Kamis, 17 Juli 2014

Keberuntungan Seseorang yang Berusia Satu Abad



508 p, Bentang Pustaka, Mei 2014


Mungkin banyak yang belum mengenal Allan Karlsson. Allan, hanya dikenal sebagai seorang tua yang sebentar lagi akan berusia 100 tahun, ia juga seorang penghuni rumah lansia. Malam itu, Allan akan tepat berusia 100 tahun, tapi ia tak ingin merayakannya, maka ia Climbed Out of the Window, and Dissapeared...

Mulai terkuaklah siapa Allan, dan mengapa Allan dapat menembus usia satu abad. Hanya satu kata yang dapat menjawab pertanyaan itu: Keberuntungan. Mengapa beruntung? Lihat saja, Allan yang kabur dari rumah lansia secara tak sengaja dititipi koper oleh seorang anggota geng “Never Again”, sebuah geng yang terkenal karena kebrutalannya. Tak tanggung-tanggung, koper tersebut ternyata berjumlah puluhan juta Krona! Belum selesai sampai di situ, Allan bertemu Julius yang akhirnya menjadi partner in crime-nya, yang juga menyebabkan si anggota geng yang mengejar Allan untuk mengambil koper tersebut mati konyol. iya, mati, meninggal secara konyol, secara tidak sengaja. Mengenai hal kematian ini, orang-orang yang berurusan dengan Allan, entah itu berada di pihaknya atau di pihak yang menjadi pengejarnya, selalu tewas dengan cara yang kocak, satir banget.

Oke, tak sampai di situ, keberuntungan Allan ternyata memang banyak stoknya. Allan, yang dikira hilang kemudian menjadi Most Wanted-nya Swedia. Semua orang dan polisi mencarinya. Tentu saja tak ada yang berhasil menemukan dia, satu lagi anggota geng “Never Again” mati konyol pula, diduduki gajah! Iya, gajah yang secara tidak sengaja dipelihara si Jelita (bukan nama sebenarnya), partner in crime lain dari Allan yang ditemuinya di tengah pelarian dengan Julius dan Benny. Nah, Benny ini menjadi satu lagi partner in crime Allan yang ditemuinya secara tak sengaja di sebuah kios hotdog.

Polisi yang sedang disibukkan oleh hilangnya Allan, makin dipusingkan dengan hilangnya dua anggota geng “Never Again”, belum lagi kasus hilangnya koper berisi uang yang dicuri si “Never Again”. Melalui bermacam-macam keterangan saksi, polisi menyimpulkan bahwa hilangnya Allan, hilangnya uang puluhan juta Krona di dalam koper, hingga hilangnya dua anggota geng “Never Again” saling berkaitan, maka makin menjadi-jadilah status Most Wanted-nya Allan.

Satu lagi pihak yang ikut mencari Allan, ia adalah bos dari “Never Again”. Hampir tewas karena kecelakaan ketika mengejar Allan dan geng, ia akhirnya turut bergabung dengan Allan hanya gara-gara kakak Benny merupakan teman lamanya. Sayangnya, ketika si bos mulai bergabung, polisi mulai mencium jejak mereka dan akhirnya menemukan Allan dan komplotannya di rumah kakak Benny. Keberuntungan belum berakhir, Allan yang dituduh membunuh dua anggota geng “Never Again”, selamat berkat ditemukannya dua mayat geng tersebut jauh di luar negeri, pokoknya jauh dari Swedia. Bagaimana bisa begitu? Itulah hebatnya keberuntungan.


Tadi ialah kisah ketika Allan berusia 100 tahun, dan keberuntungan Allan tak hanya ketika ia berusia 100 tahun. Siapa yang sangka bahwa ia pernah menjadi ce-es-nya Churchill, Franco, Stalin, bahkan Mao Zedong? Itu semua akibat keberuntungan. Oya, kalau cerita tentang bagaimana budaya Indonesia yang diceritakan di kisah Allan ini sebagai bangsa yang mudah disuap, tentunya itu bukan suatu keberuntungan dong? Itu aib, dan ternyata aib itu terdengar sampai Swedia. Indonesia? Mau begini terus?



Rabu, 02 April 2014

Perjalanan ke Pusat Bumi ~ Jules Verne


352 p., Elex Media Komputindo, Januari 2010



Sudah lama saya sangat mendamba-dambakan buku karangan bapak fiksi paling hebat di dunia, Jules Verne. Akhirnya, selesai juga saya membaca kisah ini, sebuah buku berjudul Perjalanan ke Pusat Bumi, sebuah buku fenomenal, karena isinya yang tidak terbayangkan ketika buku ini ditulis yaitu sekitar tahun 1800-an.

Berawal dari impian seorang profesor yang menemukan sebuah penemuan yang mengatakan ada seseorang bernama Arne Saknussem yang berhasil menembus perut bumi melalui sebuah gunung yang telah lama mati di Islandia. Ini adalah sebuah kisah yang sebenarnya masih diragukan keabsahannya, apalagi oleh keponakan si profesor yang terpaksa mengikuti semua keinginan si profesor terutama ketika ia mengajak si ponakan menapaktilasi jejak Saknussem menembus perut bumi. 

Akhirnya, dengan terpaksa si keponakan mengikuti jejak sang paman. Dengan bantuan seorang asisten yang serbaguna yang juga telah mengenal selukbeluk Islandia karena ia orang lokal, mereka bertiga kemudian masuk menembus gunung yang diceritakan. Terus dan terus, semakin dalam dan semakin dalam, membawa para pembacanya ikut pengap dengan situasi yang tak dapat diduga di dalam perjalanan.

Buku ini luar biasa. Verne telah mampu melukiskan hal-hal yang pada zaman itu dianggap mustahil. Coba saja pikirkan, mana ada di tahun tersebut orang-orang yang nekat masuk ke perut bumi. Apalagi, teknologi belum semodern sekarang, kita tak pernah tahu apa isi perut bumi sebenarnya. Tapi inilah mengapa Verne disebut sebagai bapak fiksi yang termasyhur. Melalui imajinasi dan fantasinya, ia ciptakan isi dari perut bumi dan perjalanan menuju sana dengan sangat indah. Verne juga mampu membuat pembaca merasakan apa yang dirasakan oleh si tokoh dalam buku ini. Jujur saja, ketika membaca buku ini saya merasa berada dalam kegelapan pekat, tanpa sinar matahari, dan yang paling penting sibuk memikirkan, bagaimana caranya nanti keluar dari perut bumi ini. Saya juga tidak menyangka bahwa pemikiran Verne memang sangat luar biasa, bagaimana ia menciptakan hal-hal yang bertentangan dengan pemikiran awam selama ini bahwa pusat bumi menghasilkan panas yang sangat dahsyat dan juga minim oksigen, sehingga hal ini mampu membuat imajinasi orang-orang menuju satu muara, benarkah yang Verne tuliskan?

Memang, buku ini memang fiksi belaka, tetapi siapa tahu suatu saat ada seseorang atau sekelompok orang yang mulai ”gila” untuk benar-benar melakukan ekspedisi ke pusat bumi dan menemukan apa yang Verne tulis. Bukan hal yang mustahil, mengingat banyak Vernian di luar sana, siapa tahu mereka begitu tergila-gila terhadap Jules Verne dan melakukan hal serupa dengan yang tim ekspedisi di buku ini lakukan.


Buku ini layak masuk list 1001 books you must read before you die. Saya juga puas telah berhasil menamatkan salah satu buku legendaris karya penulis legendaris. Selanjutnya impian saya ialah membaca buku-buku berikutnya dari Jules Verne, terutama 80 Hari Keliling Dunia, sebuah buku yang juga masuk list 1001, sebuah buku yang juga impossible, 80 hari keliling dunia? Di tahun 1800-an? Makin bikin penasaran. Semoga saya cepat memperoleh buku ini.Sudah lama saya sangat mendamba-dambakan buku karangan bapak fiksi paling hebat di dunia, Jules Verne. Akhirnya, selesai juga saya membaca kisah ini, sebuah buku berjudul Perjalanan ke Pusat Bumi, sebuah buku fenomenal, karena isinya yang tidak terbayangkan ketika buku ini ditulis yaitu sekitar tahun 1800-an.

Berawal dari impian seorang profesor yang menemukan sebuah penemuan yang mengatakan ada seseorang bernama Arne Saknussem yang berhasil menembus perut bumi melalui sebuah gunung yang telah lama mati di Islandia. Ini adalah sebuah kisah yang sebenarnya masih diragukan keabsahannya, apalagi oleh keponakan si profesor yang terpaksa mengikuti semua keinginan si profesor terutama ketika ia mengajak si ponakan menapaktilasi jejak Saknussem menembus perut bumi. 

Akhirnya, dengan terpaksa si keponakan mengikuti jejak sang paman. Dengan bantuan seorang asisten yang serbaguna yang juga telah mengenal selukbeluk Islandia karena ia orang lokal, mereka bertiga kemudian masuk menembus gunung yang diceritakan. Terus dan terus, semakin dalam dan semakin dalam, membawa para pembacanya ikut pengap dengan situasi yang tak dapat diduga di dalam perjalanan.

Buku ini luar biasa. Verne telah mampu melukiskan hal-hal yang pada zaman itu dianggap mustahil. Coba saja pikirkan, mana ada di tahun tersebut orang-orang yang nekat masuk ke perut bumi. Apalagi, teknologi belum semodern sekarang, kita tak pernah tahu apa isi perut bumi sebenarnya. Tapi inilah mengapa Verne disebut sebagai bapak fiksi yang termasyhur. Melalui imajinasi dan fantasinya, ia ciptakan isi dari perut bumi dan perjalanan menuju sana dengan sangat indah. Verne juga mampu membuat pembaca merasakan apa yang dirasakan oleh si tokoh dalam buku ini. Jujur saja, ketika membaca buku ini saya merasa berada dalam kegelapan pekat, tanpa sinar matahari, dan yang paling penting sibuk memikirkan, bagaimana caranya nanti keluar dari perut bumi ini. Saya juga tidak menyangka bahwa pemikiran Verne memang sangat luar biasa, bagaimana ia menciptakan hal-hal yang bertentangan dengan pemikiran awam selama ini bahwa pusat bumi menghasilkan panas yang sangat dahsyat dan juga minim oksigen, sehingga hal ini mampu membuat imajinasi orang-orang menuju satu muara, benarkah yang Verne tuliskan?

Memang, buku ini memang fiksi belaka, tetapi siapa tahu suatu saat ada seseorang atau sekelompok orang yang mulai ”gila” untuk benar-benar melakukan ekspedisi ke pusat bumi dan menemukan apa yang Verne tulis. Bukan hal yang mustahil, mengingat banyak Vernian di luar sana, siapa tahu mereka begitu tergila-gila terhadap Jules Verne dan melakukan hal serupa dengan yang tim ekspedisi di buku ini lakukan.

Buku ini layak masuk list 1001 books you must read before you die. Saya juga puas telah berhasil menamatkan salah satu buku legendaris karya penulis legendaris. Selanjutnya impian saya ialah membaca buku-buku berikutnya dari Jules Verne, terutama 80 Hari Keliling Dunia, sebuah buku yang juga masuk list 1001, sebuah buku yang juga impossible, 80 hari keliling dunia? Di tahun 1800-an? Makin bikin penasaran. Semoga saya cepat memperoleh buku ini. 

The Girl Who Kicked the Hornets' Nest ~ Stieg Larsson



984 p., Qanita, Januari 2011


The Girl Who Kicked The Hornets’ Nest. Ini merupakan buku ketiga dari serial Millennium, yang sekaligus buku terakhir. Mungkin akan lain ceritanya apabila Stieg Larsson belum meninggal, pastinya akan lebih banyak serial dari Millennium ini. Buku ini ialah lanjutan dari buku kedua, The Girl Who Played with Fire, jadi jangan heran apabila saat membuka buku ini si tokoh utama (si ”The Girl”) sedang terbaring di rumah sakit.

Masih tentang Mikael Blomkvist dan ”The Girl” Lisbeth Salander, cerita dari buku ini juga masih lanjutan dari kasus sebelumnya, yaitu pembunuhan yang dituduhkan terhadap Lisbeth Salander. Tanpa diduga, pembunuhan yang dituduhkan ini ternyata berefek lebih besar, gara-garanya, orang-orang yang terlibat dalam kasus ini ialah seorang mata-mata Rusia di jaman dahulu kala yang dilindungi oleh Sapo (kepolisian rahasia Swedia). Tak hanya itu, orang-orang yang terlibat ini pun terlibat dalam malpraktik mengenai kondisi kejiwaan Salander di masa lalu. Sungguh, sebuah situasi yang saling berkaitan secara tak sengaja.

Sapo sendiri tak pernah tahu kalau di Swedia pernah ada mata-mata Rusia (mungkin akan spoiler buku kedua apabila saya menyebutkan siapa dan apa kaitan si mata-mata tersebut dengan tokoh utama buku ini, maka saya memutuskan untuk tak akan memberitahu siapa dia), ternyata, ada sebuah tim rahasia lagi di balik kepolisian rahasia, tim yang tak terlihat, tak terdeteksi, bahkan juga keberadaannya tak diakui oleh Sapo. Tim rahasia inilah yang berkaitan dengan mata-mata ini, dan apabila kasus ini terbongkar maka kelangsungan anggota tim rahasia ini akan terancam oleh pemerintahan Swedia. Nah, oleh sebab itu, tim rahasia ini ”bereuni” lalu bergerak guna membungkam orang-orang yang terlibat kasus ini dengan cara membunuh mereka, termasuk Salander dan Blomkvist.

Sangat seru melihat adu mata-mata di dalam buku ini. Satu pihak memata-matai pihak lain tanpa sadar ia sendiri sedang dimata-matai oleh pihak lainnya. Belum lagi konspirasi-konspirasi yang ada, membuat buku setebal hampir 1000 halaman ini saya lahap tanpa masalah. Bisa dibilang, buku ini tebal namun gurih, karena selain kasus yang menjadi tema utama buku ini, ada pula topik lain yang cukup menarik dibahas di sini. Salah satu topik lain yang menarik bagi saya yaitu bagaimana perjalanan Erika Berger (rekan kerja Blomkvist) dalam berpindah tempat kerja di dunia media. Saya sedikit banyak jadi mengetahui seluk beluk dunia media melalui sudut pandang Erika sebagai pemimpin redaksinya. Topik sampingan ini pula yang menurut saya membuat buku ini jadi tebal tetapi lebih menarik untuk dibaca, karena pembaca tidak terus-menerus disuguhi sebuah kasus yang rumit. Jadi bisa dibilang topik ini sebagai imtermezzo dari kasus utama.

Satu hal lagi yang membuat saya takjub yaitu tentang dunia hacker. Salander yang hampir sepanjang cerita berada di rumah sakit tanpa diduga berperan aktif dalam memecahkan kasus yang sedang terjadi. Dengan sedikit bantuan jenius dari Mikael guna mengakali ketiadaan fasilitas internet di rumah sakit, kejeniusan Salander sebagai hacker sangat menarik untuk diikuti, apalagi ia juga dibantu hacker-hacker lainnya yang seolah-olah bersatu guna mendukung rekan-rekannya sesama hacker.


Satu hal yang agak kurang memuaskan, yaitu tak adanya pembahasan dan pemecahan terhadap Teorema Fermat, padahal dari semenjak buku kedua saya sangat penasaran. Entahlah, seperti telah saya bahas di awal, mungkin jika Stieg Larsson belum meninggal, pastinya akan ada lebih banyak sekuel dari serial Millennium ini, dan pemecahan dari Teorema Fermat ini akan terbahas. Selain itu, masih banyak hal-hal yang belum terungkap dan terselesaikan dari buku ini, salah satunya mengenai saudari kembar Lisbeth yang sama sekali belum muncul, belum lagi tentang bagaimana kelanjutan hubungan Lisbeth-Mikael, penasaran sangat. Semoga saja sebenarnya Stieg Larsson telah menulis lebih banyak tentang Millennium ini tetapi sampai saat ini belum ada yang menemukannya, dan semoga suatu saat ada yang menemukan filenya untuk kemudian menerbitkannya, amiiin... Lima bintang

The Screaming Staircase ~ Jonathan Stroud



424 p., Gramedia Pustaka Utama, Jan. 2014


London lagi, kejahatan lagi. Belum lekang dari ingatan, bulan lalu dengan gemilang Cormoran Strike baru saja memecahkan kasus kematian model terkenal, Lula Landry. Kali ini, kasus yang muncul sama juga, telah terjadi beberapa tahun yang lalu, bahkan berpuluh-puluh tahun yang lalu! Tokoh kita kali ini ialah kelompok pemburu hantu yang belum terkenal di London, Lockwood & Co.. Bagaimana bisa terkenal, toh anggota kelompok ini hanya tiga orang, Anthony Lockwood sebagai founder sekaligus pemimpin kelompok, dan George serta Lucy Carlyle sebagai pegawainya.

Nah, kasus kali ini menimpa seorang gadis bernama Annabelle. Jasadnya ditemukan oleh Lockwood & Co. tertanam di dinding sebuah rumah yang sedang mereka selidiki keberadaan hantunya. Ternyata, arwah Annabelle inilah yang menjadi pengganggu selama ini di rumah tersebut. Bagaimana tidak, Annabelle mati secara misterius, pembunuhnya belum ditemukan sampai lebih dari setengah dekade, dan jasadnya disemen dengan begitu sadisnya di dinding rumahnya sendiri! Dengan berbekal kalung yang Lucy ambil dari jasad Annabelle, ternyata kalung itu dapat bercerita lebih banyak kepada Lucy, tentu saja dengan mengambil wujud hantu Annabelle. Tanpa dinyana, ternyata kasus Annabelle ini berkaitan dengan orderan selanjutnya yang datang pada Lockwood & Co. yaitu berupa kasus hantu yang mengganggu di sebuah rumah mewah yang terkenal dengan Kamar Merah dan Undakan Menjerit-nya.


Buku ini jelas saja sebuah buku dengan genre baru bagi saya. Buku yang bercerita tentang pemburu hantu, fantasi, tapi siapa tahu kalau di luar negeri sana benar-benar ada kelompok pemburu hantu seperti ini. Ekspektasi buku ini akan sekocak Bartimaeus sebaiknya dibuang jauh-jauh, karena Jonathan Stroud sebagai penulis dari kedua buku ini sama sekali tidak menyelipkan lawakan-lawakan gila laiknya di kisah Barty. Footnote pun tak ada di buku ini, istilah-istilah dunia perhantuan diindeks di halaman paling belakang, dan agak ribet sebetulnya, karena banyak istilah-istilah baru di buku ini yang pembaca awam tentu saja belum tahu. Kata-kata Tipe Satu, Tipe Dua, Sumber, Masalah, perlu dipahami terlebih dahulu apabila ingin benar-benar mendapatkan feel dari buku ini.

Di balik semua hal tadi, saya sangat memuji kecerdasan Stroud dalam menciptakan sebuah kota baru, kota London yang benar-benar suram, penuh hantu, serta sarat dengan perlengkapan-perlengkapan penangkal hantu, dua jempol untuk si penulis. Begitu juga dengan istilah-istilah tadi (Tipe Satu, Tipe Dua, Sumber, dkk.), Stroud mampu menciptakan istilah-istilah baru (setahu saya) yang sangat khas dan menjadi sebuah ciri baru bagi buku dan dunianya.

Mengenai buku terjemahannya sendiri, banyak yang kecewa karena ternyata cover buku ini yang begitu menyeramkan ternyata sama sekali tidak berhubungan dengan isi buku ini. Ya, tak ada sama sekali adegan seorang (atau sesosok?) hantu naik kuda-kudaan di buku ini. Tetapi anehnya, setelah saya melihat trailer buku ini di youtube, ada adegan kuda-kudaan sedang bergerak sendiri, apakah itu inspirasi si pembuat cover membuat cover seperti ini? Mungkin. Tapi yang jelas covernya keren (walaupun rapuh), ada sebuah lubang kunci yang di baliknya terdapat sesosok gadis hantu (yang sedang menatapmu) yang menyeramkan sedang naik kuda-kudaan.


Oh ya, buku ini berseri, masih banyak misteri-misteri yang belum terungkapkan di buku pertama ini. Tetapi satu hal yang pasti, nama Lockwood & Co. pastinya akan menjadi lebih terkenal di buku-buku selanjutnya. Tiga bintang.

The Cuckoo's Calling ~ Robert Galbraith


520 p., Gramedia Pustaka Utama, Dec. 2013


11 Hari. Itulah yang saya butuhkan guna menyelesaikan sebuah buku dari J.K. Rowling yang ganjen memakai nama Robert Galbraith berjudul The Cuckoo’s Calling. Buku setebal 520 halaman ini sebenarnya tidak terlalu berat, namun terlalu “mewahnya” diksi yang digunakan sang penerjemah membuat bagian awal buku ini seakan-akan menyentil para pembaca tentang perbendaharaan kata yang dimiliki, kalau tidak mau mengatakan seolah-olah membuat pembaca merasa bego diri.

Oke, buku ini sangat berbeda genre dengan Harry Potter. Dengan Galbraith, JKR mencoba membawa pembaca ke dalam dunia perdetektifan dengan tokoh utama seorang veteran perang (yang kalau saya tak gagal paham baru berusia 34 tahun) dengan satu kaki sintetis, badan besar laiknya seorang petinju serta rambut keriting jijay yang mirip “sesuatu”. Detektif ini bernama Cormoran Strike. Seperti kisah-kisah detektif lainnya, pastilah sang detektif utama mempunyai asisten yang membantunya dalam menangani sebuah kasus. Dalam buku ini, Cormoran dibantu oleh Robin, sekretaris temporernya yang siapa tahu apabila ada sekuel dari buku ini bakal menjadi sekretaris sekaligus asisten tetapnya.

Kasus kali ini menceritakan tentang John Bristow yang menyewa Strike guna menangani kasus kematian adik tirinya yang juga seorang model terkenal yaitu Lula Landry. Kasus yang sebenarnya telah terjadi tiga bulan yang lalu ini ditutup dengan hasil penyelidikan polisi seperti berikut: Landry dinyatakan bunuh diri dengan cara melompat dari flatnya di lantai tiga melalu balkon flatnya. John tak percaya adiknya bunuh diri, maka dari itu ia menyewa Strike guna menyelidiki dan menguak kembali kisah tragis ini.

Dalam perjalanannya menyelidiki kasus ini, Strike juga dihadapkan dengan masalah pribadinya. Namun hal ini belum mendapat porsi berlebih di dalam serial pertama ini, entah apakah kisah percintaan Strike di buku-buku selanjutnya bakal lebih pelik, siapa tahu? Karena di serial ini anda berhadapan dengan JKR, si jago twist kalau menurut saya, ditilik dari pengalamannya menulis Harry Potter.

Seperti telah saya singgung di atas, frustasi dengan diksi yang ada juga merupakan salah satu keluhan saya tentang buku ini. Untungnya, bagian tengah sampai akhir hal tersebut mulai terabaikan dan tak mengganggu lagi. Mungkin, selain kejutan diksi tadi, saya juga sedang beradaptasi dengan tulisan Galbraith, karena tak jarang bayang-bayang Harry Potter selalu muncul ketika saya ingat bahwa buku ini ditulis oleh JKR. Untungya lagi, bayang-bayang Harry Potter ini hanya muncul juga samapi bagian seperempat buku saja, selebihnya bisa dibilang saya menikmati petualangan dan penyelidikan Strike dan Robin dalam mengungkap kasus kematian Lula Landry ini.

Menurut berita-berita yang saya baca, identitas JKR yang ketahuan ialah akibat banyaknya fashion yang dibahas di buku ini. Memang, bagian tentang fashion ini terasa sekali, apalagi ketika adegan penyelidikan Strike di butik mewah. Adegan inilah yang dinilai terlalu detail apabila buku ini memang benar-benar ditulis oleh seorang lelaki. Tetapi menurut saya, bagian di butik ini agak janggal, karena begitu mudahnya butik ini “kebobolan” oleh aksi Strike dan Robin. Well, setidaknya JKR harus belajar untuk lebih maskulin lagi apabila ingin mencoba menulis dari sudut pandang laki-laki. Empat bintang





Jakarta - Paris via French Kiss ~ Syahmedi Dean



355 p., Gramedia Pustaka Utama, June 2005


Campur aduk. Itulah perasaan saya ketika membaca buku ini. Dibilang suka, cerita buku ini bisa dibilang lumayan seru, bikin penasaran. Dibilang membosankan, bisa juga, sebabnya terlalu banyak detail tentang fashion dibahas di buku ini, yaa... namanya juga buku bertemakan fashion.

J.P.V.F.K. alias Jakarta-Paris via French Kiss. Judul yang cukup menantang, apalagi ada kata-kata French Kiss-nya, pastilah banyak yang menganggap buku ini vulgar. Kenyataannya memang seperti itu walaupun kevulgarannya masih dapat ditolerir. Buku ini bercerita tentang persahabatan empat orang yang bekerja di dunia fashion. Alif, Raisa, Didi dan Nisa, merekalah tokoh-tokoh di dalam buku ini, meskipun menurut saya tokoh utamanya lebih cenderung kepada Alif. Saya bahkan beranggapan bahwa Alif ini ialah si penulis sendiri yaitu Syahmedi Dean. Buku ini sendiri menurut anggapan sok tahu saya ialah sedikit memoar tentang si penulis.

Tema besar buku ini yaitu tentang fashion. Sehingga seperti telah saya sebut di atas, terlalu banyak detail tentang fashion yang dikenakan seseorang di dalam buku ini. Nah, sempat saya bilang campur aduk juga bukan di atas? Itu merujuk juga kepada tema yang coba diusung buku ini. Ya, selain fashion, menurut saya buku ini juga bisa dikatakan bertema traveling, bahkan LGBT! Traveling, karena setting buku ini lebih banyak di kota-kota yang memiliki jadwal Fashion Week, yaitu London, Milan, dan Paris. Banyak tempat-tempat di ketiga kota tersebut yang disebut-sebut di sini, membuat pembaca seolah-olah sedang berada di kota tersebut. LGBT, karena kelakuan Didi di buku ini mencerminkan tema ini. Ya, french kiss yang dilakukan Didi ialah terhadap sesama jenis! Diceritakan juga sebuah tempat sauna khusus gay di Milan walaupun hanya sekilas, tetapi saya tidak tahu apakah itu fakta atau fiksi, maklum saya bukan gay...

Melalui buku ini, kita diajak untuk menelusuri glamornya dunia fashion. Tak hanya itu, celah-celah ketika diadakannya fashion show pun banyak diceritakan, belom lagi bagaimana meriahnya suasana-suasana Fashion Week yang terjadi melalui sudut pandang wartawan dalam diri Alif. Pembaca jadi banyak tahu bagaimana sulitnya menjadi wartawan fashion, kejar sana kejar sini guna menuju tempat pergelaran, kiat-kiat mencari tiket guna masuk tempat pergelaran, sampai trik guna mengakali postur orang Indonesia yang di bawah orang Eropa. Di sini, diceritakan Alif dan haris (fotografernya) sampai membawa tangga untuk mendapatkan posisi yang enak guna meliput acara-acara tersebut. Tangga itu dibawa jauh-jauh dari Indonesia lho!

Tentang tokoh Alif sendiri, saya salut atas apa yang si penulis buat. Di balik glamornya dunia Alif, ia tak lupa pada Tuhannya. Memang, bagian Alif sholat ini hanya muncul sedikit sekali, tetapi hal ini menurut saya cukup unik, penulis seolah ingin menceritakan bahwa kehidupan dunia fashion tak selalu lupa pada Tuhan. Keunikan lain tokoh Alif yaitu tentang keyakinannya pada satu wanita, yaitu mantan istrinya, Saidah. Memang, banyak godaan-godaan yang menghampiri Alif, tetapi ia selalu yakin bahwa suatu saat ia akan kembali lagi bersatu dengan Saidah.

Tak ada masalah berarti dalam menyelesaikan buku ini, kecuali dalam kebosanan tentang detail dan cerita yang itu-itu saja (Fashion Week), konflik yang ada cukup wajar dan menarik, dan terutama sesuai dengan realita yang ada. Cuma satu hal yang saya sangat sayangkan, ending buku ini menggantung sangat, tak selesai. Untungnya, saya punya lanjutan buku ini yaitu P.G.P.D.C.. Tetapi untuk melengkapi koleksi 4 buku ini? Hm, nunggu obralan kali ya... 3 bintang...