Rabu, 02 April 2014

The Cuckoo's Calling ~ Robert Galbraith


520 p., Gramedia Pustaka Utama, Dec. 2013


11 Hari. Itulah yang saya butuhkan guna menyelesaikan sebuah buku dari J.K. Rowling yang ganjen memakai nama Robert Galbraith berjudul The Cuckoo’s Calling. Buku setebal 520 halaman ini sebenarnya tidak terlalu berat, namun terlalu “mewahnya” diksi yang digunakan sang penerjemah membuat bagian awal buku ini seakan-akan menyentil para pembaca tentang perbendaharaan kata yang dimiliki, kalau tidak mau mengatakan seolah-olah membuat pembaca merasa bego diri.

Oke, buku ini sangat berbeda genre dengan Harry Potter. Dengan Galbraith, JKR mencoba membawa pembaca ke dalam dunia perdetektifan dengan tokoh utama seorang veteran perang (yang kalau saya tak gagal paham baru berusia 34 tahun) dengan satu kaki sintetis, badan besar laiknya seorang petinju serta rambut keriting jijay yang mirip “sesuatu”. Detektif ini bernama Cormoran Strike. Seperti kisah-kisah detektif lainnya, pastilah sang detektif utama mempunyai asisten yang membantunya dalam menangani sebuah kasus. Dalam buku ini, Cormoran dibantu oleh Robin, sekretaris temporernya yang siapa tahu apabila ada sekuel dari buku ini bakal menjadi sekretaris sekaligus asisten tetapnya.

Kasus kali ini menceritakan tentang John Bristow yang menyewa Strike guna menangani kasus kematian adik tirinya yang juga seorang model terkenal yaitu Lula Landry. Kasus yang sebenarnya telah terjadi tiga bulan yang lalu ini ditutup dengan hasil penyelidikan polisi seperti berikut: Landry dinyatakan bunuh diri dengan cara melompat dari flatnya di lantai tiga melalu balkon flatnya. John tak percaya adiknya bunuh diri, maka dari itu ia menyewa Strike guna menyelidiki dan menguak kembali kisah tragis ini.

Dalam perjalanannya menyelidiki kasus ini, Strike juga dihadapkan dengan masalah pribadinya. Namun hal ini belum mendapat porsi berlebih di dalam serial pertama ini, entah apakah kisah percintaan Strike di buku-buku selanjutnya bakal lebih pelik, siapa tahu? Karena di serial ini anda berhadapan dengan JKR, si jago twist kalau menurut saya, ditilik dari pengalamannya menulis Harry Potter.

Seperti telah saya singgung di atas, frustasi dengan diksi yang ada juga merupakan salah satu keluhan saya tentang buku ini. Untungnya, bagian tengah sampai akhir hal tersebut mulai terabaikan dan tak mengganggu lagi. Mungkin, selain kejutan diksi tadi, saya juga sedang beradaptasi dengan tulisan Galbraith, karena tak jarang bayang-bayang Harry Potter selalu muncul ketika saya ingat bahwa buku ini ditulis oleh JKR. Untungya lagi, bayang-bayang Harry Potter ini hanya muncul juga samapi bagian seperempat buku saja, selebihnya bisa dibilang saya menikmati petualangan dan penyelidikan Strike dan Robin dalam mengungkap kasus kematian Lula Landry ini.

Menurut berita-berita yang saya baca, identitas JKR yang ketahuan ialah akibat banyaknya fashion yang dibahas di buku ini. Memang, bagian tentang fashion ini terasa sekali, apalagi ketika adegan penyelidikan Strike di butik mewah. Adegan inilah yang dinilai terlalu detail apabila buku ini memang benar-benar ditulis oleh seorang lelaki. Tetapi menurut saya, bagian di butik ini agak janggal, karena begitu mudahnya butik ini “kebobolan” oleh aksi Strike dan Robin. Well, setidaknya JKR harus belajar untuk lebih maskulin lagi apabila ingin mencoba menulis dari sudut pandang laki-laki. Empat bintang





2 komentar:

  1. Tidak terlalu bagus..mirip gaya penulisan agatha cristie..njlimet menjurus mubasir. Ceritanya biasa saja..intinya kalo ga dibaca ya ga rugi..

    BalasHapus