Tampilkan postingan dengan label SRC2013. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SRC2013. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 14 Desember 2013

The Enchantress; The End of the Flamels



Pernah “segitunya” membaca sebuah novel hingga kamu kemudian browsing / googling, atau apapun namanya guna mengecek apa-apa yang ada di buku yang barusan kamu baca? Buku yang saya baca ini menimbulkan efek seperti itu. Pertama terbit tahun 2008, seri pertama kisah Nicholas Flamel karangan Michael Scott ini mampu membuat saya sedikit belajar tentang mitologi, pahlawan masa lalu, hingga sejarah dan benda-benda kuno lainnya. Kali ini, yang saya baca ialah seri keenam dari buku ini, kisah pamungkas, sebuah buku yang terbit pertengahan 2013 di Indonesia dan diterbitkan oleh sebuah penerbit yang akan menjadi legenda, Matahati. Buku yang saya baca ini berjudul: The Enchantress.

Apa sebenarnya yang membuat saya “segitunya”? Ya itu tadi, perpaduan antara mitologi, sejarah, pahlawan / manusia legenda masa lalu, sci-fi, dan fiksi, membuat saya penasaran terhadap tokoh-tokoh yang ada di buku ini. Oke, pertama-tama tentunya pasangan Nicholas dan Perenelle Flamel. Pasangan ini dikabarkan sebagai pasangan abadi dan masih hidup hingga sekarang. Hal ini berdasarkan fakta bahwa makam keduanya di Paris sana ditemukan kosong melompong! Manusia abadi, itulah pasangan Flamel ini disebut, tetapi apakah hanya mereka saja manusia abadi di dunia ini? Nah, inilah yang membuat buku ini menarik. Dr. Dee, penasihat King Arthur di masa lalu, Niccolo Machiavelli (Italiano, penulis buku juga), Comte de Saint-Germain (namanya diabadikan menjadi klub sepakbola Paris St. Germain), Billy the Kid (penjahat Amerika paling termasyhur), Niten (alias Miyamoto Musashi) dan William Shakespeare-Joan of Arc (siapa yang tak kenal mereka berdua?) adalah beberapa manusia abadi lainnya yang dibuat oleh Michael Scott. Mungkin akan biasa saja jika kisah ini hanya seputar manusia abadi, makanya itu, Michael Scott membuat tokoh-tokoh lain yang disebut Tetua yang berdasarkan legenda dan mitologi-mitologi dunia. Hekate (dewi tiga usia), Bastet (dewi kucing), Morrigan (dewi gagak), Isis, Osiris, Prometheus, Anubis, Aten, dan lain-lain “dihidupkan” oleh Scott guna ikut berperan dalam buku ini. Coba saja browsing, pasti akan ada topik yang “nyangkut” ketika menulis nama-nama itu.

Scott sendiri mengakui, bahwa tokoh fiksi yang ia buat tak berdasarkan legenda hanyalah Josh dan Sophie Newman, si kembar tokoh utama buku ini. Pasangan kembar ini hidupnya berubah 180 derajat ketika mereka bertemu Flamel. Mereka ditasbihkan sebagai pasangan emas dan perak, yaitu pasangan legendaris yang diceritakan di sebuah codex ciptaan Abraham sang Magi (codex yang juga berisi petunjuk bagaimana cara mengubah batu menjadi emas), yang akan ditakdirkan sebagai Satu yang menghancurkan dunia, dan Satu yang menyelamatkan dunia.

Buku keenam ini sendiri terbagi menjadi dua seting utama, San Fransisco di masa kini, serta Danu Talis di sepuluh ribu tahun yang lalu. Di San Fransisco, pasangan Flamel yang usianya tinggal satu hari berjuang keras guna mencegah monster-monster mitologi (seperti sphinx, unicorn, nereid, dan lain-lain) yang dikurung oleh Dee di pulau Alcatraz menyerang dan menghancurkan San Fransisco. Sementara itu, di Danu Talis, si kembar disuguhi fakta mencengangkan tentang kedua orang tua mereka. Si kembar pun makin dekat dengan takdir mereka yang tentang satu yang menghancurkan dan satu yang menyelamatkan dunia.

Dengan tiap bab yang selalu berbeda cerita, para pembaca digiring untuk menikmati buku ini dengan penuh konsentrasi. Ya, cerita buku ini tidak melulu di San Fransisco selama beberapa bab berturut-turut, atau di Danu Talis secara berurutan. Bahkan, walaupun settingnya hanya di dua tempat, ada banyak sudut pandang tokoh yang bercerita di sini. Agak membingungkan, tetapi ini yang membuat cerita ini menarik. Apalagi, di buku terakhir ini fakta-fakta mulai terkuak dan jalan cerita menjadi jelas. Endingnya sendiri menurut saya mengejutkan, walau agak menggantung. Meskipun begitu saya tetap puas, karena pada akhirnya semuanya telah terungkap dengan jelas dan saling berkaitan. Dan yang paling penting, tak ada manusia yang benar-benar jahat di buku ini, karena di setiap manusia yang jahat pasti tetap menyimpan kebaikan.


Oya, ada lagi hal menarik yang membuat saya jatuh cinta kepada serial ini. Hal itu ialah perbincangan-perbincangan ringan, bahkan konyol di antara tokoh-tokohnya. Salah satu contoh ialah ketika St. Germain berbincang-bincang dengan istrinya, Joan of Arc, tentang rencananya menciptakan sebuah lagu gara-gara ia terinspirasi ketika sedang terbang dengan vimana (sejenis piring terbang) menuju pertempuran di piramida rata. Ada lagi, ketika Billy the Kid dan Elang Hitam membahas tentang nama dari capit kepiting, padahal ketika itu mereka dalam bahaya dan sedang menghadapi serangan dari seekor kepiting raksasa, sempat-sempatnya. Hal-hal seperti ini pula yang membuat saya tak ragu untuk memberi lima bintang.


Judul: The Enchantress (Flamel #6)
Penulis: Michael Scott
Tebal: 634 hal.
Penerbit: Neo Matahati
Tahun Terbit: 2012 (1st) / 2013 (terjemahan)
Rate: 5/5

Jumat, 29 November 2013

Dimas Suryo & Lintang Utara (ingin) Pulang



Buat kalian, dan terutama saya yang hidup di zaman Orde Baru, tentunya merasakan betul bagaimana doktrin yang dijejalkan oleh pemerintah di masa itu tentang Partai Komunis Indonesia (PKI). Tak tanggung-tanggung, bahkan peristiwa G30S yang lekat dengan PKI pun di-dioramakan di Lubang Buaya sana. Bagi saya pribadi, doktrin itu merasuk kuat ke dalam pikiran saya, bagaimana saya merasa ngeri terhadap PKI, bahkan pernah terbayang juga apa yang terjadi apabila dahulu kala PKI itu sukses berkuasa di Indonesia, tentunya bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang tak beragama, dan berpaham komunis. Itulah pandangan saya tentang komunis, suatu paham tak memercayai Tuhan, entah, pandangan saya benar atau tidak.

Mengapa saya begitu larut terhadap doktrin tersebut? Bayangkan saja, cerita-cerita yang dijejalkan kepada anak-anak di zaman itu sangatlah mengerikan. Bagaimana PKI dan antek-anteknya menyiksa para jendral besar negara ini, memutilasi tubuhnya, menyilet-nyilet bagian wajahnya, hingga pembuangan mayat-mayat para pembesar itu ke dalam sebuah lubang yang dinamakan Lubang Buaya. Itu pandangan saya, bisa jadi juga sama dengan beberapa rekan sekalian. Belum lagi, setiap tahun di tanggal 30 September pasti ditayangkan film mengenai G30S/PKI, ada nonton barengnya segala pada waktu itu. Pelajaran-pelajaran sejarah pun mendoktrin bahwa PKI ini berbahaya.

Pulang, sebuah novel fiksi yang berlatar kejadian non-fiksi G30S/PKI merupakan buku yang saya baca untuk SRC 2013 kategori pemenang/nominator KLA (Khatulistiwa Literary Award). Novel ini menceritakan tentang para eksil (buronan politik) yang berada di luar negeri pada medio tahun 60-an. Para eksil ini secara tak sengaja selamat dari tangkapan tentara Indonesia yang sedang gencar-gencarnya menangkapi orang-orang yang terlibat dalam organisasi PKI. Para eksil ini yaitu Dimas Suryo, Nugroho, Tjai dan Risjaf sedang berada di luar negeri ketika pergolakan besar terjadi di tanah air, mereka sedang dalam sebuah acara yang berkaitan dengan tempat mereka bekerja yaitu sebuah surat kabar yang beraliran “kiri”. Mereka yang memang asli warga Indonesia akhirnya terjebak di luar negeri tanpa bisa pulang ke negeri asal padahal mereka sendiri tidak merasa “kiri”, dan hanya menjadi korban kebiadaban politik saja.

Setting buku ini tak hanya tahun 60-an, ada satu lagi peristiwa penting bangsa Indonesia yang dibahas di buku ini, yaitu reformasi 1998. Kali ini keempat eksil yang tadi diceritakan sudah sukses mendirikan restoran becitarasa tanah air di Prancis sana. Sudut pandang cerita beralih kepada Lintang Utara, yitu anak dari Dimas Suryo hasil pernikahannya dengan seorang gadis Prancis. Lintang ini, yang terkena imbas “kiri” dari ayahnya tanpa sengaja terlibat tugas akhir kuliah dengan tema Indonesia, negara asal ayahnya. Dengan perjuangan yang berat, akhirnya Lintang berhasil masuk ke Indonesia walaupun situasi politik sedang panas-panasnya, mirip ketika zaman ayahnya dahulu di medio tahun 60-an.

Sebuah pelajaran penting saya peroleh dari buku ini. Bagaimana imbas “kekirian” begitu sulit hilang dari merkea yang orangtuanya terlibat dalam peristiwa yang terjadi di tahun 60an. Padahal, belum tentu juga anak-anak serta keturunan berikutnya dari anggota PKI ini juiga beraliran kiri. Bagaimana pengaruh dan perlakuan Orde Baru kepada mereka memang sangat memuakkan. KTP ditandai ET (Eks Tapol), bahkan persyaratan-persyaratan  ketat apabila mereka-mereka ini ingin memasuki diunia kerja yang memegang peran strategis seperti di pemerintahan atau posisi-posisi penting lainnya. Bahkan tak jarang keturunan “kiri” ini tak mendapat pekerjaan yang layak akibat gelarnya tersebut. Leila S. Chudori, sebagai penulis buku ini, secara cerdas menceritakan bagaimana keluarga tapol ini menjadi kaum yang terisolir akibat peristiwa G30S/PKI, dan menutup cerita di buku ini dengan sebuah peristiwa yang tak kalah penting, yaitu reforemasi 1998, yang juga sebagai pembuka jalan untuk para tapol ini kembali menghirup udara segar tanpa embel-embel ET lagi.

Terkesan berta memang apabila hanya membaca sekilas review-review pembaca buku Pulang ini, tapi saya berani menjamin bahwa buku ini sama sekali tidak berat. Buku ini tak hanya sekedar berorientasi pada dunia politik, tetapi banyak juga cerita cinta yang terjadi, bahkan cerita tentang dunia kuliner disajikan pula disini. Memang, masih banyak hal-hal yang masih menggantung mengenai tokoh-tokoh di buku ini, tapi hal tersbut dapat dimaafkan dengan pengemasan cerita yang apik. Satu hal lain yang unik, yaitu mengenai penokohan. Tokoh yang terlibat disini walaupun tidak begitu banyak namun dijelaskan secara mendetail satu-persatu, bahkan tak jarang setiap bab menceritakan tokoh dan sudut pandang yang berbeda, sehingga kita para pembaca seolah bisa merasakan apa-apa yang dirasakan tokoh-tokoh di dalam novel ini secara lebih dekat.


