Jumat, 04 Oktober 2013

Satu Hari Bukan Di Hari Minggu



Empat belas cerpen. Satu buku. Satu Hari Bukan di Hari Minggu merupakan salah satu judul dari cerpen itu. Judul itu pula dipakai sebagai judul utama buku ini. Judul yang bisa dikatakan membuat bertanya-tanya, ada apakah di hari minggu? Ada apa pula di hari yang bukan hari minggu? Kumpulan cerpen ini merupakan kumpulan dari cerpen-cerpen karangan Yetti A.KA yang dimuat di berbagai surat kabar di tanah air, Jawa Pos,Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Merdeka, bahkan Tabloid Nova. Agak mencengangkan juga melihat banyaknya cerpen yang dikarang penulis dimuat di koran-koran “besar” nasional.

Satu Hari Bukan di Hari Minggu merupakan cerita kelima di buku ini. Bercerita dari sudut pandang Wiwi, seorang gadis kecil yang ibunya bekerja di sebuah rumah mewah. Hari minggu ialah hari yang ditunggunya, karena hanya hari minggu ia bisa ikut dengan ibunya guna berkunjung ke rumah itu. Di rumah itu, ia tak berani menyapa si nyonya rumah. Terkadang si nyonya rumah tersenyum kepadanya, walau hanya sekilas. Sebuah kepiluan muncul ketika di satu hari yang bukan hari minggu Wiwi berkunjung ke rumah itu guna menemui ibunya, ia melihat sebuah tragedi, tragedi yang memang diceritakan melalui bahasa sastra, sehingga bisa dikatakan hanya penulis dan Tuhan yang tahu. Yang jelas, cerita ini, epik.

Gadis Pemetik Jamur, cerita ketujuh di kumpulan cerpen ini. Lolanda, inilah nama si gadis pemetik jamur ini. Bekal dari almarhumah ibundanya tentang mana-mana saja jamur yang bisa dimakan tetap diaplikasikannya dalam kehidupan setelah kematian ibundanya. Kali ini ia menyerahkan jamur kepada ibu tiri, sekaligus adik ibunya, yang menikah dengan ayah kandungnya. Tak ada masalah berarti antara Lolanda dan ibu tirinya, bahkan cerita-cerita tentang kekejaman ibu tiri tidak nampak di diri ibu tiri Lolanda. Sayangnya Lolanda yang bermasalah, ia merasa ayahnya direbut dan posisi ibundanya direnggut oleh si ibu tiri. Ketidaktahuan sang ibu tiri tentang dunia perjamuran menjadi akhir yang tragis dalam cerita ini. Bisa dikatakan cerita ini merupakan sebuah cerita ironi-tragedi. Ending yang ada cukup mengejutkan dan tidak disangka-sangka, karena apabila ditelaah lebih lanjut, masalah di keluarga itu bukanlah masalah besar, bahkan bisa dibilang hampir tak ada masalah.

Cerita terakhir dalam kumpulan cerpen ini berjudul: “Dalam Kabut, Aku”. Sebuah cerita mengenai realita dewasa ini, tentang sulitnya untuk melihat kabut, terutama di perkotaan. Kabut masih banyak ditemui di pedesaan, namun tak semua orang kini dapat menikmatinya, selain karena mulai terjadinya pemanasan global, maupun gara-gara orang-orang lebih memilih untuk hidup di kota guna mencari kehidupan yang lebih baik. Cerita yang ditulis oleh Yetti A.KA ini menurut saya sangat menarik, dimana kisah seorang ibu yang terbiasa hidup dengan kabut di pedesaan, namun si ibu mulai menyadari bahwa tak mungkin anak-anaknya kelak hidup mengikuti jejak orangtuanya di pedesaan sebagai petani, apalagi lahan di pedesaan pun mulai berkurang. Maka, pergilah sang anak ke kota, hingga akhirnya, ketika si ibu beranjak menua, ia terpaksa hidup meninggalkan kabut, meninggalkan desa, mengikuti anaknya ke kota, karena tak ada sanak famili lagi di desa. Sebuah cerita mengenai kerinduan sang ibu terhadap kabut, juga sebuah cerita mengenai sang anak yang melupakan kabut ketika beranjak dewasa.


Memang, perlu pemahaman lebih dalam membaca cerpen-cerpen di dalam buku ini. Ada beberapa cerita yang akhirnya menggantung, juga ada beberapa cerita yang saya kurang mengerti juga bagaimana akhirnya. Namun, ketika kita merenungi isi dari buku ini, yang terlintas adalah bagaimana dalamnya makna yang ingin disampaikan penulis melalui cerpen-cerpennya. Tiga bintang untuk kumpulan cerpen ini.


Judul: Satu Hari Bukan di hari Minggu
Penulis: Yetti A.KA
Penerbit: Gress Publishing
Tebal: 140 hal.
Tahun Terbit: 2011
Rate: 3/5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar