Sabtu, 14 Desember 2013

The Enchantress; The End of the Flamels



Pernah “segitunya” membaca sebuah novel hingga kamu kemudian browsing / googling, atau apapun namanya guna mengecek apa-apa yang ada di buku yang barusan kamu baca? Buku yang saya baca ini menimbulkan efek seperti itu. Pertama terbit tahun 2008, seri pertama kisah Nicholas Flamel karangan Michael Scott ini mampu membuat saya sedikit belajar tentang mitologi, pahlawan masa lalu, hingga sejarah dan benda-benda kuno lainnya. Kali ini, yang saya baca ialah seri keenam dari buku ini, kisah pamungkas, sebuah buku yang terbit pertengahan 2013 di Indonesia dan diterbitkan oleh sebuah penerbit yang akan menjadi legenda, Matahati. Buku yang saya baca ini berjudul: The Enchantress.

Apa sebenarnya yang membuat saya “segitunya”? Ya itu tadi, perpaduan antara mitologi, sejarah, pahlawan / manusia legenda masa lalu, sci-fi, dan fiksi, membuat saya penasaran terhadap tokoh-tokoh yang ada di buku ini. Oke, pertama-tama tentunya pasangan Nicholas dan Perenelle Flamel. Pasangan ini dikabarkan sebagai pasangan abadi dan masih hidup hingga sekarang. Hal ini berdasarkan fakta bahwa makam keduanya di Paris sana ditemukan kosong melompong! Manusia abadi, itulah pasangan Flamel ini disebut, tetapi apakah hanya mereka saja manusia abadi di dunia ini? Nah, inilah yang membuat buku ini menarik. Dr. Dee, penasihat King Arthur di masa lalu, Niccolo Machiavelli (Italiano, penulis buku juga), Comte de Saint-Germain (namanya diabadikan menjadi klub sepakbola Paris St. Germain), Billy the Kid (penjahat Amerika paling termasyhur), Niten (alias Miyamoto Musashi) dan William Shakespeare-Joan of Arc (siapa yang tak kenal mereka berdua?) adalah beberapa manusia abadi lainnya yang dibuat oleh Michael Scott. Mungkin akan biasa saja jika kisah ini hanya seputar manusia abadi, makanya itu, Michael Scott membuat tokoh-tokoh lain yang disebut Tetua yang berdasarkan legenda dan mitologi-mitologi dunia. Hekate (dewi tiga usia), Bastet (dewi kucing), Morrigan (dewi gagak), Isis, Osiris, Prometheus, Anubis, Aten, dan lain-lain “dihidupkan” oleh Scott guna ikut berperan dalam buku ini. Coba saja browsing, pasti akan ada topik yang “nyangkut” ketika menulis nama-nama itu.

Scott sendiri mengakui, bahwa tokoh fiksi yang ia buat tak berdasarkan legenda hanyalah Josh dan Sophie Newman, si kembar tokoh utama buku ini. Pasangan kembar ini hidupnya berubah 180 derajat ketika mereka bertemu Flamel. Mereka ditasbihkan sebagai pasangan emas dan perak, yaitu pasangan legendaris yang diceritakan di sebuah codex ciptaan Abraham sang Magi (codex yang juga berisi petunjuk bagaimana cara mengubah batu menjadi emas), yang akan ditakdirkan sebagai Satu yang menghancurkan dunia, dan Satu yang menyelamatkan dunia.

Buku keenam ini sendiri terbagi menjadi dua seting utama, San Fransisco di masa kini, serta Danu Talis di sepuluh ribu tahun yang lalu. Di San Fransisco, pasangan Flamel yang usianya tinggal satu hari berjuang keras guna mencegah monster-monster mitologi (seperti sphinx, unicorn, nereid, dan lain-lain) yang dikurung oleh Dee di pulau Alcatraz menyerang dan menghancurkan San Fransisco. Sementara itu, di Danu Talis, si kembar disuguhi fakta mencengangkan tentang kedua orang tua mereka. Si kembar pun makin dekat dengan takdir mereka yang tentang satu yang menghancurkan dan satu yang menyelamatkan dunia.

Dengan tiap bab yang selalu berbeda cerita, para pembaca digiring untuk menikmati buku ini dengan penuh konsentrasi. Ya, cerita buku ini tidak melulu di San Fransisco selama beberapa bab berturut-turut, atau di Danu Talis secara berurutan. Bahkan, walaupun settingnya hanya di dua tempat, ada banyak sudut pandang tokoh yang bercerita di sini. Agak membingungkan, tetapi ini yang membuat cerita ini menarik. Apalagi, di buku terakhir ini fakta-fakta mulai terkuak dan jalan cerita menjadi jelas. Endingnya sendiri menurut saya mengejutkan, walau agak menggantung. Meskipun begitu saya tetap puas, karena pada akhirnya semuanya telah terungkap dengan jelas dan saling berkaitan. Dan yang paling penting, tak ada manusia yang benar-benar jahat di buku ini, karena di setiap manusia yang jahat pasti tetap menyimpan kebaikan.


Oya, ada lagi hal menarik yang membuat saya jatuh cinta kepada serial ini. Hal itu ialah perbincangan-perbincangan ringan, bahkan konyol di antara tokoh-tokohnya. Salah satu contoh ialah ketika St. Germain berbincang-bincang dengan istrinya, Joan of Arc, tentang rencananya menciptakan sebuah lagu gara-gara ia terinspirasi ketika sedang terbang dengan vimana (sejenis piring terbang) menuju pertempuran di piramida rata. Ada lagi, ketika Billy the Kid dan Elang Hitam membahas tentang nama dari capit kepiting, padahal ketika itu mereka dalam bahaya dan sedang menghadapi serangan dari seekor kepiting raksasa, sempat-sempatnya. Hal-hal seperti ini pula yang membuat saya tak ragu untuk memberi lima bintang.


Judul: The Enchantress (Flamel #6)
Penulis: Michael Scott
Tebal: 634 hal.
Penerbit: Neo Matahati
Tahun Terbit: 2012 (1st) / 2013 (terjemahan)
Rate: 5/5

Sophie dan BFG, Raksasa Besar yang Baik



BFG. Big Friendly Giant. Raksasa yang baik hati. Tapi, baik hati kok malah menculik Sophie? Itu karena manusia memang makhluk yang tak bisa menyimpan rahasia. Apabila Sophie yang tak sengaja melihat BFG itu tak diculik oleh BFG, maka pastinya kabar tentang adanya raksasa di dunia ini pasti sudah tersebar dan akan ada perburuan besar-besaran terhadap para raksasa. Raksasa ini sebenarnya hanya ada sepuluh, sayangnya hanya BFG yang baik hati dan “peniup” mimpi baik bagi umat manusia, sedangkan sembilan raksasa lainnya yang ukurannya lebih besar daripada BFG merupakan raksasa pemakan manusia!

Petualangan Sophie di kediaman raksasa ini penuh teror. Sekali saja ia ketahuan oleh raksasa lainnya, ia akan langsung dilumat habis oleh mereka. Ah, memang jahat raksasa-raksasa itu. Hanya di malam hari Sophie aman dari raksasa-raksasa itu, ini dikarenakan malam hari yaitu saatnya para raksasa memburu manusia! Ya, para raksasa itu akan menyebar di seluruh dunia dan memakan manusia-manusia yang menurut mereka lezat. Aksi ini dilakukan secara rapi, buktinya, tak ada yang tahu kemana hilangnya manusia-manusia yang dimakan oleh raksasa. Selain itu, jejak raksasa ini tak ketahuan oleh siapapun! Jadi hilangnya beberapa orang di seluruh dunia dianggap sebuah misteri oleh manusia lainnya, tak pernah terpikir bahwa manusia-manusia ini dimakan oleh raksasa.

Sophie muak pada mereka. Ia miris melihat kaum manusia menjadi korban para raksasa. Ia pun mengeluarkan sebuah ide brilian, ide untuk menghentikan aksi para raksasa ini dalam memburu manusia. Tentunya, ide Sophie ini tak akan bisa terlaksana tanpa bantuan BFG, keahliann BFG dalam meniup mimpi, serta bantuan Ratu Inggris. Ya, Ratu Inggris diseret oleh Roald Dahl untuk membantu Sophie meringkus para raksasa ini.

Sebuah kisah yang unik, yang menyatukan cerita hasil pemikiran Roald Dahl dengan dongeng-dongeng legendaris lainnya. Ini terbukti dari rasa ketakutan para raksasa ini HANYA kepada satu manusia, yaitu Jack. Jack ini terkenal dengan tanaman kacang rambatnya yang mampu menembus awan dan menghabisi kaum raksasa, dongeng inilah yang mengilhami RD guna membuat satu hal yang paling ditakuti oleh raksasa. Hal lain yang menarik yaitu mengenai Dahl’s Chickens. Saya sempat dibuat bingung, apakah Dahl’s Chickens itu? Ternyata, BFG yang memang mempunyai kemampuan bicara yang sering terbolak-balik dalam mengolah kata salah menyebut nama pengarang favoritnya, yaitu Charles Dickens menjadi Dahl’s Chickens. Luar biasa memang imajinasi RD dalam membuat cerita.

Di cerita ini pun banyak terselip pesan moral. Salah satunya yaitu bagaimana Roald Dahl mencoba mengatakan bahwa hanya manusialah makhluk yang paling bersifat binatang. Ini terbukti dari HANYA manusialah yang saling membunuh sesama kaumnya, bahkan para raksasa pun tidak membunuh sesama mereka, sekasar apapun mereka. Sungguh sebuah pesan moral yang membuat jleb menurut saya.


Terakhir, ending buku ini juga lumayan keren. Jangan mengira penulis buku ini benar-benar Roald Dahl, baca ending buku ini, dan berpikirlah, kira-kira apakah benar yang dikatakan ending buku ini. Empat bintang.


Judul: The BFG
Penulis: Roald Dahl
Tebal: 200 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 1982 (1st) / 2010 (terjemahan)
Rekomendasi Usia: Semua Umur
Rate: 4/5

Rabu, 04 Desember 2013

Rene Star #1



Pernah gak sih kalian mengalami rasa frustasi ketika membaca sebuah buku? Entah itu gara-gara ceritanya yang membosankan, typo gak ketulungan, atau hal-hal mendasar lainnya? Saya baru saja mengalaminya. Buku yang saya baca kali ini berjudul Rene Star (Langit Gelap Diatas Ku). Mengapa frustasi? Coba cek dulu judulnya, saya tulis judul buku itu apa adanya, ada yang salah? Oke, kita bahas sebagian besarnya ya.

Buku ini sepertinya dipublikasikan tanpa melewati seorang editor, ya, saya juga pernah baca sebuah buku konyol dan kocak yang tanpa ada editor, tapi menurut saya buku tersebut lebih bisa dimaafkan karena memang genre-nya komedi, jadi keterbatasan tanpa editor itu dapat tertutupi dari jalan ceritanya yang lumayan dapat membuat mesem-mesem. Nah, masalahnya buku Rene Star ini bukanlah sebuah buku yang bergenre komedi, ini bisa dibilang sejenis metropop gitu yang diterbitkan secara indie, maka yang ada ialah frustasi ketika membaca buku ini, jalan cerita yag serius dan lumayan dirusak oleh hal-hal mendasar yang seharusnya tidak boleh salah.

Pertama, setiap dialog di buku ini (yang menggunakan tanda kutip), pasti ditulis dengan italic. Oh, ya gak mesti juga kan, soalnya jadi rancu antara kata-kata bahasa Indonesia asli dengan kata-kata asing yang ada. Tapi okelah, hal ini tak terlalu mengganggu bagi saya. Kedua, setiap akhiran -nya, si penulis selalu menuliskannya dengan cara dipisahkan. Geregetan deh jadinya, contohnya di halaman 5:

Sesaat setelah itu... “Ashhh.. kenapa aku melakukan nya” keluh nya sambil melihat ranjang basah karena tingkah nya semalam.

Terlihat jelas bukan contoh dari si italic dan si -nya yang dipisahkan? Itu saya tulis sesuai yang tertera di buku. Oh ya, ranjang basah gara-gara si tokoh hujan-hujanan lho, gak maksud menjurus ke hal yang mesum :p

Kedua, setiap selesai dialog, si penulis selalu menggunakan tanda titik, sehingga otomatis setelah tanda kutip pasti akan muncul huruf kapital laiknya di word dan sejenisnya. Kita ambil contoh di halaman 128 berikut ini:

Hihihi... dengan ini dia tak akan pernah mengacuhkan ku lagi... dia akan sangat berterima kasih.” pikir Eric. “Ericcccc... aku mencari mu kemana-mana. Kenapa selalu lari dari ku. Kamu jahat.” Ujar Lily yang tiba-tiba merengkuh erat tangan Eric itu .

Dan hal tersebut ada terus menerus... selain itu satu paragraf berisi banyak dialog, seperti di atas, dua orang yang berbeda berbicara dalam satu paragraf yang sama.

Ketiga, sound effect yang digunakan juga lumayan mengganggu. Seperti dalam bukunya Mbak Dhia Citrahayi di Para Pengendali Naga, bedanya sound effect ini ditulis tidak dalam huruf kapital. Contohnya, seperti “ting...tong...ting...tong...”, itu suara bel kamar Rene, terdengar merdu bukan sound effectnya? #hammer

Keempat, dan ini yang paling membuat saya FRUSTASI. Kebanyakan menggunakan kata “celetuk” nih si penulis. Terbayang gak di benak kalian, bagaimana orang yang menyeletuk? Yang terbayang pasti seseorang yang menyela pembicaraan atau orang yang memecahkan keheningan, betul? Nah, di buku ini mah tidak, celetuk ini saking banyaknya dipakai jadi serupa seperti: “kata”, “ujar”, dan lain-lain. Di halaman 198 saja ada dua kata celetuk digunakan, padahal konteks si orang yang berbicara, dia tidak sedang menyeletuk, dia hanya berkata dan berujar biasa-biasa saja.

Cukup.

Cerita buku ini sendiri ialah tentang seorang Rene, seorang gadis yang hidup sebatang kara, yang tanpa sengaja menjadi incaran empat orang lelaki guna dijadikan sebagai kekasih! Memang, Rene ini seorang pribadi yang unik, saya akui cara penulis menjadikan diri Rene unik merupakan salah satu kekuatan di buku ini. Rene, yang introvert, tetapi sering juga ke klub malam, dan uniknya lagi di klub tersebut dia hanya diam di pojokan dengan telinga disumbat kapas. Latar belakang keluarga Rene pula yang membuat Rene ini unik, ia “dijual” ayahnya kepada seorang saudagar guna melunasi utang-utangnya. Kejadian inilah yang membuat Rene tertutup dan menjadi seorang yang penyendiri.


Akhir kata, saya bukanlah ahli bahasa, bukan pula sok jago dalam mengomentari sebuah buku. Saya hanya memberikan sesuai kemampuan dan pengalaman saya dalam membaca buku. Mohon maaf apabila saya dikatakan ngelunjak, karena setelah diberi buku gratis namun memberikan respon negatif terhadap buku ini. Semoga saja kisah Rene selanjutnya bisa dikemas lebih apik, dan kalau bisa telah melewati seorang editor. Terima kasih.


Judul: Rene Star: Langit Gelap di Atasku
Penulis: Yanne Sumayow
Tebal: 226 hal.
Penerbit: Amare Books
Tahun Terbit: 2013
Rate: 3/5

Jumat, 29 November 2013

Miss Marple - 13 Kasus



Entah kenapa dari dahulu saya kurang menyukai Miss Marple, untuk karya dari Agatha Christie jelaslah saya lebih menyukai Hercule Poirot, mungkin karena Poirot lebih beraksi dan lebih menantang dibandingkan Miss Marple dalam melakukan aksinya. Jane Marple, itu nama lengkap si nenek tua yang hidup seorang diri di sebuah desa yang bernama St. Mary Mead. Dalam melakukan dan memecahkan kasus, ia selalu bercermin pada kisah-kisah lama yang menimpa orang-orang di sekelilingnya, karena ia yakin setiap kisah pasti berulang.

Buku yang saya baca kali ini berjudul Tiga Belas Kasus atau The Thirteen Problems. Buku ini terbit pertama kali di tahun 1932, diterjemahkan pertama kali ke bahasa Indonesia pada tahun 1997, dan saya membaca buku cetakan pertamanya. Seperti terlihat dari judul, buku ini ialah kumpulan dari tige belas kasus yang terjadi di kehidupan Miss Marple. Terdiri dari 13 bab dengan konsep kumpulan cerita perbabnya, Miss Marple mencoba untuk setidaknya lebih terlibat dalam kasus-kasus tersebut.

Cerita pertama berjudul Klub Selasa Malam. Cerita ini tentang sebuah keluarga yang dikejutkan oleh kematian mendadak sang nyonya rumah. Kematian yang tadinya dianggap bunuh diri ini akhirnya terpecahkan setelah ada salah seorang anggota keluarga tersebut yang diet, hanya itulah satu-satunya petunjuk. Miss Marple sendiri mengawali pemecahan kasus ini gara-gara ia pernah mempunyai tetangga dehgan kondisi keluarga seperti keluarga yang terkena tragedi tersebut. Perselingkuhanlah yang akhirnya menjadi inti kasus kematian ini. Cerita kedua ialah Rumah Pemujaan Astarte. Berhubungan dengan kisah klenik yang ada di Astarte itu, seorang pemuda meninggal dunia ketika berada di sekitar Rumah Pemujaan tersebut. Ternyata ini adalah pembunuhan, dimana pembunuh tersebut mampu memanfaatkan mitos yang terjadi dan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Motifnya: cinta dan harta. Batangan-Batangan Emas merupakan cerita yang bersetting cukup menarik, yaitu di Cornwall. Cornwall sendiri pernah muncul di cerita Lima Sekawan, dan kedua cerita ini mempunyai satu muara yang sama, yaitu harta karun. Sempat terpikir, apakah Cornwall yang sebenarnya juga mempunyai cerita-cerita harta karun semacam itu atau hanya fiksi belaka. Cerita lainnya berjudul Noda Darah di Trotoar, ide dasar kasus ini ialah penipuan oleh sepasang suami istri, kejahatan yang dilakukan oleh suami istri ini akhirnya terungkap melalui ditemukannya noda darah di trotoar tersebut.

Masih banyak motif-motif lain yang diceritakan, ada yang mengambil reaksi kimia sebagai dasarnya, hingga hal-hal lainnya. Cerita paling menarik ialah cerita di bab ketigabelas yang berjudul Mati Tenggelam, hal ini disebabkan oleh prediksi Miss Marple atas seorang pelaku kehahatan yang ternyata sangat tepat, padahal tadinya orang yang dimaksud sangat tidak berkaitan debgan kasus itu.


Yang unik lagi dari cerita ini ialah bagaimana kasus-kasus ini tidak diakami secara langsung oleh Miss Marple. Cerita-cerita ini diceritakan oleh kawan-kawan Miss Marple dalam sebuah klub yang dibentuk mendadak yang bernama Klub Selasa Malam. Klub ini setiap Selasa malamnya menceritakan berbagai kasus-kasus unik dan tak masuk akal, untuk kemudian didiskusikan bersama. Hebatnya, dalam setiap kasus, tebakan si tokoh utama kita ini selalu benar! Nah, walaupun demikian, hal ini yang kurang saya sukai, karena Miss Marple tak terlibat langsung sehingga faktor keseruannya berkurang. Makanya saya hanya memberi buku ini 3 bintang saja.


Judul: The Thirteen Problems - Tiga Belas Kasus
Penulis: Agatha Christie
Tebal: 322 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 1932 (1st) / 1997 (read)
Rate: 3/5

Dimas Suryo & Lintang Utara (ingin) Pulang



Buat kalian, dan terutama saya yang hidup di zaman Orde Baru, tentunya merasakan betul bagaimana doktrin yang dijejalkan oleh pemerintah di masa itu tentang Partai Komunis Indonesia (PKI). Tak tanggung-tanggung, bahkan peristiwa G30S yang lekat dengan PKI pun di-dioramakan di Lubang Buaya sana. Bagi saya pribadi, doktrin itu merasuk kuat ke dalam pikiran saya, bagaimana saya merasa ngeri terhadap PKI, bahkan pernah terbayang juga apa yang terjadi apabila dahulu kala PKI itu sukses berkuasa di Indonesia, tentunya bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang tak beragama, dan berpaham komunis. Itulah pandangan saya tentang komunis, suatu paham tak memercayai Tuhan, entah, pandangan saya benar atau tidak.

Mengapa saya begitu larut terhadap doktrin tersebut? Bayangkan saja, cerita-cerita yang dijejalkan kepada anak-anak di zaman itu sangatlah mengerikan. Bagaimana PKI dan antek-anteknya menyiksa para jendral besar negara ini, memutilasi tubuhnya, menyilet-nyilet bagian wajahnya, hingga pembuangan mayat-mayat para pembesar itu ke dalam sebuah lubang yang dinamakan Lubang Buaya. Itu pandangan saya, bisa jadi juga sama dengan beberapa rekan sekalian. Belum lagi, setiap tahun di tanggal 30 September pasti ditayangkan film mengenai G30S/PKI, ada nonton barengnya segala pada waktu itu. Pelajaran-pelajaran sejarah pun mendoktrin bahwa PKI ini berbahaya.

Pulang, sebuah novel fiksi yang berlatar kejadian non-fiksi G30S/PKI merupakan buku yang saya baca untuk SRC 2013 kategori pemenang/nominator KLA (Khatulistiwa Literary Award). Novel ini menceritakan tentang para eksil (buronan politik) yang berada di luar negeri pada medio tahun 60-an. Para eksil ini secara tak sengaja selamat dari tangkapan tentara Indonesia yang sedang gencar-gencarnya menangkapi orang-orang yang terlibat dalam organisasi PKI. Para eksil ini yaitu Dimas Suryo, Nugroho, Tjai dan Risjaf sedang berada di luar negeri ketika pergolakan besar terjadi di tanah air, mereka sedang dalam sebuah acara yang berkaitan dengan tempat mereka bekerja yaitu sebuah surat kabar yang beraliran “kiri”. Mereka yang memang asli warga Indonesia akhirnya terjebak di luar negeri tanpa bisa pulang ke negeri asal padahal mereka sendiri tidak merasa “kiri”, dan hanya menjadi korban kebiadaban politik saja.

Setting buku ini tak hanya tahun 60-an, ada satu lagi peristiwa penting bangsa Indonesia yang dibahas di buku ini, yaitu reformasi 1998. Kali ini keempat eksil yang tadi diceritakan sudah sukses mendirikan restoran becitarasa tanah air di Prancis sana. Sudut pandang cerita beralih kepada Lintang Utara, yitu anak dari Dimas Suryo hasil pernikahannya dengan seorang gadis Prancis. Lintang ini, yang terkena imbas “kiri” dari ayahnya tanpa sengaja terlibat tugas akhir kuliah dengan tema Indonesia, negara asal ayahnya. Dengan perjuangan yang berat, akhirnya Lintang berhasil masuk ke Indonesia walaupun situasi politik sedang panas-panasnya, mirip ketika zaman ayahnya dahulu di medio tahun 60-an.

Sebuah pelajaran penting saya peroleh dari buku ini. Bagaimana imbas “kekirian” begitu sulit hilang dari merkea yang orangtuanya terlibat dalam peristiwa yang terjadi di tahun 60an. Padahal, belum tentu juga anak-anak serta keturunan berikutnya dari anggota PKI ini juiga beraliran kiri. Bagaimana pengaruh dan perlakuan Orde Baru kepada mereka memang sangat memuakkan. KTP ditandai ET (Eks Tapol), bahkan persyaratan-persyaratan  ketat apabila mereka-mereka ini ingin memasuki diunia kerja yang memegang peran strategis seperti di pemerintahan atau posisi-posisi penting lainnya. Bahkan tak jarang keturunan “kiri” ini tak mendapat pekerjaan yang layak akibat gelarnya tersebut. Leila S. Chudori, sebagai penulis buku ini, secara cerdas menceritakan bagaimana keluarga tapol ini menjadi kaum yang terisolir akibat peristiwa G30S/PKI, dan menutup cerita di buku ini dengan sebuah peristiwa yang tak kalah penting, yaitu reforemasi 1998, yang juga sebagai pembuka jalan untuk para tapol ini kembali menghirup udara segar tanpa embel-embel ET lagi.

Terkesan berta memang apabila hanya membaca sekilas review-review pembaca buku Pulang ini, tapi saya berani menjamin bahwa buku ini sama sekali tidak berat. Buku ini tak hanya sekedar berorientasi pada dunia politik, tetapi banyak juga cerita cinta yang terjadi, bahkan cerita tentang dunia kuliner disajikan pula disini. Memang, masih banyak hal-hal yang masih menggantung mengenai tokoh-tokoh di buku ini, tapi hal tersbut dapat dimaafkan dengan pengemasan cerita yang apik. Satu hal lain yang unik, yaitu mengenai penokohan. Tokoh yang terlibat disini walaupun tidak begitu banyak namun dijelaskan secara mendetail satu-persatu, bahkan tak jarang setiap bab menceritakan tokoh dan sudut pandang yang berbeda, sehingga kita para pembaca seolah bisa merasakan apa-apa yang dirasakan tokoh-tokoh di dalam novel ini secara lebih dekat.


Buku ini sendiri ternyata berhasil menjadi pemenang KLA tahun 2013 kategori prosa. Memang, banyak kontroversi menyertai kemenangan buku ini terutama yang berkaitan dengan independensi juri, namun saya sebagai pembaca awam merasa buku ini cukup layak untuk memenangkan penghargaan ini, karena jalan cerita yang unik, lintas zaman, serta menyoroti dua peristiwa penting di Indonesia yang berkaitan dengan nasib para orang-orang yang dianggap “kiri”. Lima bintang.


Judul: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Tebal: 464 hal.
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: 2012
Rate: 5/5

Thomas & Prudence - Musuh Dalam Selimut



The Secret Adversary, atau Musuh Dalam Selimut, merupakan buku kedua yang ditulis oleh Agatha Christie. Buku ini bukan bercerita tentang Hercule Poirot, melainkan memperkenalkan dua orang muda yang akhirnya berpasangan, yaitu Thomas “Tommy” Beresford dan Prudence “Tuppence” Cowley. Pasangan yang kelak dikenal sebagai Tommy & Tuppence Beresford ini bisa dibilang tak punya basic apa-apa dalam dunia perdetektifan, malah menurut saya mereka bergerak hanya berdasar intuisi dan kenekatan saja, namun hal itulah yang membuat pasangan ini begitu unik dan menarik. Pasangan ini mendirikan sebuah “perusahaan” yang dinamakan PT Petualang Muda. Memang, ini bukan perusahaan sungguhan, mereka hanya mengkhusukan diri untuk memecahkan kasus-kasus yang klien mereka bawa ke perusahaan tersebut.

Sebelum mengenal pasangan ini, imajinasi saya mengenai mereka yaitu bahwa mereka berdua merupakan orang yang serius, dan sebagai pasangan yang sudah cukup berumur. Namun saya salah, mereka masih cukup muda, berusia sekitar dua puluh tahunan, dan juga agak konyol. Selain itu, mereka pun bisa dibilang beruntung, karena selalu mendapat bantuan dalam memecahkan kasus. Saya agak sangsi apabila tak ada bantuan mereka akan dapat menyelesaikan sebuah kasus, entah di buku-buku berikutnya.

Dalam buku ini, Petualang Muda terlibat dalam sebuah kasus yang lumayan pelik. Kasus ini bersetting di tahun 20-an, dimana waktu itu suasana politik sedang panas-panasnya. Di sebuah kapal yang bernama Lusitania, seorang pembawa dokumen rahasia asal Amerika terjebak dalam situasi sulit, dimana kapal Lusitania ini ditembak torpedo. Dalam situasi hanya wanita dan anak-anak yang lebih dulu diselamatkan dengan sekoci, si lelaki pembawa dokumen ini memercayakan dokumen tersebut kepada Jane Finn, karena ia yakin Jane merupakan orang yang tepat dan nasionalis. Sayangnya, Jane Finn kemudian hilang dan dokumen-dokumen tersebut juga ikut hilang. Dokumen-dokumen penting itu lima tahun kemudian harus segera ditemukan, mengingat apabila jatuh ke tangan musuh, maka dikhawatirkan akan terjadi revolusi besar-besaran di Inggris.

Mr. Brown. Inilah tokoh sentral yang menjadi musuh Tommy-Tuppence dan juga pemburu dokumen-dokumen rahasia tersebut. Sepanjang isi buku, Agatha Christie dengan sangat lihai menyembunyikan si Mr. Brown ini. Sebenarnya, siapa Mr. Brown ini dapat mudah tertebak apabila membaca judul buku ini, Musuh Dalam Selimut. Ya, penjahatnya sudah terlihat jelas dari situ. Pintarnya, Agatha Christie terus membawa pembaca berputar-putar untuk menebak siapa Mr. Brown sebenarnya, sehingga pembaca pun terkecoh dengan cara ini.


