Selasa, 21 Juli 2015

Lara - Sybill Affiat



Lara: A Dark Story of a Woman. Judul buku ini menurut saya bukan sekedar judul, karena sepanjang saya membaca buku ini, auranya memang gelap, dark, hampir tak ada kisah gembira yang terpancar dari buku ini.

Mungkin, banyak yang bertanya-tanya, apakah genre buku ini, horor kah? Atau memang genrenya ya Dark itu tadi, sebuah buku yang auranya gelap. Semacam itulah, yang jelas bikinn bulu kuduk merinding, juga bikin penasaran, karena kisahnya memang membuat bertanya-tanya.

Larashinta, seorang gadis brokenhome gara-gara kematian sang ayah. Sebenarnya, sang ibu masih eksis, tetapi kematian sang ayah membuat si ibu menjadi sosok yang berbeda, tak ada lagi kehangatan yang ia berikan untuk anak-anaknya. Ibu menjadi sosok yang dingin, tertutup, dan hanya mencurahkan kehidupannya untuk melanjutkan bisnis suaminya, hingga ia pun menelantarkan Lara, dan kakaknya, Saras. Inilah, yang membuat Lara dan Saras kurang kasih sayang, sehingga keduanya tumbuh menjadi orang yang “semau gue”. Parahnya, antara kakak-beradik ini pun interaksi yang terjadi menjadi semakin kaku, apalagi Saras memutuskan untuk pindah ke Singapura, makin sepilah keadaan rumah Lara. Keadaan rumah menjadi semakin parah, akibat dari kelakuan Mbok Yam, pembantu dari keluarga Lara, yang konon katanya masih suka berinteraksi dengan anaknya yang sudah meninggal. Hal ini dikarenakan si Mbok masih belum rela anaknya meninggal.

Keganjilan semakin dirasakan Lara seiring berjalannya waktu. Ia makin merasakan rumahnya kian sepi, kian mencekam. Tak hanya itu, ia pun mengalami kejadian-kejadian yang ganjil, seperti terjebak dalam sebuah lorong yang gelap, bahkan terkadang ia melihat sosok kakaknya dalam keadaan yang ganjil dan menyeramkan, tak mau menjawab apabila diajak bicara, laiknya orang tehipnotis yang pikirannya kosong. Puncaknya ialah, ketika Lara menyadari bahwa ia melihat sebuah sosok yang mirip dirinya sedang berbaring  di ICU sebuah rumah sakit, dalam keadaan koma, antara hidup dan mati.

Seperti sudah disebutkan di atas, sepanjang membaca novel ini saya merasakan aura yang gelap, hampir tak ada tawa bahagia. Namun hal ini yang justru membuat penasaran. Ada dorongan untuk terus membaca sampai mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Alur buku ini memang awalnya agak membingungkan, terkadang kita berada di suatu keadaan yang misterius, dan bab selanjutnya keadaan menjadi normal kembali. Terkadang juga sulit dijelaskan sebenarnya apa yang terjadi pada Lara ketika membaca sebuah bab, semuanya serba random. Nah, untungnya, bagian tengah buku ini mulai terjelaskan, ke mana cerita dari buku ini akan dibawa. Walaupun harus diakui, ketika misteri mulai terpecahkan, bagian seram dan menegangkannya akhirnya ikut hilang.

Saya tak tahu apakah cerita dari buku ini terinspirasi dari kisah nyata atau tidak, karena, saya pikir ganjil sekali apabila komunikasi yang ada di ending buku ini dapat terjadi di dunia nyata, pasti akan menimbulkan kehebohan di masyarakat. Namun apabila hal ini memang benar adanya dan pernah terjadi, mungkin memang inilah yang dinamakan misteri Ilahi.


Ide buku ini sungguh benar-benar baru, mencekamnya dapat, tetapi perlu diberi bumbu horor lagi agar menjadi benar-benar seram, lebih dari sekedar mencekam. Tetapi, yang saya salut, gelapnya benar-benar dapet, baca buku ini, dan coba deh rasakan juga kegelapannya.

Minggu, 24 Mei 2015

Konstantinopel - Sugha



Konstantinopel, dari namanya saja sudah berbau sejarah, tetapi buku thriller lokal ini tak menggunakan sejarah yang rumit di dalam inti ceritanya. Nama Konstantinopel hanya digunakan sebagai nama sebuah kelompok eks-mahasiswa Indonesia yang pernah berstudi di Istanbul, Turki. Menjadi menarik ketika tujuh anggota geng Konstantinopel ini secara kebetulan sangat dekat dengan dunia perpolitikan di Indonesia, ada seorang putri presiden, seorang calon anggota dewan, sampai seorang wartawan yang tulisannya vokal mengkritik pemerintahan berjalan. Konflik dimulai ketika seorang anggota Konstantinopel tewas gara-gara tertabrak kereta dan kehilangan jari kelingkingnya, mulai dari sinilah maut mengincar Konstantinopel, pembunuhan berantai pun dimulai.

Tokoh utama buku ini ialah Bima. Seorang lulusan terbaik STSN (Sekolah Tinggi Sandi Negara) yang didapuk menjadi asisten Waka BIN (Wakil Kepala Badan Intelijen Nasional). Bima bersama si Waka BIN, yaitu Pak Catur, turun tangan untuk terjun langsung menangani kasus ini. Bima, seorang pemuda berusia hampir 23 tahun, masuk ke dalam dunia pembunuhan berantai dalam kasus perdananya sebagai  Asisten Waka BIN. Predikatnya sebagai lulusan terbaik memang terbukti ketika ia berhasil memecahkan kasus ini melalui jalan yang berliku, dan agak lebay.

Buku thriller lokal ini menurut saya segar isinya. Konflik politik dijadikan latar belakang sebuah kasus yang bisa dibilang sadis, membuat buku ini sukar ditebak, apalagi dikaitkan dengan Konstantinopel, pasti menjadi makin sulit ditebak. Jujur saja, saya enjoy membaca buku ini, isinya membuat penasaran akan konflik yang akan terjadi berikutnya, walaupun memang ada bagian di buku ini yang agak konyol, terutama tentang si tokoh utama, yaitu Bima. Entah ya, kalau menggunakan logika, apa mungkin seorang anak ingusan berusia 23 tahun dapat dengan mudahnya bertemu presiden, sedangkan ia hanya asisten dari seorang Waka BIN. Belum lagi, Bima ini kok kadang-kadang polosnya gak ketulungan (sampai gak tau fasilitas T9 di hp), tapi di akhir buku dia berubah, menjelma menjadi seperti Van Diesel di The Fast and the Furious, how could it be?

Ada baiknya, apabila si Bima ini mau dibuatkan sekuel, sebagai detektif partikelir mungkin, penulis bisa belajar dari pasangan Kosasih-Gozali-nya Ibu S. Mara Gd. Memang, agak banyak cerita cinta yang mengiringi kisah pasangan ini, tapi menurut saya, kalau tentang dunia perdetektifan dan perkasusan, cara pemecahan dan penanganan kasus oleh Kosasih-Gozali sangat brilian. Pembunuhan yang terjadi cukup masuk akal, dan tentunya tanpa melibatkan adegan-adegan stuntman yang agak lebay itu. Satu hal lagi, tentang dunia pendidikan, ada satu istilah yang cukup mengganggu saya dalam penulisannya, yaitu bagaimana penulisan “pH”, soalnya di buku ditulis “PH”, yang artinya “Rumah Produksi”, bukan “Derajat Keasaman”.


Lanjutkan, saya yakin dengan penulisan yang lebih matang, Putra Bimasakti bisa menjadi salah satu ikon detektif di Indonesia. Ya, kalau bisa bagian ending di buku ini juga agak diubah, yang adegan lebaynya itu lho, kayanya impossible hal itu terjadi di Indonesia. Mau ditaruh dimana muka Kabareskrim kalau semudah itu diayam-ayamin sama anak ingusan 23 tahun? :)

Jumat, 16 Januari 2015

#19 Karang Setan - #20 Di Pulau Seram (Lima Sekawan; Enid Blyton)


#19 & #20 dari Lima Sekawan ciptaan eyang Enid Blyton.




