Jumat, 29 November 2013

Dimas Suryo & Lintang Utara (ingin) Pulang



Buat kalian, dan terutama saya yang hidup di zaman Orde Baru, tentunya merasakan betul bagaimana doktrin yang dijejalkan oleh pemerintah di masa itu tentang Partai Komunis Indonesia (PKI). Tak tanggung-tanggung, bahkan peristiwa G30S yang lekat dengan PKI pun di-dioramakan di Lubang Buaya sana. Bagi saya pribadi, doktrin itu merasuk kuat ke dalam pikiran saya, bagaimana saya merasa ngeri terhadap PKI, bahkan pernah terbayang juga apa yang terjadi apabila dahulu kala PKI itu sukses berkuasa di Indonesia, tentunya bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang tak beragama, dan berpaham komunis. Itulah pandangan saya tentang komunis, suatu paham tak memercayai Tuhan, entah, pandangan saya benar atau tidak.

Mengapa saya begitu larut terhadap doktrin tersebut? Bayangkan saja, cerita-cerita yang dijejalkan kepada anak-anak di zaman itu sangatlah mengerikan. Bagaimana PKI dan antek-anteknya menyiksa para jendral besar negara ini, memutilasi tubuhnya, menyilet-nyilet bagian wajahnya, hingga pembuangan mayat-mayat para pembesar itu ke dalam sebuah lubang yang dinamakan Lubang Buaya. Itu pandangan saya, bisa jadi juga sama dengan beberapa rekan sekalian. Belum lagi, setiap tahun di tanggal 30 September pasti ditayangkan film mengenai G30S/PKI, ada nonton barengnya segala pada waktu itu. Pelajaran-pelajaran sejarah pun mendoktrin bahwa PKI ini berbahaya.

Pulang, sebuah novel fiksi yang berlatar kejadian non-fiksi G30S/PKI merupakan buku yang saya baca untuk SRC 2013 kategori pemenang/nominator KLA (Khatulistiwa Literary Award). Novel ini menceritakan tentang para eksil (buronan politik) yang berada di luar negeri pada medio tahun 60-an. Para eksil ini secara tak sengaja selamat dari tangkapan tentara Indonesia yang sedang gencar-gencarnya menangkapi orang-orang yang terlibat dalam organisasi PKI. Para eksil ini yaitu Dimas Suryo, Nugroho, Tjai dan Risjaf sedang berada di luar negeri ketika pergolakan besar terjadi di tanah air, mereka sedang dalam sebuah acara yang berkaitan dengan tempat mereka bekerja yaitu sebuah surat kabar yang beraliran “kiri”. Mereka yang memang asli warga Indonesia akhirnya terjebak di luar negeri tanpa bisa pulang ke negeri asal padahal mereka sendiri tidak merasa “kiri”, dan hanya menjadi korban kebiadaban politik saja.

Setting buku ini tak hanya tahun 60-an, ada satu lagi peristiwa penting bangsa Indonesia yang dibahas di buku ini, yaitu reformasi 1998. Kali ini keempat eksil yang tadi diceritakan sudah sukses mendirikan restoran becitarasa tanah air di Prancis sana. Sudut pandang cerita beralih kepada Lintang Utara, yitu anak dari Dimas Suryo hasil pernikahannya dengan seorang gadis Prancis. Lintang ini, yang terkena imbas “kiri” dari ayahnya tanpa sengaja terlibat tugas akhir kuliah dengan tema Indonesia, negara asal ayahnya. Dengan perjuangan yang berat, akhirnya Lintang berhasil masuk ke Indonesia walaupun situasi politik sedang panas-panasnya, mirip ketika zaman ayahnya dahulu di medio tahun 60-an.

Sebuah pelajaran penting saya peroleh dari buku ini. Bagaimana imbas “kekirian” begitu sulit hilang dari merkea yang orangtuanya terlibat dalam peristiwa yang terjadi di tahun 60an. Padahal, belum tentu juga anak-anak serta keturunan berikutnya dari anggota PKI ini juiga beraliran kiri. Bagaimana pengaruh dan perlakuan Orde Baru kepada mereka memang sangat memuakkan. KTP ditandai ET (Eks Tapol), bahkan persyaratan-persyaratan  ketat apabila mereka-mereka ini ingin memasuki diunia kerja yang memegang peran strategis seperti di pemerintahan atau posisi-posisi penting lainnya. Bahkan tak jarang keturunan “kiri” ini tak mendapat pekerjaan yang layak akibat gelarnya tersebut. Leila S. Chudori, sebagai penulis buku ini, secara cerdas menceritakan bagaimana keluarga tapol ini menjadi kaum yang terisolir akibat peristiwa G30S/PKI, dan menutup cerita di buku ini dengan sebuah peristiwa yang tak kalah penting, yaitu reforemasi 1998, yang juga sebagai pembuka jalan untuk para tapol ini kembali menghirup udara segar tanpa embel-embel ET lagi.

Terkesan berta memang apabila hanya membaca sekilas review-review pembaca buku Pulang ini, tapi saya berani menjamin bahwa buku ini sama sekali tidak berat. Buku ini tak hanya sekedar berorientasi pada dunia politik, tetapi banyak juga cerita cinta yang terjadi, bahkan cerita tentang dunia kuliner disajikan pula disini. Memang, masih banyak hal-hal yang masih menggantung mengenai tokoh-tokoh di buku ini, tapi hal tersbut dapat dimaafkan dengan pengemasan cerita yang apik. Satu hal lain yang unik, yaitu mengenai penokohan. Tokoh yang terlibat disini walaupun tidak begitu banyak namun dijelaskan secara mendetail satu-persatu, bahkan tak jarang setiap bab menceritakan tokoh dan sudut pandang yang berbeda, sehingga kita para pembaca seolah bisa merasakan apa-apa yang dirasakan tokoh-tokoh di dalam novel ini secara lebih dekat.


Buku ini sendiri ternyata berhasil menjadi pemenang KLA tahun 2013 kategori prosa. Memang, banyak kontroversi menyertai kemenangan buku ini terutama yang berkaitan dengan independensi juri, namun saya sebagai pembaca awam merasa buku ini cukup layak untuk memenangkan penghargaan ini, karena jalan cerita yang unik, lintas zaman, serta menyoroti dua peristiwa penting di Indonesia yang berkaitan dengan nasib para orang-orang yang dianggap “kiri”. Lima bintang.


Judul: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Tebal: 464 hal.
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: 2012
Rate: 5/5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar