520 p., Gramedia Pustaka Utama, Dec. 2013
11 Hari. Itulah yang saya butuhkan guna menyelesaikan sebuah
buku dari J.K. Rowling yang ganjen memakai nama Robert Galbraith berjudul The
Cuckoo’s Calling. Buku setebal 520 halaman ini sebenarnya tidak terlalu berat,
namun terlalu “mewahnya” diksi yang digunakan sang penerjemah membuat bagian
awal buku ini seakan-akan menyentil para pembaca tentang perbendaharaan kata
yang dimiliki, kalau tidak mau mengatakan seolah-olah membuat pembaca merasa
bego diri.
Oke, buku ini sangat berbeda genre dengan Harry Potter.
Dengan Galbraith, JKR mencoba membawa pembaca ke dalam dunia perdetektifan
dengan tokoh utama seorang veteran perang (yang kalau saya tak gagal paham baru
berusia 34 tahun) dengan satu kaki sintetis, badan besar laiknya seorang
petinju serta rambut keriting jijay yang mirip “sesuatu”. Detektif ini bernama
Cormoran Strike. Seperti kisah-kisah detektif lainnya, pastilah sang detektif
utama mempunyai asisten yang membantunya dalam menangani sebuah kasus. Dalam
buku ini, Cormoran dibantu oleh Robin, sekretaris temporernya yang siapa tahu
apabila ada sekuel dari buku ini bakal menjadi sekretaris sekaligus asisten
tetapnya.
Kasus kali ini menceritakan tentang John Bristow yang
menyewa Strike guna menangani kasus kematian adik tirinya yang juga seorang
model terkenal yaitu Lula Landry. Kasus yang sebenarnya telah terjadi tiga
bulan yang lalu ini ditutup dengan hasil penyelidikan polisi seperti berikut:
Landry dinyatakan bunuh diri dengan cara melompat dari flatnya di lantai tiga
melalu balkon flatnya. John tak percaya adiknya bunuh diri, maka dari itu ia
menyewa Strike guna menyelidiki dan menguak kembali kisah tragis ini.
Dalam perjalanannya menyelidiki kasus ini, Strike juga
dihadapkan dengan masalah pribadinya. Namun hal ini belum mendapat porsi
berlebih di dalam serial pertama ini, entah apakah kisah percintaan Strike di
buku-buku selanjutnya bakal lebih pelik, siapa tahu? Karena di serial ini anda
berhadapan dengan JKR, si jago twist kalau menurut saya, ditilik dari
pengalamannya menulis Harry Potter.
Seperti telah saya singgung di atas, frustasi dengan diksi
yang ada juga merupakan salah satu keluhan saya tentang buku ini. Untungnya,
bagian tengah sampai akhir hal tersebut mulai terabaikan dan tak mengganggu
lagi. Mungkin, selain kejutan diksi tadi, saya juga sedang beradaptasi dengan
tulisan Galbraith, karena tak jarang bayang-bayang Harry Potter selalu muncul
ketika saya ingat bahwa buku ini ditulis oleh JKR. Untungya lagi, bayang-bayang
Harry Potter ini hanya muncul juga samapi bagian seperempat buku saja,
selebihnya bisa dibilang saya menikmati petualangan dan penyelidikan Strike dan
Robin dalam mengungkap kasus kematian Lula Landry ini.
Menurut berita-berita yang saya baca, identitas JKR yang
ketahuan ialah akibat banyaknya fashion yang dibahas di buku ini. Memang,
bagian tentang fashion ini terasa sekali, apalagi ketika adegan penyelidikan
Strike di butik mewah. Adegan inilah yang dinilai terlalu detail apabila buku
ini memang benar-benar ditulis oleh seorang lelaki. Tetapi menurut saya, bagian
di butik ini agak janggal, karena begitu mudahnya butik ini “kebobolan” oleh
aksi Strike dan Robin. Well, setidaknya JKR harus belajar untuk lebih maskulin
lagi apabila ingin mencoba menulis dari sudut pandang laki-laki. Empat bintang
Tidak terlalu bagus..mirip gaya penulisan agatha cristie..njlimet menjurus mubasir. Ceritanya biasa saja..intinya kalo ga dibaca ya ga rugi..
BalasHapushm...
Hapus