar Konstantinopel, pembunuhan
berantai pun dimulai.
Tokoh utama buku ini ialah Bima. Seorang lulusan terbaik
STSN (Sekolah Tinggi Sandi Negara) yang didapuk menjadi asisten Waka BIN (Wakil
Kepala Badan Intelijen Nasional). Bima bersama si Waka BIN, yaitu Pak Catur,
turun tangan untuk terjun langsung menangani kasus ini. Bima, seorang pemuda
berusia hampir 23 tahun, masuk ke dalam dunia pembunuhan berantai dalam kasus
perdananya sebagai Asisten Waka BIN.
Predikatnya sebagai lulusan terbaik memang terbukti ketika ia berhasil memecahkan
kasus ini melalui jalan yang berliku, dan agak lebay.
Buku thriller lokal ini menurut saya segar isinya. Konflik
politik dijadikan latar belakang sebuah kasus yang bisa dibilang sadis, membuat
buku ini sukar ditebak, apalagi dikaitkan dengan Konstantinopel, pasti menjadi
makin sulit ditebak. Jujur saja, saya enjoy membaca buku ini, isinya membuat
penasaran akan konflik yang akan terjadi berikutnya, walaupun memang ada bagian
di buku ini yang agak konyol, terutama tentang si tokoh utama, yaitu Bima.
Entah ya, kalau menggunakan logika, apa mungkin seorang anak ingusan berusia 23
tahun dapat dengan mudahnya bertemu presiden, sedangkan ia hanya asisten dari
seorang Waka BIN. Belum lagi, Bima ini kok kadang-kadang polosnya gak
ketulungan (sampai gak tau fasilitas T9 di hp), tapi di akhir buku dia berubah,
menjelma menjadi seperti Van Diesel di The Fast and the Furious, how could it
be?
Ada baiknya, apabila si Bima ini mau dibuatkan sekuel,
sebagai detektif partikelir mungkin, penulis bisa belajar dari pasangan
Kosasih-Gozali-nya Ibu S. Mara Gd. Memang, agak banyak cerita cinta yang
mengiringi kisah pasangan ini, tapi menurut saya, kalau tentang dunia
perdetektifan dan perkasusan, cara pemecahan dan penanganan kasus oleh
Kosasih-Gozali sangat brilian. Pembunuhan yang terjadi cukup masuk akal, dan
tentunya tanpa melibatkan adegan-adegan stuntman yang agak lebay itu. Satu hal
lagi, tentang dunia pendidikan, ada satu istilah yang cukup mengganggu saya
dalam penulisannya, yaitu bagaimana penulisan “pH”, soalnya di buku ditulis
“PH”, yang artinya “Rumah Produksi”, bukan “Derajat Keasaman”.
Lanjutkan, saya yakin dengan penulisan yang lebih matang,
Putra Bimasakti bisa menjadi salah satu ikon detektif di Indonesia. Ya, kalau
bisa bagian ending di buku ini juga agak diubah, yang adegan lebaynya itu lho, kayanya
impossible hal itu terjadi di Indonesia. Mau ditaruh dimana muka Kabareskrim
kalau semudah itu diayam-ayamin sama anak ingusan 23 tahun? :)