Sabtu, 16 Juni 2012

Sepanjang Jalan Braga


Aku menerawang jauh, tiket kunjungan ke Braga telah kupegang erat di tangan. Ya, liburan kali ini aku memutuskan untuk jalan-jalan ke Portugal, tepatnya ke kota Braga. Telah terbayang di benakku galeri seni House of Coimbra, museum arkeologi Museu D. Diogo de Sousa, hingga tempat spa Aquafalls Spa. Yah, lumayan lah untuk sejenak refreshing, bukannya aku tidak cinta tanah airku, meskipun aku tinggal di Bali, aku telah cukup jenuh berada disini, apalagi dengan aktivitas pekerjaan sehari-hari yang sangat menyita waktu dan tenagaku. Beruntungnya aku, ada yang menjual tiket paket wisata murah ke Braga, tanpa pikir panjang aku langsung ambil kesempatan itu, kapan lagi aku bisa ke luar negeri dengan harga yang murah meriah.

Tibalah saat keberangkatan. Setelah check-in dan mengurus segala tetek bengek, akhirnya aku dapat duduk dengan nyaman di pesawat, seketika aku langsung tertidur untuk menikmati perjalanan panjang. Aku terbangun ketika pesawat telah mendarat, wah, cepat sekali pesawat ini mendarat, pikirku, aku pun siap-siap untuk turun dari pesawat. Masih dalam keadaan setengah mengantuk, aku pun langsung naik mobil travel jemputan yang memang akan menjemputku sesuai dengan perjanjian di paket perjalanan ini. Sejenak aku membatin, ah, Portugal ini mirip-mirip Indonesia juga ternyata, tak lama aku pun langsung terlelap kembali.

Aku dibangunkan oleh pak supir tak lama kemudian, “Welcome to Braga, Sir,” aku hanya tersenyum. Aku turun dari mobil, lalu aku menelusuri jalan di Braga ini, aku agak heran juga mengingat situasi disini sangat mirip Indonesia, tetapi walau demikian, keindahan arsitektur kuno khas Eropa yang ada di sepanjang jalan ini sangatlah indah, belum lagi pedagang lukisan yang ada, menambah keyakinanku bahwa ini adalah taman impianku, Eropa. Aku pun mulai menuju obyek wisata pertama yang aku ingat, House of Coimbra. Malu bertanya sesat di jalan, begitu pikirku, lalu aku bertanya pada seseorang yang kutemui di pinggir jalan, nekat aku bicara dengan bahasa Inggris, karena itu bahasa internasional, walaupun aku ragu juga dia akan mengerti, mengingat bahasa Portugis yang memang lebih dominan disini.

“Excuse me Sir,” aku memulai pembicaraan.

“Yes?” dia hanya menjawab singkat.

“Where is House of Coimbra?”

“Eh?” dia tampak kebingungan, lalu dia bertanya lagi kepada temannya, “Kang, ngartos teu eta bule nyarios naon? Abdi mah kirang tiasa nyarios Inggris euy,” orang kedua tersebut lalu menghampiriku.

“What happen Mister?”

“Where is House of Coimbra?” aku mengulang pertanyaanku.

“Eh, what is that?”

“It’s an art gallery,”

“And where is it?”

“Don’t be kidding, of course in Braga,” aku mulai kesal.

“Wait a minute,” dia lalu mengambil hp-nya dan mulai mengetik sesuatu, dan dia tersenyum, “oh, it’s not in 
this Braga.”

“Eh, what do you mean?” aku mulai bingung.

“It’s Portugal’s Braga, but this is Indonesian’s Braga.”

“Hah? What do you mean with Indonesian’s Braga?”

“This is Bandung sir, not Portugal.”

“Apa??? Masa sih ini di Bandung?” Aku seketika pingsan, shock. Sesaat sebelum pingsan, aku sempat melihat orang itu tak kalah kagetnya mendengar aku yang memang berwajah indo ini berbicara bahasa Indonesia.

8 komentar: