Rabu, 19 Juni 2013

Watson, Holmes, dan Pembuka Amplop

Sebenarnya cerita tentang temanku ini agak rahasia. Bukan apa-apa, dalam kasus kali ini Holmes "membohongi" aku sedemikian rupa, ia berhasil membuat aku keki. Aku pun terkadang malu sendiri ketika membaca kisah ini, tetapi apa boleh buat, akhirnya kisah ini memang harus diceritakan kepada pembaca, tak perduli bagaimana perasaanku, melalui kisah yang aku ceritakan ini aku sekaligus ingin mengenang Holmes sebagai seorang detektif sekaligus sahabat yang hebat, terutama untukku.

Cerita ini bermula ketika aku berkunjung ke Baker Street di saat aku sedang bebas tugas karena memang jadwal praktikku sudah selesai beberapa jam yang lalu. Seperti biasa, aku dikejutkan dengan tingkah laku Holmes yang memang agak unik, kali ini ia sedang membaca sebuah buku dengan gaya yang benar-benar tidak masuk akal, kepala di bawah, kaki di atas.

“Oh temanku Watson, sudah kuduga kau akan datang hari ini,” ia menyapaku sambil memperbaiki posisi bacanya ke posisi yang normal.

“Darimana kau tahu?” Aku tahu pertanyaanku ini konyol, maka aku langsung bertanya lagi sebelum ia menjawab, “omong-omong, buku apa yang kau baca itu?”

Sambil berdehem ia menjawab, “akan kuceritakan Watson, sebuah kasus unik yang melibatkan alat pembunuh yang juga unik, alat pembuka amplop!”

Aku pun kebingungan, karena aku memang belum tahu seperti apa alat pembuka amplop tersebut. Belum sempat aku berbicara, dia langsung menyela dengan mengambil laptop-nya dan langsung googling dengan kata kunci “Alat Pembuka Amplop”.

“Alat ini yang kumaksud, temanku, bukankah cukup mengerikan untuk dipakai menikam seseorang yang kau benci setengah mati?” Ia menunjukkan sebuah gambar.



Aku pun menggeleng, “baru tahu aku, ayo ceritakan selengkapnya Holmes, jangan membuat penasaran!”

“Baiklah dokter, seperti biasa kau memang selalu tak sabaran. Kita mulai dahulu dengan siapa-siapa yang terlibat di dalam kasus ini. Pertama, Luana Awanti, ia seorang...” belum selesai ia bicara, aku keburu menyela, “tunggu Holmes, nama apa itu Luana? Terdengar asing untuk nama seorang Inggris.”

“Kisah ini terjadi di Indonesia teman, tolong jangan banyak tanya dahulu.”

“Tapi kapan kau ke...” kali ini giliran dia yang menyelaku, “mau aku ceritakan tidak? Diamlah sejenak Watson!”

Aku pun terdiam dan mengangguk.

“Baiklah aku lanjutkan. Luana Awanti ini seorang gadis muda yang telah ditinggal ayahnya semenjak ia lahir. Hidup berdua dengan ibunya dalam keadaan miskin dan dengan sang ibu dalam kondisi yang sakit-sakitan, ia harus siap ketika sewaktu-waktu ibunya dipanggil oleh yang Maha Kuasa karena sakitnya yang semakin parah. Suatu hari, hal itu pun terjadi, ibunya meninggal dunia. Hanya satu hal yang ia wariskan kepada Luana, ia memberitahu Luana sebuah hal penting, hal yang sangat penting sebenarnya. Ibunya memberitahu bahwa sebenarnya ayah dari Luana masih hidup, dan ia adalah Prayogo Iksan, seorang jutawan yang mempunyai perusahaan sendiri. Seorang lelaki yang telah mempunyai seorang istri dan tiga orang anak yang hampir sebaya dengan Luana. Prayogo Iksan sendiri tidak mengetahui jika ibu Luana sedang mengandung ketika ia akhirnya lebih memilih istrinya daripada ibu dari Luana.

“Singkat cerita, karena penyesalannya, Prayogo Iksan pun menerima Luana di rumahnya dengan tangan terbuka. Tetapi sayangnya, gara-gara kedatangan Luana, suasana di ruman Prayogo Iksan menjadi tidak kondusif. Lilik, istri dari Prayogo Iksan dan Yana, anak kedua dari Prayogo Iksan sangat memusuhi Luana dan tidak menyukai kehadiran Luana di rumah mereka. Hanya Ardian, putra tertua Prayogo Iksan yang menyambut Luana dengan tangan terbuka, sementara Yanti, si bungsu memilih untuk mengikuti jejak Yana dan Lilik, meskipun tidak secara frontal karena Yanti pada dasarnya memang pendiam.

“Luana kemudian meminta Prayogo Iksan untuk ikut bekerja di perusahaannya karena ia tidak betah hanya berdiam diri di rumah. Di tempat inilah Luana berkenalan dengan Pak Joko yang berusia dua kali lipatnya yang diam-diam mencintainya. Untuk meningkatkan kemampuannya, Luana memutuskan untuk mengikuti kursus komputer, tak jarang ia diantarjemput oleh Pak Joko ke tempat kursusnya. Sebenarnya, dengan mengikuti kursus ini Luana agak sedikit diuntungkan, karena secara tidak langsung ia akan pulang agak malam dan menghindarkannya dari bertatap muka dengan Lilik dan Yana ketika sampai di rumah.

“Sampai suatu hari, ketika Prayogo Iksan sedang mengurus surat-surat untuk mensahkan status Luana sebagai anak kandungnya, terjadilah peristiwa tragis itu. Prayogo Iksan yang berada di dalam kamar kerja di rumahnya terbunuh secara tragis, ada orang yang menikamnya dari belakang! Lilik dan Yana ketika kejadian sedang berada di rumah, sementara Yanti sedang di toko buku dan Ardian sedang bermain tenis. Adapun Luana, ketika bapaknya terbunuh ia sedang berada di tempat kursus dan akan menonton bioskop bersama Pak Joko. Dari penyelidikan polisi, diketahui bahwa alat pembuka amploplah yang digunakan untuk membunuh Prayogo Iksan. Itulah sebabnya aku menunjukkan alat pembuka amplop ini kepadamu Watson.

“Posisi Luana yang makin terjepit di rumah itu membuat penyelidikan buntu karena Luana ngotot untuk meninggalkan rumah itu. Untung saja setelah dibujuk, Luana bersedia kembali ke rumah Prayogo Iksan guna menjebak si pelaku pembunuhan yang sebenarnya. Selang beberapa hari, diketahui bahwa alat pembuka amplop tersebut hanyalah sebagai pengecoh saja, karena alat yang dipakai untuk membunuh Prayogo Iksan adalah sebuah pisau yang kedua sisinya tajam. Dari hal itulah akhirnya si pembunuh dapat diketahui, bingo!

“Begitulah Watson, sebelum memutuskan suatu perkara, siapa yang menjadi pembunuh, semua hal harus kita perhitungkan, bahkan yang tidak mempunyai alibi sekalipun.”

Aku yang penasaran mengenai siapa si pembunuh sebenarnya kemudian memaksa Holmes untuk mengatakannya. Tapi dengan terbahak ia hanya menjawab, “tidak seru apabila aku katakan Watson. Bacalah sendiri buku ini, kau akan merasakan sensasinya.”

Aku pun mengalah, “oke Holmes, baiklah. Berikan aku buku itu, biar aku membaca sendiri kisahmu itu.” Kurebut buku itu dari tangannya dan mulai kubaca sekilas.

“Tunggu Watson, sepertinya kau salah paham...”

Tanpa mengacuhkannya, aku mencerocos sendiri, “hm, alur yang oke, berurutan dari awal hingga akhir bahkan tiap bab ada tanggalnya sendiri-sendiri. Kau tahu saja kalau aku tidak nyaman membaca buku yang mempunyai alur yang maju mundur Holmes.”

“Tapi...,” Holmes mencoba menyelaku.

Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, aku mulai berbicara lagi, “omong-omong lagi, tumben sekali kau membukukan kisahmu sendiri Holmes, biasanya kau paling malas dalam melakukan hal seperti ini dan selalu mengandalkanku untuk membukukan kisah-kisahmu. Mungkin ini sebuah perkembangan yang baik buatmu apabila suatu saat aku yang meninggalkanmu terlebih dahulu kelak.”

“Tapi...,” Holmes mencoba menyelaku lagi.

Aku memotongnya lagi, “jadi, kapan sebenarnya kau mengunjungi Indonesia tanpa mengajak sahabatmu ini Holmes?”

Ia pun terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Terang saja ini membuat aku kaget. Beberapa menit kemudian setelah tawanya berhenti, ia pun menjelaskan sambil tersenyum, “bacalah dengan jelas Watson, buku itu bukan bercerita tentang aku, dan bukan aku yang memecahkan kasus itu. Ini adalah kisah temanku dari Indonesia, Kapten Polisi Kosasih dan Gozali, seorang mantan narapidana yang membantunya. Sebenarnya Gozali-lah yang memecahkan kasus ini, ia detektif yang hebat Watson!”


Kubuka buku itu, dan memang aku menemukan nama Gozali-lah yang menjadi tokoh utama pemecah kasus pembunuhan ini. Sambil melemparkan buku itu ke wajah Holmes, aku pun bergegas meninggalkan Baker Street, meninggalkan Holmes yang mulai lagi tertawa terbahak-bahak.




Judul: Misteri Alat Pembuka Amplop
Penulis: S. Mara Gd
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 1991
Tebal: 424 hal.
Rate: 5/5

2 komentar:

  1. Wah..malah jadi fanfic-nya Sherlock. Keren!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh, jadi malu, hihi..,
      Makasih mbak sayangnya gagal menang src :'(

      Hapus