Walaupun tidak sedetektif Poirot, tokoh Tommy-Tuppence ini mampu membuat saya terlarut dalam ceritanya. Memang, tak ada pemecahan kasus yang benar-benar brilian, tetapi penceritaan yang melalui dua sudut pandang, yaitu Tommy dan Tuppence membuat cerita ini enak dibaca dan membuat penasaran. Ada kalanya, Tommy yang sedang disekap maka jalan cerita melalui sudut pandang Tuppence, juga sebaliknya, ketika Tuppence menghilang, giliran Tommy yang bercerita dan berpetualang. Terjemahannya pun enak dibaca, penerjemah tidak segan-segan menggunakan bahasa slang seperti monyong, bokek, dll. Penggunaan kata-kata ini menurut saya sangat tepat apalagi mengingat karakter Tommy dan Tuppence yang agak tengil dan konyol. buku ini pun seolah menjadi ajang perkenalan bagi Tommy dan Tuppence untuk buku-buku selanjutnya, mengingat ending buku ini yang berakhir membahagiakan bagi mereka berdua. Lima bintang untuk buku ini, sebuah awal pengenalan yang menarik.


Judul: The Secret Adversary - Musuh Dalam Selimut
Penulis: Agatha Christie
Tebal: 376 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 1922 (1st) / 2012 (read)
Rate: 5/5

Sabtu, 16 November 2013

#5BukuDalamHidupku Coffee Shop, dan Keramaiannya



Haduh, beneran bingung banget nih milih satu buku buat hari terakhir. Memang dahsyat deh tantangan #5BukuDalamHidupku ini, bikin mikir, kira2 buku apa yang benar-benar bermakna dan berarti di hidup kita. Empat buku pertama saya di empat hari kemarin ialah buku lokal, sempat bertanya-tanya juga apakah hari kelima ini saya akan mengeluarkan buku lokal juga atau tidak. Sempat terpikir untuk membahas komik, tapi kok ya kalau komik itu nanti jatuhnya bukan satu buku ya, tapi banyak buku, soalnya kan jarang-jarang hanya satu komik yang sangat berkesan setidaknya bagi saya.

Hm, setelah berpikir sambil mengetik akhirnya saya telah menjatuhkan pilihan. Buku lokal lagi, buku indie lagi. Pilihan saya akhirnya tertuju kepada:

Cover Baru

Judul: The Coffee Shop Chronicles
Penulis: Rame-rame / 22 orang
Penerbit: byPASS
Tebal: 197 hal.
Tahun Terbit: 2012
Rate: 4/5

The Coffee Shop Chronicles dimulai dari sepucuk surat pendek dari seorang pengagum kepada Tuan Arsitek yang ditulis oleh @firah_39. Surat yang membuat sebuah flashfict balasan dikarang untuk menanggapi surat tersebut oleh @adit_adit. Selanjutnya, beberapa penulis lain, @_raraa, @WangiMS, dan @hildabika ikut bergabung menulis flashfict berantai yang menyertakan latar sama dan interaksi dengan tokoh-tokoh yang sebelumnya ada.

Kemudian, ketika judul tersebut dihanyutkan ke linimasa, banyak teman lain yang bergabung. Pada akhirnya, 33 cerita singkat dari 22 penulis muda pun terkumpul. Keajaiban sudut pandang. Ya, ada ribuan sudut pandang dan cerita untuk mengisahkan sebuah coffee shop. Satu mata terlalu sempit untuk melihat dunia. Buka mata dan temukan kekayaan cerita di sana.

Selamat menikmati!


Kenapa buku ini?

Pertama, saya menyukai kopi. Yaa, meskipun masih dalam taraf kopi instan tapi tetap saja judulnya kopi. Buku ini dari judulnya saja berbau kopi, sehingga membuat penasaran saya untuk membacanya. Jadi bisa dibilang, saya tertarik membaca buku ini gara-gara: kopi!

Kedua, teknik penulisan buku ini sungguh sangat unik. Jadi begini, buku ini ditulis bareng-bareng oleh belasan orang. Nah, setiap orang menulis bab yang berbeda, tetapi tetap based on judul dari buku ini. Terserah, orang itu mau melanjutkan cerita dari orang sebelumnya atau menulis dari sudut pandang lain. Yang jelas, menurut saya konsep itu sangat menarik, walaupun memang terkadang terdapat cerita yang agak tidak nyambung, tapi overall saya puas.

Ketiga, cara penulisan yang unik ini telah menginspirasi saya dan teman-teman untuk menulis kisah yang serupa, maksudnya serupa dalam cara penulisannya, bukan temanya. Tapi ya itu tadi, semangat menulis yang maju mundur akhirnya hanya membuat proyek ini gagal lagi, berhenti di tengah jalan. Mudah-mudahan sih suatu saat proyek ini bisa dilanjutkan lagi, amiiin...

Keempat, salah satu penulis buku ini ialah teman satu komunitas di Blogger Buku Indonesia. Bertambah lagi deh teman saya yang telah memiliki buku yang diterbitkan.



 Cover Lama


Edisi buku ini yang saya miliki ialah edisi dengan cover lama, dan tak lama kemudian, cover buku ini akhirnya diganti, mungkin agar lebih menarik pembaca, karena memang, edisi cover lama buku ini kurang menarik menurut saya.

Berkat buku ini juga saya berkenalan dengan dunia blog, terutama yang berkaitan dengan dunia penulisan. Hal ini disebabkan oleh karena beberapa penulis buku ini merupakan blogger yang rajin mengadakan event menulis bareng, terutama dalam hal Flash Fiction (FF). Lumayanlah, ada beberapa FF saya yang kemudian terlahir meskipun saya yakin cerita yang saya bikin belum ada apa-apanya.



Akhirnya, berakhir juga tantangan ini. Saya sudah kembali ke blog, pulang ke blog, meskipun tulisan ini dihasilkan di gadget. Saya sih gak berharap muluk, Inferno atau Murakami aja, gak usah banyak-banyak. Buku-buku yang berkesan bagi saya ternyata memang semuanya buku lokal, meskipun ada beberapa buku favorit lain seperti Harry Potter dan pasangan detektif Kosasih-Gozali, namun kesan yang ditimbulkan belum sebanyak lima buku yang daya share ini.


Terima kasih buat @irwanbajang sebagai pak supir, semoga angkutannya tetap laris manis. Sampai berjumpa di tantangan berikutnya, semoga di tantangan selanjutnya blog yang anda kelola belum berdebu dan bersarang laba-laba. Jangan kebut-kebutan Pak, ingat anak istri di rumah. Jangan juga menerobos busway, karena saya akan ada di sana untuk #Buswaykick #eh

Jumat, 15 November 2013

#5BukuDalamHidupku Kisah Fantasi Bercitarasa Lokal



Memang benar, makin kesini makin sulit untuk memilih buku untuk tantangan #5BukuDalamHidupku ini. Entah karena buku yang telah dibaca kebanyakan, atau gara-gara belum ada buku yang benar-benar merubah hidup saya. Tapi hidup harus terus berjalan, tantangan harus tetap dilaksanakan, akhirnya saya memilih buku ini untuk saya bahas di hari keempat ini. Buku yang saya maksud adalah:



Judul: Para Pengendali Naga: Nyanyian Perang di Tanah Naga
Penulis: Dhia Citrahayi
Penerbit: LeutikaPrio
Tebal: 631 hal.
Rate: 4/5
Review di Sini

Kami terikat dengan dirimu
Jiwa kami adalah jiwamu
Ragamu adalah milik kami
Dan kekuatan kami adalah milikmu...


Tertekan dalam keadaan yang tidak pasti. Para pengendali Naga hidup dalam ketakutan dan bayang-bayang kekuasaan Tiran. Tetua Para Pengendali Naga berusaha keras melawan kekuasaan itu tetapi, akhirnya satu per satu dari mereka tumbang. Berawal dari terbunuhnya Tetua Naga provinsi Timur, bertahun-tahun kemudian, seorang Pengendali Naga muncul dan berusaha memperbaiki kekacauan ini.

Sayangnya... pertemuannya dengan musuh-musuhnya membuat pengendali Naga itu menjadi lemah hati. Mampukah dia melawan, sedangkan ia sendiri tak bisa mengontrol diri sendiri? Bisakah dia memenangkan pertikaian, sedangkan emosinya berkecamuk setiap kali bertemu dengan musuhnya?

Kenapa saya memilih buku ini? Sederhana saja, buku ini adalah buku yang ditulis oleh teman saya sendiri. Memang sih diterbitkan oleh penerbit indie, namun itu tak menjadi masalah, karena yang penting ialah isi dari buku itu sendiri. Buku ini sendiri mempunya genre fantasi, dapat terlihat bukan dari judulnya? Saya pikir itu keren, karena menurut saya genre itu anti mainstream. Bayangkan, disaat buku-buku Indonesia dibanjiri oleh buku metropop yang romantis, buku kekorea-koreaan, dan buku-buku humor geje, penulis berani mendobrak dunia perbukuan dengan cerita fantasi. Selain itu, yang menjadikan saya salut ialah buku ini tebalnya tak tanggung-tanggung, karena buku-buku mainstream saja jarang yang tebalnya setebal buku ini.


Isi cerita dari buku ini sendiri seputar kerajaan yang dipimpin oleh seoran yang bisa dibilang diktator. Tokoh utama buku ini yaitu Siyan, bisa dibilang ingin membalas dendam kepada penguasa ini karena gara-gara mereka Siyan kehilangan keluarganya. Dengan kemampuannya sebagai seorang pengendali naga, Siyan mencoba untuk mulai merangsek masuk ke wilayah kekuasaan sang raja untuk meruntuhkan sang raja dan menghancurkan sebuah kerajaan yang lalim. Setelah saya pikir-pikir lagi, selain fantasi buku ini bergenre dystopia, yaitu pemimpin yang diktator dan lalim yang coba diruntuhkan oleh si tokoh utama. Dystopia ini sendiri bisa dibilang genre yang belakangan hidup kembali gara-gara meledaknya buku dan film The Hunger Games.


Oke, sekarang masuk ke alasan saya memilih buku ini. Seperti telah saya bilang, buku ini karangan teman saya. Memang sih saya sendiri belum pernah bertemu dengannya, namun buku ini menjadi berkesan karena akhirnya saya mempunyai teman seorang penulis yang telah menerbitkan buku! Memang, terdengar agak berlebihan, tetapi hal tersebut sungguh membuat saya senang, karena saya sendiri ikut berbangga hati ketika teman saya itu akhirnya menerbitan sebuah buku. Lebih spesial lagi, karena si penulis khusus memberikan satu eksemplar bukunya kepada saya. Apalagi, saya juga terkesan dengan isi cerita dari buku ini, walaupun memang masih banyak kekurangan di sana sini, namun overall ceritanya cukup menghibur dan membuat penasaran. Buku ini memang rencananya akan dibuat trilogy, dan dengar-dengar si penulis sedang membuat buku keduanya. Semoga saja buku keduanya cepat selesai dan segera menghibur lagi para penggemar cerita fantasi terutama fantasi karya negeri sendiri.


Buku ini sendiri bisa dibilang pula sebagai pintu gerbang bagi saya untuk mendapatkan teman-teman lain yang juga penulis dan telah menerbitkan buku (walaupun indie). Ternyata, banyak juga teman-teman saya lainnya yang berprofesi sebagai penulis dan telah menerbitkan buku lho. Terkadang, saya juga ingin seperti mereka, menjadi penulis dan menerbitkan buku, semoga saja hal tersebut dapat terwujud, tinggal menghilangkan rasa malasnya saja nih. Ah, sudah terbayang-bayang saja nama saya terpampang di sebuah cover buku, belum lagi royalti dan honor yang saya dapat dari hasil penjualan buku saya, mimpi yang indah. Bangun! Ayo mulai menulis!


Semangat!


PS: Penulis yang ingin mengirimkan bukunya untuk direview oleh saya boleh kok mengirimkan bukunya. Saya dengan senang hati akan membaca dan mereviewnya.

PS2: Satu hari lagi, maka selesailah proyek pulang menuju blog ini #5BukuDalamHidupku

Kamis, 14 November 2013

#5BukuDalamHidupku Fu, dan Sejarahnya di Kehidupanku




Hari ketiga tantangan #5BukuDalamHidupku. Makin puyeng nentuin buku yang akan dibahas, tapi saya akan coba buku yang satu ini, buku yang lumayan banyak sejarahnya dalam hidup saya.


Judul: Bilangan Fu
Penulis: Ayu Utami
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal: 536 hal.
Tahun Terbit: 2008
Rate: 4/5
Review di sini

Yuda, seorang pemanjat tebing dan petaruh yang membenci kota, sinis dan skeptis. Toh ia memiliki mimpi-mimpi intim dan ganjil yang membuat ia terobsesi pada sebuah bilangan bukan rasional bernama bilangan fu.

Parang Jati, seorang pemuda bermata bidadari berjari dua belas. Sejak pertemuan mereka, ia seolah memiliki misi untuk membuat Yuda berganti agama dari “pemanjat kotor” menjadi “pemanjat bersih”.

Persahabatan itu melibatkan mereka pada cinta segitiga dan petualangan yang menuntut pengorbanan. Di dalamnya, dengan latar pegunungan kapur di pantai Selatan Jawa, bilangan bukan rasional fu samar-samar menampakkan diri. 

  
Di sini saya tak akan bercerita panjang lebar tentang jalan cerita buku ini, tapi saya akan bercerita tentang apa-apa yang berhubungan dengan buku ini dalam kehidupan saya.

Pertama, buku ini saya peroleh dari seorang teman di dunia maya yang kini telah menghilang entah kemana. Bingung juga sih mau disebut teman atau bukan, yang jelas anak-anak Forum Buku Kaskus pasti mengenal Id kaskus ini: Putri Dangdut. Ya, beliaulah yang memberikan buku ini sebagai giveaway kepada saya. Saya sudah agak lupa giveaway ajang apa, sepertinya sih di salah satu tulisan dia di forum SFTH (Stories From The Heart) Kaskus, nanti saya ingat-ingat lagi. Buku ini salah satu favorit beliau, tak heran sih jika melihat tindak-tanduk si Putri Dangdut ini yang di dunia maya begitu vulgar dan blak-blakan, sehingga memang bisa dibilang satu 'genre' dengan Ayu Utami yang menulis juga dengan gaya yang vulgar dan blak-blakan. Nah, kenapa saya masih bingung menganggap dia teman atau bukan? Jadi begini, ternyata oh ternyata dia itu seorang penipu saudara-saudara! Forum Buku Kaskus yang berencana membuat jaket menyerahkan pengurusan jaket ini kepada beliau. Sayang sekali saudara-saudara, dia kabur! Padahal dia dan jaket-jaketnya telah ditunggu di gath akbar pertama Forum Buku Kaskus di Kota Tua. Nyesek, kerugian yang dialami mencapai jutaan rupiah. Memang, salah kami juga menyerhakan pengurusan jaket ini kepada beliau, orang (atau bukan?) yang sama sekali masih maya dan belun pernah terlihat sekalipun batang hidungnya. Sampai sekarang, pertanggungjawaban dari orang itu masih nihil, sayang sekali memang, padahal menurut saya tulisan-tulisannya di blog dan saat mereview buku enak dibaca, sayang kelakuan minus. Saya serahkan pada-Nya untuk membalasnya nanti, tunggulah wahai Putri Dangdut.

Kedua. Kenangan dengan buku ini berkaitan dengan Forum Buku Kaskus juga. Waktu itu sekitar Oktober 2011, kami diundang oleh Kaskus untuk menghadiri acara Bienalle Sastra di Salihara. Di sana, ternyata ada Ayu Utami, si penulis Bilangan Fu ini, ia berperan sebaai mc dalam acara Bienalle Sastra ini. Keesokan harinya, dengan nekat saya membawa buku Bilangan Fu ini untuk meminta tanda tangan sekaligus foto bareng beliau. Tahukah kalian kalau waktu minta tanda tangan itu bukunya sama sekali belum saya baca, hihihi. Berkat event di Salihara ini juga saya berkenalan dengan Frau dan menjadi fansnya sampai sekarang.

Ketiga. Buku Bilangan Fu yang berada di tangan saya merupakan buku yang langka. Kenapa? Karena seharusnya buku ini termasuk buku reject. Sebabnya? Di buku yang saya pegang ini ada sekitar dua puluh halaman yang letaknya terbalik, berputar hingga 180 derajat. Ah, tapi itu tak menghalangi saya untuk menyelesaikan buku ini, karena walaupun banyak orang yang bilang buku ini terlalu membingungkan dan membuat pembacanya mengawang-ngawang (istilah anak-anak Forum Buku Kaskus yaitu BN: Buku Ngawang-ngawang), saya sangat menikmati buku ini, dan tak sabar pula untuk mengoleksi serial Bilangan Fu lainnya.

Terima kasih Ayu Utami, Putri Dangdut, Salihara, Frau, dan terutama Forum Buku Kaskus. Cheers.




PS: Oya, ada satu bagian terlewatkan tentang buku ini. Sebenarnya buku ini hampir menghilang, tak sampai di tangan saya. Ini akibat alamat pengiriman buku ini yang dialamatkan ke tempat kerja saya kurang detail, hingga hampir saja buku ini diambil (atau bahkan dibuang) gara-gara nama penerima yang kurang jelas. Untungnya buku ini ketahuan siapa penerimanya di saat-saat akhir. Rumit memang.

Rabu, 13 November 2013

#5BukuDalamHidupku Buku, Pemecah Kebuntuan



13 November. Hari ini salah satu teman saya berulang tahun. Ia merupakan teman satu lab saya di tempat kerja saya yang lama. Walaupun kami berbeda jenis kelamin, namun ada satu hal yang menjadikan kami nyambung, satu hal yang sama-sama kami minati, baik sebagai hobi, maupun koleksi. Sudah tertebakkah? Ya, hal tersebut ialah buku.

Buku yang akan saya bahas di hari kedua tantangan #5BukuDalamHidupku kali ini merupakan sebuah buku yang fenomenal di Indonesia. Buku ini pun telah difilmkan, dan lagu tema filmnya pun sangat booming dimana-mana. Tak heran, keadaan ini membuat si penulis lupa diri, walaupun memang hal tersebut sah-sah saja dikarenakan prestasi yang telah ia raih. Memang, buku dan penulis ini belakangan banyak dicerca gara-gara lupa dirinya itu. Selain itu, banyak pecinta buku juga yang tidak memfavoritkan buku ini, karena kelakuan si penulisnya itu. Tetapi bagi saya hal tersebut bukanlah masalah, saya hanya menikmati jalan cerita dan keseruan dari buku ini. Terserah orang mau bilang apa terhadap buku ini, namun yang pasti buku ini menjadi salah satu buku favorit teman saya itu. Kesukaan terhadap buku ini pula yang membuat kami semakin nyambung dalam membicarakan isi dari buku ini.

Oke, langsung saja, buku yang akan saya bahas kali ini ialah:


Judul: Laskar Pelangi
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang Pustaka
Tebal: 534 hal.
Tahun Terbit: 2005
Rate: 5/5

  
Saya yakin, pasti banyak pembaca yang mencibir ketika saya menyebutkan judul dari buku ini, ya, Laskar Pelangi. But life must go on, saya tak melihat ada yang salah kok, dari sisi cerita seru, dari pesan moral pun dapat, memang sedikit salah ketika si penulis mulai bermulut besar, ah, tapi itu tak mengubah isi buku ini kok. Tentang si penulis yang mulai songong ini tak sempat saya perbincangkan dengan teman saya ini, karena saya telah pindah tempat kerja, mungkin akan seru bila suatu saat saya bertemu dan berbincang lagi dengan teman saya ini tentang kelakuan beliau ini.

Mengapa buku ini menjadi sangat berarti? Bisa dibilang, buku ini pemecah kebuntuan juga diantara kami yang berada di dalam satu lab ketika bekerja. Tak jarang kami kehabisan hal-hal yang diobrolkan ketika kami berdua sedang menimbang untuk melakukan metode penimbangan kadar air oven secara konvensional. Berkat buku ini, perbincangan bisa menjadi hidup, mulai dari tingkah laku Ikal yang agak badung dan konyol, apalagi ketika ia mengutip quote dari Rhoma Irama, hal itu benar-benar sungguh membuat kami berdua terpingkal-pingkal. Ada lagi perbincangan mengenai kepintaran Lintang, tak jarang kami berdua menyesalkan mengapa Lintang ini putus sekolah padahal ia mempunyai otak yang sangat jenius, tentu saja kami memang masih buta dan bertanya-tanya apakah tokoh Lintang ini benar ada atau hanya tokoh fiksi belaka. Perbincangan lain yaitu mengenai daun lontar (kalau tidak salah) yang dapat membuat sekujur tubuh gatal-gatal, daun sakti yang digunakan oleh Mahar untuk membuat efek gila dalam pementasan ini membawa perbincangan menuju masa kecil teman saya itu, yang memang tahu betul khasiat dari daun lontar itu karena pernah mengalaminya di kampung halamannya sana pada waktu kecilnya.

Itulah, sedikit hal yang mampu dilakukan oleh sebuah buku, tak perduli buku itu tidak disukai banyak orang, karena ketika dua orang menyukai satu buku yang sama, nyambunglah mereka. Sampai saat ini saya belum menemukan lagi teman kerja yang klop yang juga menyukai buku seperti teman saya yang satu ini, kangen juga untuk berbincang-bincang mengenai berbagai hal dengannya, mulai dari keluarga, kehidupan dan terutama buku. Ah.

Selamat ulang tahun Mbak, semoga anak-anak kita juga nantinya menjadi pembaca buku akut juga.




PS: Saya melihat diantara banyaknya review di Goodreads tentang buku Laskar Pelangi ini ada seseorang bernama Irwan memberi buku ini hanya satu bintang. Mas Irwan Bajang-kah itu? :D

The Witches - Ratu Penyihir



Saya sangat kaget ketika mengetahui buku dari Roald Dahl ini telah diadaptasi ke dalam bentuk film tetapi bukan dengan format kartun. Saya terus terang saja ngeri dan jijik membayangkan hal-hal yang dibahas di buku ini dalam bentuk nyata. Ya, mungkin akan sangat lucu apabila dalam bentuk kartun, namun jika diperankan manusia nyata? Saya yakin memang akan sangat menjijikan.

Apa sih yang menjijikan itu? Hm, bayangkan deh, kaki tanpa jari, kuku tangan panjang dan tajam, kepala botak dengan bentol-bentol merah akibat terlalu sering mengenakan wig, sampai wajah menyeramkan, yang benar-benar menyeramkan. Saya malah tak yakin film ini akann menjadi hiburan bagi anak-anak, mimpi buruk mungkin iya.

Hal lain, membayangkan manusia nyata (dalam hal ini anak kecil) mengkerut dan mengecil menjadi seekor tikus, apakah itu tak akan menjadi mimpi buruk bagi anak-anak? Transformasinya itu lho, badan mengecil, tumbuh kumis, tumbuh ekor, tangan berubah menjadi kaki depan, nampak sangat menggelikan. Geli disini berarti jijik.

Oke, hal-hal itu bisa ditemukan dalam karya Opa Roald Dahl yang berjudul The Witches. Sang Ratu Penyihir, itulah judul yang digunakan penerbit Gramedia dalam mengartibebaskan judul asli buku ini. Cocok karena memang cuma si ratu penyihirlah yang terlihat rupa aslinya, wajah asli yang menyeramkan dan menjijikan, itu yang saya lihat sekilas dari trailer film ini di youtube. Memang dapet sih untuk membuat anak-anak ngeri ketika membayangkan wajah si penyihir ini.

Jalan cerita buku ini sendiri berawal ketika si aku (mungkin pengalaman pribadi Roald Dahl) kehilangan kedua orangtuanya yang meninggal. Ia pun harus mengikuti neneknya yang tinggal di Norwegia, dimana Norwegia sendiri dikenal sebagai sarang para penyihir di seluruh dunia. Nenek kemudian menceritakan ciri-ciri penyihir yang ada di dunia. Satu yang pasti, penyihir adalah wanita, tak bisa tidak. Kemudian, si aku dan neneknya berlibur ke Inggris dan menginap di salah satu hotel. Tak disangka, ketika si aku ingin melatih kedua peliharaan tikusnya di salah satu ruangan hotel, ia masuk ke ruangan yang salah. Ia masuk ke salah satu ruangan dimana di ruangan tersebut diadakan pertemuan para wanita pecinta anak-anak. Si aku baru menyadari keganjilan gara-gara semua pesertanya ialah wanita yang  memenuhi persyaratan sebagai penyihir sebagaimana yang diceritakan oleh neneknya. Dan memang, ruangan itu dipenuhi oleh penyihir, si aku terjebak, karena salah satu penyihir ialah sangat membenci anak kecil dan bisa merubah anak-anak menjadi seekor tikus...


Imajinasi RD tentang para penyihir ini walaupun agak nyeleneh namun tepat untuk menggambarkan bagaimana mengerikannya para penyihir ini. Memang, bisa dikatakan isi dari buku ini cukup untuk menakut-nakuti anak-anak usia sekolah dasar awal, namun perjuangan si aku dan neneknya guna menumpas para penyihir di seluruh dunia merupakan sebuah hal yang heroik dan patut ditiru. Jangan lupa untuk mencatat bahan-bahan apa saja yang dibutuhkan untuk membuat ramuan pengubah anak-anak menjadi tikus, praktikkan, dan berjaga-jagalah, siapa tahu ciri-ciri penyihir yang disebutkan di buku ini terdapat pada wanita-wanita yang kalian temui kemarin, tadi, hari ini ataupun esok hari.


Judul: The Witches
Penulis: Roald Dahl
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 240 hal.
Tahun Terbit: 1983 (1st) / 2005 (read)
Rate: 4/5
Rekomendasi Usia: > 8 tahun



PS: Buku ini ternyata banyak mendapatkan award lho. Dari data di Goodreads saja ada tiga awards, yaitu: Whitbread Award for Children Novel (1983), Books I Loved Best Yearly (BILBY) Awards for Read Alone (1993), dan West Australian Young Readers' Book Award (WAYRBA) for Younger Readers (1986)

Selasa, 12 November 2013

Lisbeth Salander is The Girl Who Played With Fire



Ada beberapa hal yang membuat saya menunda untuk membaca buku di tumpukan timbunan saya, salah satunya adalah jumlah halaman dan ketebalan buku. Nah, buku yang saya baca kali ini mempunyai ketebalan 904 halaman! Gadis yang bermain api, alias The Girl Who Played with Fire, seri kedua dari Millennium Trilogy karangan Stieg Larsson yang menceritakan tentang dua orang yang berlatar belakang berbeda, Mikael Blomkvist sebagai jurnalis serta pimred majalah Millennium, sedangkan Lisbeth Salander merupakan seorang free-lancer yang merangkap hacker ahli, hacker paling luar biasa menurut saya. Tapi benar kata seorang teman, walaupun tebal buku ini tak terasa saat membacanya, itu dikarenakan kisah dari buku ini yang sensasional dan tak membosankan.

Berbeda dengan buku pertama dimana dikisahkan Lisbeth dan Mikael begitu dekat guna mengungkap kasus keluarga Vanger, kali ini Lisbeth menghindar dari Mikael yang terus berusaha menghubunginya setelah kasus Vanger selesai. Mikael yang sudah putus asa gara-gara Lisbeth tidak meresponsnya, secara tak sengaja akhirnya dapat kembali berkomunikasi dengan Lisbeth melalui data komputernya yang dihack oleh Lisbeth. Namun peristiwa yang mempertemukan mereka kembali kali ini tak main-main, Lisbeth dikenai tuduhan serius bahkan dijadikan tersangka atas kematian dua orang kawan Mikael yang juga narasumber tulisan yang akan diterbitkan oleh majalah Millennium. Ternyata, peristiwa pembunuhan kali ini bukanlah pembunuhan biasa, pembunuhan ini berkaitan dengan tema tulisan yang akan diangkat oleh Millennium ini yaitu tentang perdagangan perempuan di Swedia. Mikael pun harus berjuang guna membuktikan bahwa bukan Lisbeth-lah pelaku dari semua kejadian ini.

Kali ini, seperti review-review lain tentang buku ini, jalan cerita lebih condong menceritakan tentang Lisbeth Salander. Tak hanya kehidupannya yang bebas dan agak liar, sedikit demi sedikit latar belakang keluarganya mulai terungkap dan tersibak. Banyak peristiwa kelam yang dialami Lisbeth di masa lalunya, dan peristiwa-peristiwa ini pula yang akhirnya menjadi kunci dari kejadian-kejadian pembunuhan yang terjadi yang mengarahkan Lisbeth sebagai pelakunya. Jalan cerita buku ini sendiri terbagi menjadi beberapa sudut pandang, ada yang melalui Mikael, ada juga yang melalui Lisbeth. Ada kalanya Mikael seolah berjuang sendirian sedangkan Lisbeth seolah bersembunyi, namun akhirnya peristiwa-peristiwa ini diceritakan melalui sudut pandang Lisbeth, kemana ia ketika Mikael sedang berusaha memecahkan kasus ini, semuanya dijelaskan secara gamblang.

Satu hal paling menarik dari buku ini ialah bagaimana penulis membawa pembaca ke dunia matematika. Tiap judul bagian buku (yang terdiri dari beberapa bab) diberi judul dengan istilah-istilah matematika, tentu saja dengan penjelasannya. Hal ini tentu berhubungan dengan kegemaran Lisbeth terhadap ilmu matematika. Lihat saja bagaimana buku bacaan yang dibawa dan dibaca Lisbeth ialah mengenai prinsip-prinsip matematika. Belum lagi rasa penasarannya terhadap Teorema Fermat yang merupakan pengembangan dari Teorema Phytagoras. Perbedaannya ialah apabila Teorema Phytagoras berpangkat dua, maka Teorema Fermat ini berpangkat tiga. Hal ini juga membuat saya penasaran terhadap pemecahan dari Teorema Fermat ini, karena sampai akhir buku jawaban yang telah Lisbeth temukan secara tidak sengaja belum sempat sampai ke penjelasan yang dapat dicerna oleh pembaca  buku ini.


Overall, buku ini sangat direkomendasikan terhadap para pecinta kisah thriller. Kasus yang berkaitan satu sama lain, pemecahan kasus yang bisa dibilang brilian, dunia hacker yang tak diduga-duga, sampai intermezzo matematika yang diberikan oleh Stieg Larsson mampu membuat ketebalan 900-an halaman buku ini tak terasa, bahkan sayang untuk dihabiskan. Lima bintang untuk buku ini, sambil menunggu pula “keberanian” untuk memulai buku ketiganya yang tebalnya hampir 1000 halaman.


Judul: The Girl Who Played With Fire
Penulis: Stieg Larsson
Penerbit: Qanita
Tebal: 904 hal.
Tahun Terbit: 2006 (1st) / 2009 (terjemahan)
Rate: 5/5

#5BukuDalamHidupku Katarsis, Thriller-nya Indonesia



Nekat ikutan challenge-nya @irwanbajang. Mari kita lihat kekonsistenan saya dalam memposting #5BukuDalamKehidupan, dalam 5 hari berturut-turut. Sempat skeptis sebelumnya, karena bisa dibilang bacaan-bacaan saya tak ada yang berat dan hebat, hanya buku-buku biasa, hanya novel-novel biasa yang mungkin tak ada artinya bagi pembaca sekalian. Oya, saya juga tak punya buku tertentu yang mampu mengubah hidup saya sedemikian rupa, maaf, saya belum tersentuh oleh buku, buku bagi saya hanya sebagai hiburan dan penambah ilmu semata, karena walaupun saya mencintai buku, masih banyak hal yang wajib lebih dicintai dibanding buku.


Oke, saya akan mencoba mulai hari pertama ini dengan sebuah buku kelam, sebuah buku yang dari judulnya saja sudah menimbulkan pertanyaan, karena judul buku ini sangat jarang disebut-sebut dalam kehidupan sehari-hari. Kelam, kesan ini saya dapatkan ketika membaca awal-awal buku ini. Oh, yang saya bayangkan ialah anak saya sendiri, ngeri rasanya membayangkan anakku sendiri membenciku sedemikian rupa tanpa sebab yang jelas, tanpa kita tahu apa yang salah kita yang sebenarnya. Saya juga membayangkan anak saya mengalami sifat psycho akut dimana ia akan mengalami sensasi memabukkan ketika mencium dan melihat darah, merinding membayangkannya.

Buku ini sendiri saya peroleh melalui sebuah giveaway dari salah seorang teman di komunitas Blogger Buku Indonesia, dan saya tak salah memilih buku ini sebagai wishlist saya, karena walaupun memang masih banyak hal ganjil yang belum terjawab di buku ini, bisa dibilang kehadiran buku ini di belantara hutan perbukuan Indonesia membawa angin segar akibat genrenya yang tidak mainstream, yaitu thriller. Saya sih berharap, buku ini bisa menjadi tonggak untuk munculnya buku-buku thriller lokal sejenis, sehingga pembaca Indonesia tak hanya disuguhi buku-buku romantis, buku-buku beraroma Korea, hingga buku garing-jayus yang target pembacanya hanya anak-anak baru gede yang doyan cerita-cerita konyol dan penuh umpatan-umpatan kasar.

Tanpa berlama-lama lagi, saya perkenalkan buku ini, buku yang sedari awal masih berstatus coming soon di salah satu toko buku online telah memiktlat hati saya:


Judul: Katarsis
Penulis: Anastasia Aemilia
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 264 hal.
Tahun Terbit: 2013
Rate: 5/5
Review bisa dibaca di sini


Sudah pernah membaca buku ini? Nah sekarang apa yang para pembaca rasakan setelah (setidaknya) membaca (review) buku ini? Kengerian? Atau bahkan perasaan tak karuan hingga menjudge si tokoh dalam buku ini merupakan seseorang yang psycho dan hanya dalam dunia fiksi? Apapun penilaian anda, saya yakin, di dunia ini ada manusia yang mengalami kejadian seperti Tara ataupun Ello di Katarsis ini. Poin penting yang ingin saya tekankan ialah, sayangilah keluarga anda, jangan jadikan anak anda korban akibat perbuatan orangtuanya. Banyak-banyaklah introspeksi diri tentang sikap kita, baik kepada orang lain, keluarga, diri sendiri, dan terutama terhadap anak-anak kita. Bukan tidak mungkin, walaupun gejala yang dialami Tara dan Ello bisa dibilang bawaan dari lahir, dengan kasih sayang serta rasa nyaman yang diberikan orang tua, kelak akan membuat anak-anak kita tersebut setidaknya mencintai orang tuanya sendiri.


Semoga kelak akan ada Katarsis-katarsis selanjutnya yang mewarnai dunia perbukuan, khususnya dunia genre thriller di Indonesia. Bukan sekedar cerita thriller tak bernilai. Tetapi juga yang memiliki nilai moral serta pelajaran-pelajaran tentang hidup yang bisa dipetik hikmahnya setelah membaca buku tersebut.

Kamis, 31 Oktober 2013

Tara, Ello dan Alfons: Katarsis



Tara Johandi, seorang gadis belia berpikiran dewasa, putri dari pasangan Bara dan Tari Johandi yang merasa lahir dari orang tua yang salah. Sejak kecil Tara sudah membenci kedua orangtuanya, namanya, dan keadaan di sekitarnya. Tak ada panggilan ayah atau ibu kepada kedua orangtuanya, yang ada hanyalah panggilan nama, Bara, atau Tari kepada mereka. Saking bencinya, Tara juga tak ingin dipanggil sesuai namanya, nama gabungan antara Bara dan Tari. Obsesi Tara sejak kecil memang sudah terlihat aneh, ia akan merasa berdesir dan mempunyai sebuah perasaan yang tak tergambarkan apabila ia melihat atau membaui darah, hal ini pula yang membuatnya tak takut kepada siapapun, bahkan untuk melakukan tindakan keji sekalipun. Empat orang anggota keluarga telah menjadi korban kebiadabannya, suatu kebiadaban yang didasarkan rasa benci pada mereka, serta rasa takjub terhadap darah. Satu lagi obsesi aneh Tara yaitu mengenai uang logam lima rupiah. Uang yang selalu dipegangnya, dibawanya kemana saja, hasil dari pengalaman waktu kecilnya saat ia bertemu seseorang yang nantinya mempunyai obsesi besar terhadap diri Tara.

Marcello Ponty, biasa dipanggil Ello, seorang laki-laki yang lahir dari keluarga brokenhome. Ello mempunyai sebuah kelainan yaitu tidak bisa merasaka rasa sakit. Ini kali kedua saya menemukan tokoh yang mengalami kelainan ini. Sebelumnya, ada seorang tokoh di buku The Girl Who Played with Fire yang juga mengalami keadaan seperti ini. Ello yang jauh dari ayahnya tiba-tiba pulang ke rumah ayahnya, ia tahu semua yang telah dilakukan oleh ayahnya, mengenai kotak perkakas, serta mengenai obsesi ayahnya terhadap permainan harta karun dengan menggunakan kotak perkakas sebagai kotak harta karun dan manusia yang dimasukkan ke dalamnya sebagi harta karunnya. Ia mengikuti jejak ayahnya bermain pencarian harta karun dengan satu orang gadis obsesinya selama ini, yaitu Tara Johandi, yang dulu merupakan seorang gadis kecil yang ia beri koin lima rupiah sebagai obat untuk menahan rasa sakit.

Katarsis memiliki arti penyucian diri; suatu metode psikologi untuk menghilangkan beban mental seseorang; dan kelegaan jiwa / emosional diri. Bisa dibilang arti dari katarsis sendiri ketiga-tiganya tergambarkan di dalam novel ini. Arti pertama yaitu mengenai penyucian diri, ini terjadi kepada Ello dan ayahnya. Mereka berdua, terutama ayah dari Ello menganggap dengan bermain harta karun dengan manusia sebagai hartanya mereka telah mencapai sebuah tingkatan diri menjadi lebih suci. Ada rasa puas tersendiri ketika mereka melakukan hal ini, terutama ketika mayat yang berada dalam kotak perkakas ini ditemukan oleh masyarakat luas. Memang, terdengar psycho, tapi ini kenyataannya. Poin kedua yaitu mengenai metode psikologi yang dilakukan guna menghilangkan beban mental sesoerang dengan membiarkan orang itu menceritakan segala yang dirasakannya. Hal ini lah yang dilakukan Alfons terhadap Tara sebagai psikiater. Ini pula dapat terlihat dari diri Tara yang tidak menolak dipanggil dengan nama Tara apabila Alfons yang memanggilnya, sebuah metode yang cukup efektif untuk orang yang berkepribadian seperti Tara. Arti ketiga yaitu mengenai kelegaan jiwa / emosional diri. Inilah yang Tara lakukan terhadap keluarganya sebelum ia bertemu Alfons. Hal-hal yang ia benci ia hilangkan dengan cara apapun bahkan dengan tindakan yang begitu sadis. Terbukti hal ini menimbulkan kelegaan pada diri Tara dengan tak adanya rasa penyesalan sama sekali, bahkan cenderung puas karena ia telah menghilangkan hal yang ia benci. Ya, psycho juga sih.


Dengan sudut pandang orang pertama bergantian antara Tara dan Ello, penulis tidak membedakan font atau memberi keterangan siapa yang sedang berbicara. Hal ini membuat pembaca dibawa untuk berpikir siapakah yang sedang berbicara, apakah Ello atau Tara. Memang, banyak yang mengeluhkan PoV seperti ini, tapi menurut saya hal ini sangat menarik, membuat bertanya-tanya, serta menambah kesan misterius ketika membaca buku ini. Dengan bagian per-babnya yang pendek-pendek, membuat buku ini pun enak untuk dibaca. Namun hati-hati, banyak adegan kekerasan, darah, hingga mutilasi di buku ini, sehingga buku ini terkesan mengerikan ketika dibaca. untuk saya, buku ini memang agak mengerikan ketika bagian awalnya, saya tak bisa membayangkan memiliki putri seperti Tara, yang sedari kecil memiliki rasa benci terhadap orangtuanya, bagian ini membuat saya merinding apabila terjadi dalam kejadian nyata. Lima bintang untuk buku ini.


Judul: Katarsis
Penulis: Anastasia Aemilia
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 264 hal.
Tahun Terbit: 2013
Rate: 5/5

Rabu, 30 Oktober 2013

Changez: The Reluctant Fundamentalist




Lelaki yang Terbuang.
The Reluctant Fundamentalist.
Dilema Seorang Muslim Amerika antara Dunia Barat dan Islam Pasca 11/9.

Tiga kalimat tersebut terdapat dalam sebuah buku yang masuk dalam shortlist Man Booker Prize tahun 2007 karangan Mohsin Hamid. Hamid ialah seorang muslim Pakistan lulusan Princeton, Amerika Serikat. Ia kini tinggal di London, dan inilah mengapa ia masuk shortlist award ini. Ya, Man Booker Priza merupakan award yang dikhususkan untuk novel berbahasa Inggris dengan syarat si penulis tinggal di Inggris dan negara persemakmurannya, Irlandia, dan Zimbabwe.

Bercerita tentang seorang muslim Pakistan yang juga kuliah di Princeton, Hamid seolah ingin menceritakan pengalamannya sendiri ketika ia tinggal di sana. Namun ini bukanlah  sebuah memoar, Hamid hanya “menitiskan” dirinya pada tokoh Changez, yang hidup pada zaman berbeda, yaitu zaman modern ketika terjadi peristiwa 11 September yang menluluhlantahkan World Trade Center di Amerika Serikat. Hamid sendiri telah lulus jauh sebelum itu, yaitu tahun 1993, dengan predikat summa cumlaude, sebuah prestasi membanggakan bagi warga imigran asal Asia.

Sebenarnya, keterangan “Dilema Seorang Muslim Amerika antara Dunia Barat dan Islam Pasca 11/9” yang terdapat pada cover buku menurut saya kurang tepat. Ya, Changez memang muslim, tapi tak diceritakan secara detail bagaimana keislamannya. Mungkin yang tepat ialah dilema antara Dunia Barat dan Negerinya, Pakistan. Setelah peristiwa 11/9, pandangan Amerika terhadap muslim menjadi lebih waspada. Perbedaan perlakuan seperti ketika seorang muslim tiba di bandara di Amerika memang begitu kentara, dan Hamid menceritakan secara gamblang di buku ini. Nah, yang dirasakan Changez sendiri lebih kepada rasa cintanya kepada negerinya yang memang mayoritas muslim. Apalagi, Pakistan berada dekat dengan Afghanistan, dimana Osama bin Laden yang menjadi “tersangka” peristiwa 9/11 menjadi orang nomor satu yang paling dicari di dunia. Belum lagi konflik antara Pakistan dengan India yang kemungkinan besar ditunggangi oleh Amerika Serikat, membuat hidup Changez di Amerika menjadi sangat tidak nyaman. Dari sinilah terjadi perubahan pada diri Changez, ia yang mempunyai prestasi gemilang di sebuah firma hukum mulai tak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya, hidupnya mulai berantakan. Belum lagi hubungannya dengan Erica yang membuatnya begitu frustasi walaupun tak ada penolakan dari keluarga Erica. Sikap Erica yang misterius semakin membuatnya galau dan membuatnya makin berada di dalam sebuah dilema, haruskah ia tetap di Amerika atau kembali ke Pakistan membela negaranya.


Diceritakan dengan cara yang sangat tidak biasa, seolah-olah Changez sedang mengobrol dengan tamunya yang berasal dari Amerika Serikat. Changez sendiri ketika itu telah kembali ke Pakistan, dan melalui perbincangannya itulah ia menceritakan tentang kisahnya ketika ia merantau ke Amerika, menjadi salah satu lulusan terbaik Princeton, menjadi karyawan sukses di sebuah firma hukum, hingga masa-masa terpuruknya ketika ia berhubungan dengan Erica dan peristiwa 9/11. Buku ini pun sangat anti-mainstream, penulis tak ragu mengkritsi kebijakan-kebijakan Amerika Serikat melalui Changez. Mengenai cara bercerita di buku ini sendiri menurut saya merupakan sebuah cara yang berbeda, alur ketika Changez bercerita dan apa-apa saja yang ia kerjakan dengan tamunya sangat luar biasa, apalagi menginjak bagian ending buku ini, membuat pembaca menebak sendiri bagaimana akhir nasib dari si tamu Changez ini. Dari segi cerita sendiri menurut saya memang agak flat, konflik yang ada tak semegah kalimat “dilema Dunia Barat dan Islam”, dan ceritanya cenderung membosankan. Tapi semua itu tertutupi dengan cara penceritaan yang khas serta ending yang penuh tanda tanya tersebut. Tiga bintang.


Judul: The Reluctant Fundamentalist
Penulis: Mohsin Hamid
Tebal: 181 hal.
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: 2007 (1st) / 2008 (terjemahan)
Rate: 3/5

Sabtu, 19 Oktober 2013

Persik Raksasa dan James, dan Serangga-serangga Lainnya



Kali ini buku dari Roald Dahl yang saya baca bisa dibilang cukup tebal, hampir dua ratusan halaman. Masih tetap dengan ilustrasi-ilustrasinya, kali ini penulis mengajak kita mengunjungi James, seorang anak yatim piatu malang yang kedua orangtuanya dimakan oleh badak! Ia akhirnya dirawat oleh kedua bibinya yang jahat, Bibi Spiker yang kurus dan Bibi Sponge yang gemuk. Walaupun berbeda postur, mereka sangat kompak dalam menganiaya James, sungguh sangat malang nasib anak itu.

Nasib James yang malang mengalami perubahan besar etika ia bertemu seseorang misterius yang memberinya butiran-butiran lidah buaya ajaib. Efek dari lidah buaya ajaib itulah yang menjadi judul dari buku ini: Buah persik raksasa! Bayangkan, buah persik raksasa yang bisa dimasuki, bahkan daging buahnya bisa dimakan ketika kita berada di dalam buah persik raksasa itu. Inilah yang terjadi pada hidup James, ia berpetualang dengan “mengendarai” buah persik raksasa ini. Teman petualangannya pun tak main-main, ada cacing tanah, lipan, kakek belalang hijau, kepik, nona laba-laba, ulat sutera, dan cacing cahaya. Ukuran mereka pun bisa dibilang raksasa, ya, mereka pun terkena efek biji lidah buaya tadi. James yang sempat ketakutan akhirnya mendapati bahwa teman-teman barunya ialah teman yang menyenangkan, seketika itu hidupnya yang tadinya malang berubah menjadi menyenangkan, tentunya diselingi dengan kejadian-kejadian menarik di sepanjang petualangannya.

Luar biasa. Itulah kesan saya terhadap buku ini. Bagaimana penulis menghidupkan tokoh-tokoh serangga sehingga dapat berkomunikasi dengan manusia, saya rasa merupakan sebuah ide yang brilian. Terdengar biasa saja? Iya, apabila kisah mereka hanya ngobrol-ngalor-ngidul-gak-jelas. Tapi disini, penulis menyisipkan ilmu pengetahuan tentang binatang-binatang tersebut dalam kisah ini. Bagaimana kisah belalang hijau dapat membuat suara merdu seperti biola diceritakan disini. Ada juga kisah totol-totol pada kepik yang katanya menentukan usia kepik itu, diceritakan pula di buku ini. Penasaran kan pelajaran apa lagi yang ada mengenai serangga-serangga lainnya? Ada kok di buku ini, dengan bahasa yang tidak menggurui, membuat pembaca tak sadar bahwa ilmu baru sebenarnya telah mereka pelajari.

Tak hanya itu, perpaduan pelajaran yang benar-benar pelajaran dengan hal-hal konyol pun ada di sini. Lihat saja, bagaimana proses pembuatan pelangi yang dibuat dengan cara mengecat sebuah benda di angkasa oleh manusia awan, terdengar konyol namun juga kadang membuat berpikir, apakah kenyataannya seperti itu, hehehe...

Petualangan James ini menurut saya mampu membawa pembaca larut dalam kisahnya yang campur aduk, menegangkan, konyol, bahkan menggemaskan, apalagi ketika melihat tokoh si lipan yang begitu congkak dan tokoh si cacing tanah yang sangat paranoid sudah mulai beradu mulut, pasti akan membuat pembaca terpingkal-pingkal dibuatnya. Kabar baik dari buku ini ialah bahwa buku ini pernah difilmkan oleh Disney pada tahun 1996, tentunya dalam format kartun, karena saya tak bisa membayangkan serangga-serangga ini main film dalam wujudnya yang nyata, bisa jadi filmnya malah mengerikan untuk anak-anak, bukan menghibur.



Satu pesan moral dari buku ini: sikap sabar seperti yang James lakukan akan membawa manusia dalam kebahagiaan, siapa yang menabur benih, ialah yang akan menuai hasil. Itu pula nasib yang menimpa bibi Spiker dan bibi Sponge, bagaimana nasib mereka? Baca sendiri bukunya, dan masuklah ke dalam buah persik raksasa.


Judul: James and the Giant Peach
Penulis: Roald Dahl
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 192 hal.
Tahun Terbit: 1961 (1st) / 2006 (read)
Rate: 5/5
Rekomendasi Usia: Semua Umur