Kamis, 28 Februari 2013

Sisi Menarik Lain dari Seorang Kartini




Sebuah biografi tentang wanita pembawa perubahan di Indonesia. Wanita yang mengangkat emansipasi dan kesetaraan lelaki dan wanita di Indonesia. Beliau adalah Raden Ajeng Kartini, anak dari bupati Jepara di kala itu, hasil perkawinannya dengan seorang wanita yang bisa disebut sebagai selirnya. Biografi ini ditulis oleh Pramodya Ananta Toer, berdasarkan surat-surat Kartini kepada beberapa orang sahabat penanya yang kebanyakan berasal dari negara Belanda.

Sejarah hidup Kartini secara lengkap dan gamblang diceritakan di buku ini. Tentunya dengan kutipan-kutipan dari surat yang Kartini tulis tersebut. Banyak hal menarik yang terungkap dari tulisan-tulisan Kartini ini, mulai dari masa kecilnya, kehidupan seninya, hingga pandangan-pandangannya terhadap bangsa pribumi dan bangsa luar negeri. Semua disajikan secara berurutan oleh Pram.

Ada beberapa hal menarik yang juga terungkap di biografi ini. Kita umumnya mengenal Kartini sebagai pahlawan Indonesia, namun tahukah bahwa sebenarnya bahasa Indonesia (dahulu Melayu) Kartini tidak begitu bagus? Bahkan, di dalam kesehariannya menulis dan “berjuang” untuk rakyat pribumi, beliau menggunakan bahasa Belanda sebagai senjatanya. Ya, beliau lebih fasih dan lancar dalam berkata-kata dan mengolah kata menggunakan bahasa Belanda. Tentunya ada alasan dibalik penggunaan bahasa Belanda ini. Beliau ingin perjuangan yang beliau lakukan lebih didengar dan diperhatikan secara langsung oleh penjajah Indonesia, yaitu bangsa Belanda. Dengan tulisan-tulisannya ini beliau ingin menegaskan, bahwa selama ini pribumi telah begitu ditindas oleh Belanda, dan beliau berharap, ada orang-orang Belanda yang tergugah dengan hal ini, serta mengikuti jejak Multatuli (yang juga penulis favorit beliau) untuk turut serta berjuang bersama pribumi dalam hal meluruskan kesalahan dan kekejaman bangsa Belanda terhadap bangsa Indonesia.

Bagian menarik lain dari biografi ini ialah bagaimana Pram menceritakan bahwa Kartini merupakan seorang kutu buku yang sehari-harinya tak jauh dari buku dan bacaan-bacaan yang pada saat zaman dahulu sangat sulit untuk ditemukan. Bahkan Kartini harus rela menunggu hingga berbulan-bulan agar kiriman bukunya dari Belanda sampai ke tangannya. Untuk bacaan favorit, tentu saja sastra Belanda yang paling beliau sukai, terutama Max Havelaar karangan Multatuli. Buku ini seolah menjadi inspirasinya dalam turut menggugah rasa nasionalismenya. Ada pula bacaan di luar karya sastra Belanda yang jadi favoritnya dan sering disebut-sebut di buku ini ialah “Quo Vadis?” Karangan Henryk Sienkiewicz. Bacaan-bacaan dari luar Belanda yang beliau baca ini tentu saja buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Perlu diketahui sebagai selingan, dua buku ini termasuk dalam daftar buku 1001 yang harus dibaca sebelum mati. Jadi dapat disimpulkan secara sederhana, bahwa Kartini mempunyai cita rasa dan selera yang lumayan tinggi terhadap karya sastra dunia.

Ada satu hal yang agak menggelitik bagi saya mengenai kehidupan Kartini. Hal tersebut adalah mengenai agama. Secara “KTP”, agama Kartini ialah islam, namun beliau sendiri menegaskan bahwa agama yang beliau kenal secara turun-temurun dari keluarganya ini kurang sreg di dalam hatinya. Beliau beranggapan bahwa agama ini hanya ia jalani sebagai suatu kebiasaan saja, tanpa mengetahui apa hakikat dan makna dari agama tersebut bagi dirinya. Hal ini mungkin dapat agak dipahami mengingat di kala itu kurangnya ilmu yang beliau dapatkan tentang keagamaan (terutama islam) ini. Hal ini dapat dilihat dari tak adanya bahasan di buku ini mengenai beliau yang belajar atau diajari tentang islam. Malahan, Kartini lebih dekat dengan agama Nasrani bahkan Buddha dalam hal pergaulannya sehari-hari, walaupun beliau menegaskan, bahwa yang paling penting ialah mengaplikasikan nilai-nilai luhur dari agama-agama tersebut di dalam kehidupan, karena pada dasarnya, semua agama mengajarkan kebaikan. Hal ini sedikit banyak membuat saya teringat kepada Pi Patel dalam Life of Pi dan sedikit membayangkan, apakah Yann Martel terinspirasi dari Kartini. Siapa yang tahu.

Terakhir, di dalam catatan penulis di bagian awal buku ini, Pram berharap bahwa buku ini dapat menjadi buku pelengkap bagi pelajaran-pelajaran di sekolah-sekolah lanjutan. Saya berpendapat, hal ini sangat baik apabila dapat dilaksanakan. Agar siswa dan generasi penerus bangsa ini tidak hanya mengenal Kartini hanya dari satu sisi saja dan dari sisi yang itu-itu saja, tetapi dapat pula melihat dari sisi lain yang tidak semuanya terungkap dalam pelajaran-pelajaran yang didapatkan di sekolah-sekolah.


Judul: Panggil Aku Kartini Saja
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Tebal: 304 hal.
Rate: 3/5

Learn from Atticus Finch




Pernah bersikap rasis? Contohnya saja menilai orang berkulit hitam dengan sedemikian rupa, bahkan memandang remeh serta rendah? Maka belajarlah dari Atticus Finch, seorang pengacara kulit putih yang rela “ditindas” oleh sebagian kaumnya hanya gara-gara membela seorang kulit hitam yang dituduh melakukan pemerkosaan terhadap seorang gadis kulit putih. Mengapa Atticus patut dijadikan panutan? Karena pada zaman itu (sekitar tahun 30-an) di Maycomb Alabama Amerika sana isu rasialis masih sangat pekat, orang kulit hitam selalu dalam posisi yang sulit. Bahkan di pengadilan yang mengangkat kasus ini, sebenarnya Atticus sudah tahu bahwa dirinya bakal kalah, tetapi ia berhasil meyakinkan warga Maycomb dengan segala analisis-analisisnya bahwa sebenarnya Tom Robinson (si kulit hitam tersebut) tidak bersalah. Hanya keadaanlah yang membuat Tom akhirnya diputuskan bersalah.

Hal tersebut hanya sebagian kecil dari pelajaran yang dapat diambil dari buku To Kill a Mockingbird karya Lee Harper ini. Ya, seolah dari buku ini penulis mengajarkan manusia untuk tidak membeda-bedakan manusia dari warna kulitnya, karena semua manusia adalah sama, apalagi di hadapan-Nya.

Bercerita dari sudut pandang seorang gadis cilik berusia sekitar delapan tahun bernama Scout Finch, anak dari Atticus, Lee membawa pembaca untuk melihat segala sesuatunya dari sudut pandang si anak kecil tersebut. Bagaimana Scout harus berinteraksi dengan tetangga-tetangganya yang kebanyakan sudah berusia tua, bahkan tidak ditemukan anak sebaya di sekitar lingkungan rumahnya untuk dijadikan teman bermain. Maka jangan heran apabila Scout seolah-olah selalu membuntuti kakaknya Jem dalam kegiatan sehari-hari. Hal ini pulalah yang membuat Scout menjadi “laki-laki”, berpakaian seperti laki-laki, bahkan bertengkar dan berkelahi pun ia jalani dengan teman-teman satu kelasnya yang berselisih dengan dia. Sebenarnya ada satu orang anak sebaya yang berada di lingkungan itu, dia adalah Dill, namun sayang dia hanya berada di Maycomb ketika libur musim panas saja. Scout, Jem, dan Dill walaupun hanya bertiga namun selalu berhasil menemukan petualangan-petualangan seru yang penuh makna bagi mereka bertiga.

Selain masalah persidangan di atas, ada dua hal besar lain yang coba diangkat oleh Lee Harper di buku ini. Hal pertama ialah ketika tiga sekawan (Scout, Jem dan Dill) mencoba menguak misteri keluarga Radley, tetangga Atticus di Maycomb yang misterius. Sebenarnya yang coba dikuak oleh mereka bertiga adalah Boo Radley, yang tidak pernah sama sekali terlihat batang hidungnya, hidup selalu di dalam rumah, namun diam-diam berinteraksi dengan anak-anak keluarga Finch dengan cara memberikan barang-barang tertentu melalui sebuah ceruk pohon. Hal kedua ialah ketika Jem dihukum oleh seorang nyonya pemarah untuk setiap minggunya membacakan dongeng untuknya, ternyata ada hal menarik dibalik peristiwa hukuman yang kesannya tak disengaja ini.

Tentu saja peran Atticus disini sangatlah besar dalam menuntun anak-anaknya dalam kehidupan yang penuh prasangka. Dalam kejadian dengan keluarga Radley, prasangka anak-anak tentang Boo Radley yang mereka curigai agak gila dan psycho diluruskan oleh Atticus dengan memberikan pemahaman bahwa tidak semua orang harus bergaul dengan orang lain, dan bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup sesuai dengan keinginan mereka. Sedangkan dalam kejadian dengan Mrs. Dubose (nyonya pemarah), Atticus mencoba memberi pemahaman bahwa sebenarnya Jem telah menolongnya dari ketergantungan terhadap morfin. Sedangkan mengenai hukuman membacakan cerita kepada Mrs. Dubose itu hanyalah sebuah kebetulan belaka, karena dihukum atau tidak, Atticus tetap akan menyuruh Jem untuk membacakan cerita bagi nyonya itu.

Buku ini termasuk buku legendaris di dunia perbukuan internasional. Satu-satunya buku yang ditulis oleh Lee Harper, buku ini berhasil masuk dalam daftar 1001 buku yang harus dibaca sebelum wafat. Buku ini pun berhasil meraih penghargaan Pulitzer kategori fiksi pada tahun 1961. Buku yang telah diadaptasi ke dalam film pada tahun 1963 ini pun meraih kesuksesan dalam layar lebar. 3 piala Oscar diraih pada tahun tersebut, sungguh sebuah prestasi yang mengagumkan. Buku ini pun dapat dikategorikan buku tentang pendewasaan seorang anak dalam menghadapi lingkungannya sendiri, apalagi buku ini memakai sudut pandang seorang Scout Finch. Namun, cukup banyaknya cerita-cerita yang agak berat yang dimuat di buku ini membuat buku ini menurut saya hanya cocok untuk anak usia 15 tahun ke atas di Indonesia. Satu kategori lagi, persidangan dan kasus Atticus yang menyangkut Tom Robinson membuat buku ini juga didaulat untuk mengusung genre legal thriller, suatu genre yang menyangkut kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan tindak kekerasan. Apalagi buku ini juga masuk list 100 Crime Novels of All Time.


Judul: To Kill a Mockingbird
Penulis: Lee Harper
Penerbit: Qanita
Tebal: 533 hal.
Rate: 4/5
Rekomendasi Usia: >15 tahun

==================================================================

Buku ini saya baca guna memenuhi tantangan membaca buku-buku Misteri dari @HobbyBuku, buku-buku anak dari @bzee_why, serta baca bareng bulan Februari dengan komunitas @BBI_2011 dengan tema buku yang diangkat ke layar lebar.





Selasa, 26 Februari 2013

Gozali-Kosasih: Awal Perjalanan



“Manusia adalah makhluk yang kompleks.  Manusia bukan seperti cat dalam kaleng, kalau berwarna hitam ya seluruhnya hitam, kalau berwarna putih ya satu kaleng putih semua isinya. Manusia merupakan perpaduan beribu-ribu warna dan watak. Orang yang biasanya baik, sabar, lemah lembut, jangan dikira tidak bisa berbuat jahat. Demikian pula orang yang biasanya berwatak keras, kejam, masih bisa mempunyai sifat-sifat yang baik. Tidak ada manusia yang total baik atau total jahat di dunia ini.”

Kata-kata ini diucapkan oleh Gozali. Kata-kata yang sebenarnya mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kehidupan Gozali. Siapakah Gozali? Di masa lalunya, Gozali terkenal sebagai pencuri yang ulung. Tindak tanduknya bersih, tanpa cela, tanpa noda, tak meninggalkan jejak apapun bagi korban yang menjadi targetnya. Sehingga wajar apabila Gozali ini merupakan Most Wanted Person di kalangan kepolisian Republik Indonesia, Surabaya khususnya. Meskipun seorang pencuri, namun Gozali mempunyai prinsip, yaitu tidak akan melukai dan mencederai korbannya walaupun sekecil apapun. Hingga suatu hari, seorang kawan Gozali memaksa untuk ikut serta dalam pencurian yang akan dilakukan Gozali, dengan berat hati Gozali pun mengiyakan temannya tersebut, sampai terjadilah peristiwa yang sangat tidak diinginkan Gozali, dirinya tertangkap polisi!

Waktu berselang, Gozali akhirnya bebas dari penjara. Tak dinyana, sifat dan bakat Gozali yang pada dasarnya memang baik dan cerdik diendus oleh Kapten Polisi Kosasih, sampai akhirnya Gozali menjadi partner setia Kosasih dalam menyelidiki dan memecahkan kasus-kasus pembunuhan yang terjadi di daerah Surabaya dan sekitarnya.

Misteri Dian Yang Padam ini merupakan lembaran awal kemitraan Gozali-Kosasih dalam mengungkap kasus-kasus yang terjadi. Memang sih, tidak diceritakan bagaimana mereka akhirnya dapat menjadi begitu klop, karena disini kemitraan itu telah terbentuk dan telah ada semacam chemistry antara Kosasih dan Gozali. Ditilik dari judul buku ini, Dian yang dimaksud memang merujuk kepada nama seseorang yang menjadi korban pembunuhan secara misterius. Hal ini menjadi misterius dikarenakan Dian di dalam kehidupan sehari-harinya dikenal sebagai gadis yang periang, tidak memiliki masalah serius, serta berpembawaan menyenangkan. Namun seperti kutipan dari Gozali di atas, tak selamanya seseorang itu hitam atau putih. Tak disangka, Dian ternyata telah mempunyai seorang kekasih di kampung halamannya. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata keadaan Dian yang sedang mengandung anak dari kekasihnya tersebut! Hal ini tak ada yang mengetahui kecuali Dian dan kekasihnya, yang ternyata sekarang telah menjadi sepasang mantan kekasih. Dian yang meminta pertanggungjawaban sang kekasih belum mendapatkan apa yang diinginkannya, karena takdir keburu merenggut nyawanya.

Kasus ini terkesan sangat sederhana, melibatkan sepasang mantan kekasih yang “kebablasan”. Namun, intuisi Gozali mencium suatu hal yang berbeda, hingga akhirnya kasus ini tak hanya berkutat di seputaran Jawa Timur, namun sampai ke luar Pulau Jawa! Ternyata latar belakang kasus ini sangatlah pelik, dan tak hanya berkutat di seputar Dian dan kekasihnya, namun juga melibatkan rekan-rekan sekantor Dian yang sebenarnya baru saja Dian kenali dalam jangka waktu beberapa bulan saja.

Buku inilah awal petualangan Kosasih-Gozali. Di buku ini pula seperti telah saya tuliskan di atas menjabarkan kisah Gozali sebelum berpartner dengan Kosasih. Bisa dibilang buku ini merupakan buku yang sudah mulai langka. Terbit pertama kali tahun 1985, dan yang saya baca dan miliki ini ialah cetakan keduanya, yaitu pada tahun 1993. Cara mendapatkan buku ini pun sungguh sangat tidak disengaja, karena buku ini saya temukan di tumpukan buku-buku bekas berharga sepuluh ribuan di Blok M Square. Walaupun kondisinya memang telah sedikit jelek, namun saya yakin buku ini masih cukup berharga untuk dibaca dan dikoleksi. Apalagi, buku ini bisa saya ikutkan dalam tantangan membaca buku-buku misteri yang diadakan oleh @HobbyBuku, sekaligus juga meningkatkan minat pembaca-pembaca cerita detektif terhadap buku-buku detektif dan thriller dalam negeri. Tanpa basa-basi lagi, lima bintang untuk buku ini! Good job Tante Mara :)


Judul: Misteri Dian yang Padam
Penulis: S. Mara Gd
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 221 hal.
Rate: 5/5

Minggu, 17 Februari 2013

Detektif Wanita: Kinsey Millhone




Kinsey Millhone. Sebuah nama detektif baru bagi saya. Buku karangan Sue Grafton ini sebenarnya cukup menarik jika ditilik dari segi judul. Alphabetical Mistery. Ya, buku-buku Sue Grafton ini judul-judulnya diawali dari huruf-huruf alfabet. Contohnya: A is for Alibi. B is for Burglar, dan lain-lain. Info di Goodreads, buku ini telah mencapai seri ke duapuluh dua, luar biasa!

Kinsey Millhone ini seorang detektif swasta, mantan polisi dan masih tertarik dengan dunia-dunia kriminalitas, makanya ia membuka kantor detektif sendiri. Mengenai kelebihan Kinsey sendiri, dari buku yang saya baca ini saya kurang bisa menangkap kelebihan dan keahlian khasnya, entahlah. Yang agak luar biasa mungkin kegigihannya dalam menyelidiki suatu hal, perjalanan jauh pun ia tempuh demi memecahkan teka-teki, tapi sayang, saya kurang menangkap strategi-strategi yang mungkin ia lakukan dalam memecahkan misteri yang diselidikinya. Oh ya, mungkin ada lagi salah satu kelebihannya, yaitu sedikit beladiri dan menembak, lumayan lah Kinsey. Eh tapi yang terbukti baru beladirinya deng, kalau menembaknya mah cuma pas dia latihan aja.

Cerita di buku ini bermula ketika Kinsey diminta menyelidiki misteri hilangnya seorang janda kaya cantik, Elaine Boldt. Sang pelapor adalah adik dari Elaine, yaitu Beverly. Setelah berjuang dengan cukup susah payah, akhirnya Kinsey mulai menemukan titik terang. Petunjuk-petunjuk yang ada mulai terkuak, dan akhirnya diketahuilah bahwa sebenarnya Elaine tidaklah hilang, tetapi beliau mati terbunuh, dibunuh lebih tepatnya. Namun menjelang kasus ini terkuak, Beverly tiba-tiba membatalkan kontrak mereka dan Kinsey pun dalam persimpangan, apakah kasus ini akan ia lanjut selidiki atau ia cukupkan sampai disini.

Sebuah cerita detektif yang menurut saya kurang detektif. Tidak ada metode khusus dari Kinsey dalam menyelidikinya. Hm, sebelumnya, saya akan menyinggung terlebih dahulu judul terjemahan buku ini. Judul yang menurut saya agak janggal: Misteri Hilangnya Sang Adik. Kenapa janggal? Karena jelas-jelas yang menghilang itu Elaine, kakak dari Beverly, bukan adik! Entah, penerbit sekaliber Dastan bisa keliru sefatal ini. Apakah mungkin gara-gara penyebutan sister di dalam bahasa inggris yang memang mempunyai arti yang lumayan rancu antara kakak atau adik? Hal kedua, mengenai judul aslinya: B is for Burglar. Burglar terjemahan Indonesia bebasnya adalah maling, pencuri. Oh ya, tapi kok di buku ini gak ada sama sekali kejadian curi-mencuri yang sangat dominan. Apakah maksud si penulis mengambil kata “maling” ini untuk seseorang yang “mencuri” identitas seorang lainnya *ups spoiler*, atau hanya sekedar mencari padanan kata yang cocok untuk inisial B? Hanya Tuhan dan penulis yang tahu.

Dari segi cerita, ah... terlalu bertele-tele. Saya tidak menemukan keseruan layaknya saya membaca cerita detektif semisal Gozali di dalam buku-buku karangan S. Mara Gd. Yah, bisa disimpulkan sedikit kalau karya penulis Indonesia lebih seru dibandingkan karya terjemahan, hehe. Membaca buku ini terlalu banyak hal-hal kurang penting yang dibahas. Juga agak banyak hal-hal lain yang kurang jelas juntrungannya. Seperti misal, tiba-tiba Beverly membatalkan kontrak dengan Kinsey. Setelah itu, tak diceritakan lagi kemana Beverly, seolah tiba-tiba saja si adik lepas tangan atas kehilangan kakaknya. Well, memang sih mereka kurang akur, tapi ya setidakpedulinya, pastilah ada kepedulian walaupun sedikit antar-saudara. Tapi disini sama sekali tidak ada.

Jadi, kesimpulan saya adalah kasus di buku ini dapat dibuat lebih simple tanpa harus berputar-putar dan membuat lelah. Yah, bayangkan saja begini. Ending dan klimaks dari buku ini bisa disebut hanya terjadi beberapa halaman saja di akhir buku. Pengungkapan kasus ini, siapa pelaku yang sebenarnya, apa yang terjadi pada Elaine, hanya diceritakan dalam porsi yang sangat tipis dibandingkan dengan ketebalan buku secara umum.

Yah, tetapi lumayan juga menambah khasanah tentang detektif-detektif fiksi yang ada di buku, selain itu, buku ini juga saya baca guna memenuhi tantangan baca bareng yang diadakan oleh @HobbyBuku dalam MisteryReadingChallenge, kalau tidak ada tantangan ini mungkin saja buku ini bakal lebih lama lagi tidak tersentuh. Tapi maaf, hanya dua bintang untuk mbak Kinsey Millhone.


Judul: B is for Burglar
Penulis: Sue Grafton
Penerbit: Dastan Books
Tebal: 320 hal.
Rate: 2/5

Berhenti Bersikap Egois, Please!




Apabila lukisan pertama dan kedua di dalam hidupmu tidak begitu indah, segeralah beranjak dan mulai melukis kembali lukisan ketiga, keempat dan seterusnya, hingga lukisan itu menjadi bermakna, indah, dan penuh dengan kebahagiaan.

Ini tentunya merupakan sebuah kiasan. Lukisan disini merujuk kepada kehidupan dan lembaran yang diwarnai cinta pada diri Natasya, si tokoh utama dalam buku karya Rina Suryakusuma ini. Dua lukisan pertama Natasya hancur berkeping-keping, lukisan pertamanya memang bukan cinta antar sepasang kekasih, tetapi cinta terhadap ayah terhadap anaknya. Ya, Natasya sejak berusia sepuluh tahun telah menjadi anak yang broken home. Ayahnya pergi begitu saja dengan wanita lain, meninggalkan Natasya dengan adik dan ibunya. Tanpa belas kasihan, si ayah melupakan begitu saja keluarga lamanya, terkekang oleh cinta barunya dengan seorang wanita lain. Lukisan kedua Natasya berupa cinta sepasang kekasih. Cinta ini pun berujung kekecewaan bagi dirinya, Edward, sang kekasih hati berpaling dan memutuskan Natasya hanya untuk berhubungan dan berpacaran dengan Dwina, sahabat dari Natasya sendiri. Di buku inilah Natasya harus move on, dan memulai lukisan barunya...

Cerita berawal dari kenekatan Natasya dan sahabatnya untuk melamar menjadi Corissa Girl, yaitu seorang pramugari di maskapai penerbangan Corissa Airlines. Langkah ini diambil Natasya sebagai pelariannya dari Edward, untuk melupakan Edward yang telah mengkhianatinya. Tanpa diduga, kenekatan dan keisengan Natasya berujung manis, dirinya diterima bekerja menjadi seorang pramugari dan harus tinggal di Colorado, Amerika Serikat, demi profesi barunya ini.

Sangat menarik membaca cerita dengan sudut pandang dan latar belakang baru yaitu di dalam dunia kepramugarian. Bagaimana tes yang harus dilakukan Natasya, kepribadian yang harus selalu ceria ketika menjadi pramugari, serta syarat-syarat ketat lainnya untuk dapat menjadi pramugari yang memenuhi kualifikasi, yang diantaranya ialah harus melakukan simulasi ketika pesawat akan mengalami kecelakaan, dimana pramugari harus menjadi orang terakhir ketika aksi evakuasi dilakukan dan harus semaksimal mungkin menekan rasa takutnya demi menjadi seorang pramugari yang baik. Di dalam cerita ini juga seolah pembaca diingatkan, bahwa pramugari merupakan manusia biasa yang mempunyai emosi tersendiri dan seolah hanya menjalani tugasnya yang penuh senyuman demi tuntutan profesinya. Bayangkan saja, dalam situasi apapun pramugari yang baik harus tetap tersenyum dan profesional, tak peduli apa yang sedang dirasakannya di dalam hati kecilnya.