Karang Setan, si # 19. Episode ini memberikan sebuah hiburan baru bagi para pecinta Lima Sekawan, MercuSuar! Yup, di buku yang ini anak-anak membawa para pembacanya berpetualang di sebuah mercusuar sebagai tempat tinggal atau tepatnya tempat anak-anak menghabiskan liburan. Mercusuar ini kepunyaan si Utik, anak dari seorang profesor kawan dari ayah George yang mendadak menginap di Pondok Kirrin. Karena keadaan rumah yang sempit dan gaduh, sedangkan kedua profesor tadi tak mau diganggu oleh kebisingan, akhirnya anak-anak mengungsi ke sebuah mercusuar.

Senang rasanya sebagai pembaca dibawa melihat-lihat keadaan dan cara kerja dari sebuah mercusuar. Meskipun anak-anak menempati sebuah mercusuar bekas, namun tetap saja fungsi-fungsi dari tiap bagian mercusuar masih dapat diketahui dan digunakan. Apalagi, sepertinya jaman sekarang ini jarang sekali mercusuar disebut-sebut dalam perbincangan sehari-hari.

Khas Blyton, lorong-lorong serta gua bawah tanah tak ketinggalan dalam #19 ini. Begitu pula dengan perburuan harta karun dari masa lampau. Trademark.

Oya, si Utik ini pecinta binatang, ia memiliki seekor monyet yang dinamakan si Iseng, yang akhirnya berkawan akrab dengan Timmy.




#20, Di Pulau Seram. Lagi-lagi anak-anak bertemu pecinta binatang. Kali ini Wilfried namanya. Lebih sakti, karena ia seperti magnet bagi hewan-hewan tersebut. Kelinci, landak, burung, ular, bahkan Timmy! Takluk semua olehnya.

Petualangan anak-anak kali ini sebenarnya tidak sengaja. Kapal yang mereka sewa tanpa sengaja terbawa arus sehingga mendarat di Pulau Seram. Sebuah pulau yang terkenal angker karena dijaga oleh dua orang bersenjata, yang tak segan menembak siapa saja yang mendarat di pulau tersebut.

Masih mengusung trademark yang sama, gua bawah tanah, serta harta karun, kali ini harta karun curian, yang ternyata ditimbun di pulau tersebut, alih-alih margasatwa yang dilindungi di pulau Seram itu.

Kedua buku ini keadaan mencekamnya bisa dibilang "dapet", anak-anak bersinggungan langsung dengan penjahatnya, Sebuah kondisi yang tak didapat di #18.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dua buku terakhir Lima Sekawan (#21 belum punya, begitu juga #16), saya bisa mengambil kesimpulan kalau anak-anak ini merupakan anak-anak yang tajir. Cobain baca deh, terus rasakan makanan-makanan yang anak-anak ini makan. BANYAK BANGET! Gak mungkin kayanya kalau keadaan ekonomi mereka kurang mampu. Ditambah, si George punya sebuah pulau! Tajir bingit kan, hii...

Keadaan lain yang ingin saya soroti, selama petualangan mereka di 21 buku (diandaikan saja dalam 1 tahun ada 4 musim liburan), maka selama 5 tahun berturut-turut, anak-anak ini jarang sekali berlibur bareng orangtua mereka. Kalau bibi Fanny (ibu George), mungkin agak banyak disebut, tetapi orangtua dari Julian, Dick, dan Anne jarang sekali muncul, bahkan identitas mereka hanya disebut sebagai ibu & ayah saja, tanpa embel-embel nama. Di #20 sempet sih si ibu muncul, tapi ya itu, kesannya cuma cameo doang, sebentar banget munculnya, seolah-olah pelengkap saja. Agak aneh juga sih sebenarnya, kesannya anak-anak lebih sayang pada orang-orang lain yang kebetulan mereka tumpangi rumah / pertaniannya.

Ah, apapun, petualangan Lima Sekawan ini pantas sekali untuk dibaca, dikoleksi, dan dilungsurkan. Yakin, kisah ini bisa membuat yang tadinya tidak suka membaca jadi agak suka membaca.

Salam Limun Jahe!!!