Minggu, 14 Juli 2013

Jo dan Lima Sekawan



Liburan lagi, petualangan lagi! Walaupun hanya menghabiskan waktu sekitar dua minggu untuk bersama-sama, petualangan seakan tidak mau menjauh dari kelompok Lima Sekawan ini.

Berlokasi kembali di Pondok Kirrin, kali ini Bibi Fanny dan Paman Quentin sengaja ingin berlibur ke Spanyol. Kedua orangtua George ini meninggalkan Lima Sekawan dengan pembantu mereka, Joanna. Memang, sejak semula anak-anak tidak yakin mereka akan mengalami petualangan kali ini, namun penemuan yang dilakukan oleh Paman Quentin membawa anak-anak dalam petualangan, bahkan bahaya!
Berawal dari pertemuan anak-anak dengan Jo, seorang anak yang di Inggris sana lazim disebut sebagai gelandangan. Jo ini seorang anak perempuan, namun ia mirip sekali dengan George, berperawakan sama, berambut ikal, dan juga senang memakai pakaian anak laki-laki. Jo ini memberi kesan buruk kepada anak-anak ketika pertama mereka bertemu, bukan apa-apa, pergaulan Jo dan anak-anak Lima Sekawan memang berbeda, jadi bisa dikatakan bahwa Jo sedikit liar, dan anak-anak kurang menyukai hal itu.

Petualangan kali ini melibatkan penculikan, pembiusan, penyamaran, bahkan penyekapan, bukan cerita yang enteng memang bagi anak-anak. Bisa dibilang pula yang berpetualang disini ialah Julian dan Dick, sebabnya adalah George dan Timmy diculik oleh para penjahat. George menjadi sasaran penculikan gara-gara para penjahat ini mengincar buku catatan penemuan-penemuan penting yang dilakukan oleh Paman Quentin. Sedangkan Anne, seperti biasa masih terlalu muda untuk berpetualang yang terlalu berbahaya, maka ia hanya menemani Joanna di rumah ketika ick dan Julian berusaha membebaskan George dan Timmy.

Tentunya ada alasan khusus mengapa Jo menjadi judul dalam buku Lima Sekawan ini, dari 21 judul Lima Sekawan karya Enid Blyton, hanya Jo seorang yang menjadi sebuah nama anak yang menjadi judul. Jo inilah yang menjadi kunci dalam petualangan kali ini, entah itu dalam proses penangkapan George, sampai pada proses penyelamatan George. Jo ini pulalah yang menyertai serta memandu Julian dan Dick dalam mengetahui tempat penyekapan George.

Seperti biasa, bahaya, bahkan kematian sangat dekat dengan anak-anak Lima Sekawan ini seiring dengan pertambahan umur dan pertambahan judul serial ini. Apa yang ada di pikiran Enid Blyton ketika menulis cerita yang katanya untuk anak-anak ini hanya ia dan Tuhan yang tahu, yang jelas diskusi antara anak dan orangtua sangat diperlukan ketika membaca buku ini.

Petualangan yang terjadi di tahun 1950 ini (pertama buku ini terbit) masih melibatkan telegram, hal yang sudah sangta langka di zaman modern ini. Ini pulalah yang menghambat anak-anak dalam menghubungi Bibi Fanny dan Paman Quentin yang berada di Spanyol. Coba saja kisah ini terjadi di zaman smartphone seperti sekarang ini, mungkin tidak akan ada yang namanya penculikan George. Ya, tinggal sms atau telepon saja maka tindakan penculikan ini dapat dicegah ketika awal mula ada pencuri masuk ke Pondok Kirrin.Tetapi tak akan ada petualangan seru apabila hal tersebut terjadi, sms/telepon, Bibi serta Paman pulang, hubungi polisi, maka habis perkara, dan buku ini tak akan menjadi sebuah buku. Itu sudah.

Ada hal menarik yang ditambahkan penerjemah di dalam buku ini, tepatnya di halaman 139: “Memang, hutan di Inggris lain dengan di Indonesia. Di sana, jika ada tempat yang agak lebat ditumbuhi pepohonan, tempat itu sudah disebut hutan. Karenananya tidaklah mengherankan, jika bagi Anne tempat yang pepohonannya tumbuh rapat sudah dianggap sebagai rimba. Coba kalau anak itu bisa datang sebentar ke Kalimantan atau Irian, saat itu baru ia akan tahu bagaimana wujud rimba yang sebenarnya.” Saya yakin tak ada bagian ini di dalam edisi aslinya, namun penerjemah secara jeli ingin memperkenalkan kekayaan Indonesia kepada para pembaca yang notabene adalah anak-anak Indonesia.

Dewasa ini, sudah jarang ditemukan anak-anak membaca buku-buku Lima Sekawan ini. Padahal buku ini sudah sangat sering dicetak ulang. Tapi patut dipertanyakan pula, apakah anak-anak zaman sekarang ini memahami hal-hal yang ada pada zaman itu seperti telegram yang saya sebut di atas. Mungkin pula anak-anak ini akan mempertanyakan, mengapa anak-anak Lima Sekawan ini tidak berbekal telepon genggam dalam berpetualang? Ah, apa mungkin pemikiran saya yang terlalu cetek sehingga tak tahu bahwa zaman sekarang ini Lima Sekawan tetap banyak dibaca oleh anak-anak modern.

Kembali lagi ke perdebatan apakah Lima Sekawan ini cocok untuk anak-anak. Saya tetap berpikir bahwa Lima Sekawan ini merupakan buku awal bagi anak-anak guna mereka mendalami hobi membaca mereka. Saya sendiri masih ingat, bagaimana ketika SMP buku ii sangat berbekas di hati saya. Jujur saja, pada saat itu saya belum mencapai pemikiran bagaimana munculnya kata-kata kasar pada serial ini, pokoknya yang terpikirkan hanya bagaimana serunya buku ini. Sempat pula saya berbalas twit dengan Clara Ng dimana saya mengatakan buku ini harus dibaca dengan pengawasan orangtua apabila anak-anak yang membacanya, namun beliau membalas bahwa diskusi lebih diperlukan daripada pengawasan. Akhirnya saya pun menyadari bahwa saya keliru, dan bahwasanya diskusi dua arah lebih penting untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak dibandingkan pengawasan satu arah dari orangtua kepada anaknya. Jadi, apakah cocok untuk anak-anak? Tetap, dari awal saya sudah berpendapat bahwa buku ini hanya cocok untuk anak Indonesia berusia 10 tahun ke atas.


Selamat hari anak Indonesia, tetaplah membaca karya untuk anak guna membuka diskusi dua arah antara anak dan orangtua. Juga walaupun buku anak, buku tetaplah buku, dan pastilah akan ada pengetahuan dibalik semua buku yang ada.


Judul: Lima Sekawan: Jo Anak Gelandangan
Penulis: Enid Blyton
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 254 hal.
Tahun Terbit: 1950 (1st) / 1997 (read)
Rekomendasi Usia: > 10 tahun
Rate: 4/5

2 komentar:

  1. Kata2 kasarnya ga dijelasin nih..

    Aku dulu pas sekolah sd ada pelajaran disuruh kirim kartupos, telegram sama surat.. sayang banget kayaknya sekarang udah ga ada model pelajaran kayak gitu..

    BalasHapus
  2. Udah dijelasin di review2 lima sekawan sebelumnya, hehe...

    nah, makanya itu kayanya jarang yg baca buku ini lagi..

    BalasHapus