Sambil mejalani profesinya ini, perlahan lukisan ketiga dan keempat Natasya mulai digoreskan. Dengan pilot Corissa dan dengan seorang penumpang tengil yang sama-sama berasal dari Amerika Serikat. Tentunya tidak mudah menjalani kisah cinta sementara kehidupan Natasya sebagai pramugari kebanyakan dihabiskan di udara. Disinilah tantangan dan ujian Natasya sebenarnya dalam pencarian cinta sejati dan pembuatan lukisan yang sempurna.

Cerita cinta yang ditulis di buku ini mungkin terkesan agak picisan dan penuh dengan kepahitan yang bertubi-tubi menimpa Natasya. Namun begitu, lumayan banyak filosofi dan pelajaran yang dapat diambil dari kisah cinta pahit yang terjadi disini. Salah satu pelajaran yang cukup dalam dan dapat diambil hikmahnya yaitu tentang lukisan pertama Natasya dengan ayahnya. Bagaimana langkah yang diambil ketika sang ibu mengetahui bahwa ayah Natasya selingkuh merupakan hal menarik yang dapat dipetik sebagai pelajaran. Di dalam buku, diceritakan bagaimana si ibu langsung menutup pintu hati ketika si ayah ketahuan selingkuh. Si ibu seakan tidak memikirkan hal lainnya dan hanya mengambil langkah yang sesuai egonya, yaitu tidak memaafkan suaminya. Si ibu tidak berpikiran jauh ke depan, bahwa akan ada yang dikorbankan gara-gara sifat egoisnya itu, yaitu anak-anak mereka, alias Natasya dan adiknya. Untungnya, si ibu akhirnya sadar walaupun terlambat untuk mendapatkan suaminya kembali. Setidaknya, si ibu tidak membiarkan Natasya dan adiknya menyimpan dendam yang lebih dalam terhadap ayahnya, karena bagaimanapun, ayah tetaplah ayah bagi mereka.

Dari segi cerita, tema dan topik yang diangkat penulis sungguh sangat menarik dan ringan  untuk dibaca. Hanya sayangnya, terlalu bebasnya pergaulan yang terjadi menjadikan buku ini saya rasa terlalu terbuka. Atau apa ini yang menjadi khas dari genre Amore ini ya? Kehidupan modern dan metropolitan yang sebelumnya kita kenal di dalam genre metropop berubah haluan menjadi Amore ketika ditambahkan adegan-adegan seks di luar nikah serta hubungan cinta antara orang Indonesia dengan orang bule. Inilah yang saya tangkap dari dua buku Amore yang telah saya baca. Pada akhirnya, alasan terakhir inilah yang membuat saya tidak memberikan rate sempurna terhadap buku ini.


Judul: Lukisan Keempat
Penulis: Rina Suryakusuma
Tebal: 224 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Rate: 4/5

Sabtu, 02 Februari 2013

Seperti Menonton Kartun!




Awal melihat judul buku dan covernya, saya pikir Moribito merupakan si wanita bertombak di dalam cover buku ini. Ternyata saya salah, wanita ini ialah Balsa, dengan tombak sebagai senjata andalannya, ia merupakan pengawal bayaran yang siap mati demi melindungi kliennya. Bukan sembarang alasan yang menjadikan Balsa memilih jalan seperti ini. Kenangan buruknya di masa lalu menjadikan dirinya berkaul untuk melindungi dan menyelamatkan delapan nyawa manusia di dalam hidupnya, oleh karena itu dipilihlah pengawal bayaran sebagai profesinya. Apalagi Balsa mempunyai ilmu beladiri yang cukup mumpuni untuk menjadikannya pengawal bayaran yang cukup disegani.

Moribito yang saya kira Balsa pada awalnya ternyata ialah seorang pangeran. Balsa kali ini kebagian tugas untuk menjaga si pangeran ini. Chagum, nama pangeran ini merupakan seorang yang ditimpa “musibah” di dalam hidupnya. Musibah yang menimpanya ini ialah dititipkannya telur sang roh air di dalam tubuhnya oleh sang inang roh. Mengapa musibah? Karena roh air ini harus dipelihara sampai menetas, karena apabila tidak berhasil menetas, maka negeri Chagum tinggal akan dilanda kekeringan hebat. Disinilah tugas Balsa dalam melindungi Chagum dari berbagai macam marabahaya, baik dari kerajaan yang memburunya, sampai kepada Rarunga, si pemakan roh air yang selalu berusaha untuk mencegah roh air ini menetas. Adapun mengapa kerajaan memburu sang pangeran ialah gara-gara kesalahpahaman semata. Pihak raja dan “dewan”-nya (yaitu Para Penafsir Bintang) berpendapat roh yang berada di dalam tubuh Chagum ialah roh jahat, sehingga mau tak mau Chagum harus dimusnahkan guna mencegah si roh jahat tersebut berkeliaran.

Perjalanan Balsa dan Chagum dalam melarikan diri dan mencari kebenaran tentang apa sebenarnya yang berada di dalam tubuh Chagum telah membawa Chagum menjadi sebuah sosok yang lebih dewasa. Dari tadinya pangeran di kerajaan yang tidak tahu apa-apa dan kebutuhannya sangat mudah terpenuhi, kini Chagum harus berjuang untuk bertahan hidup dan mempertahankan hidupnya. Apalagi dengan adanya sang roh air di dalam tubuhnya, makin beratlah beban Chagum dalam menjalani kehidupannya.

Sebuah buku fantasi dari negeri Jepang yang sangat khas negeri Jepang. Ini bisa dibuktikan dari banyaknya istilah-istilah Jepang yang terdapat di dalam buku ini. Entah, apakah legenda penjaga roh air ini benar ada atau tidak, tapi setidaknya pembaca sedikit banyak mengetahui bagaimana kehidupan disana. Dengan pangsa pasar anak-anak, buku ini menyajikan cerita yang ringan dan dongeng banget, mungkin agak mengingatkan kepada cerita-cerita seperti Samurai X dalam hal setting dan latar waktu yang digunakan. Diselingi pertarungan-pertarungan yang “ramah”, buku ini tidak secara tersurat maupun tersirat menyajikan kekerasan-kekerasan yang tidak cocok bagi anak-anak. Jadi diibaratkan apabila anak-anak membaca buku ini, laiknya seperti sedang menonton film kartun Jepang namun dengan adegan-adegan kekerasan yang tidak sadis. Ini yang saya rasakan ketika membaca buku ini, sangat cocok untuk dunia anak-anak. Rentang usia yang saya taksir layak untuk membaca buku ini yaitu sekitar 9 tahun ke atas, walaupun tidak menutup kemungkinan anak-anak di bawah usia tersebut akan pula menyukai jalan cerita yang ada di buku ini.

Buku ini sendiri mendapatkan penghargaan pada tahun 2009 yaitu Batchelder Award. Adapun Batchelder Award sendiri yaitu penghargaan khusus bagi buku-buku cerita anak yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan tetap memperhatikan orisinalitas asal-muasal darimana buku tersebut berasal. Mungkin atas dasar inilah buku ini masih mempunyai istilah-istilah Jepang yang cukup kental di dalam isinya. Saya pikir buku ini memang layak medapatkan award ini, karena sepeti saya bilang di atas, walaupun telah diterjemahkan, buku ini masih Jepang banget, tidak kehilangan identitas negeri asalnya.

Layak dibaca siapa saja, minimal umur 9 tahun, bisa kurang apabila ditemani oleh orang tua dalam membaca dan memahami isi buku ini. Tiga bintang untuk buku ini.


Judul: Moribito - Guardian of the Spirit
Penulis: Nahoko Uehashi
Tebal: 364 hal.
Penerbit: Matahati
Rate: 3/5
Usia Rekomendasi: >9 tahun

====================================================
Buku ini saya baca dan saya review guna memenuhi tantangan membaca kisah-kisah untuk anak-anak yang diadakan oleh Mbak @bzee_why disini