Buku ini sendiri ternyata berhasil menjadi pemenang KLA tahun 2013 kategori prosa. Memang, banyak kontroversi menyertai kemenangan buku ini terutama yang berkaitan dengan independensi juri, namun saya sebagai pembaca awam merasa buku ini cukup layak untuk memenangkan penghargaan ini, karena jalan cerita yang unik, lintas zaman, serta menyoroti dua peristiwa penting di Indonesia yang berkaitan dengan nasib para orang-orang yang dianggap “kiri”. Lima bintang.


Judul: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Tebal: 464 hal.
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: 2012
Rate: 5/5

Minggu, 22 September 2013

Arab Saudi dalam Pengalaman @Vabyo




Sebelum masuk ke dalam sebuah review tentang buku Kedai 100 Mimpi karya dari Valiant Budi, ada baiknya sejenak kita bersantai melepas lelah dan penat dengan permainan tebak kalimat. Mudah saja, tebak, mana bahasa Sunda mana bahasa Tagalog, pertanyaan-pertanyaan ini saya ambil dari halaman 82 buku ini.


1.       Noong nakarang ay ipinagdiwang ang karawan
2.       Noong parawan aya dina lawang keur nahan papang
3.       Idinagdag niya na ito ay likas na pangailangan ng isang lalaki
4.       Huntu sim kuring meuni galing kitu kawas kapiting dahar beling
5.       Patepang nepi kayang katinggang si engkang anu paling galing
6.       Ang una kong pinagukulan ng pangsin
7.       Har ari sia lamun heuay siga munding jeding
8.       Tong noong aing lamun embung ditampiling


Saya haqqul yakin, yang mengerti bahasa Sunda pasti ngakak abis baca kalimat-kalimat ini. Seperti pengalaman saya, hampir saja tak bisa menahan tawa ketika membaca ini di angkot. Sudah tertebak mana yang bahasa Sunda mana yang bahasa Tagalog? Saya yakin mayoritas pasti bisa menjawabnya.

Oke, kalian mungkin berpikir bahwa buku ini bercerita tentang perjalanan atau traveling ke Filipina dengan melihat paragraf di atas, tetapi sayang sekali, kisah buku ini bukanlah di Filipina, tetapi di Arab Saudi. Bisa dibilang ini adalah sebuah memoar dan kisah nyata dari Valiant Budi alias @vabyo, kisah hidupnya ketika menjadi TKI di sana, tepatnya ketika menjadi barista merangkap tukang bersih-bersih di sebuah coffee shop bertaraf internasional dengan “daleman” dan “kelakuan” yang sangat tidak mencerminkan kualitas dan pelayanan internasional. Dari cover buku ini sih ketebak ya dimana Valiant bekerja, tapi entah tebakan saya ini benar atau salah, soalnya seperti telah saya bilang, kualitas dan pelayanannya seperti yang telah dibuka oleh Valiant sama sekali tidak mencerminkan hal itu. Hubungan buku ini dengan Tagalog dan Filipina ialah gara-gara banyaknya orang-orang Filipina yang bekerja di sana. Bahkan, penulis seringkali salah mengira orang-orang Filipina itu sebagai orang Indonesia karena kesamaan fisik dan tampang, inilah alasan penulis membuat tebak-tebakan kalimat seperti di atas. Di samping itu, kemiripan bahasa Sunda dan Tagalog juga menginspirasinya untuk menulis hal itu.

Bercerita dengan sudut padang orang pertama, Valiant seolah berbicara kepada pembacanya mengenai kisahnya yang bisa dibilang tidak sesuai harapan. Seperti judul dari buku ini, kedai yang tadinya berisikan 1001 mimpi bagi penulis perlahan berubah menjadi neraka baginya. Angan-angannya untuk hidup enak dan mewah di Timur Tengah berbalik 180 derajat, entah itu dari segi pekerjaannya, lingkungannya, maupun dari faktor cuacanya. Pekerjaan yang diperoleh Vabyo ini bermula dari impian penulis untuk traveling ke negeri-negeri Timur Tengah yang salah satunya ialah Arab Saudi. Sambil bekerja, Vabyo mungkin berangan-angan untuk sekalian menulis tentang dunia Timur Tengah yang sebenarnya, bahkan mungkin juga berangan-angan untuk sekalian mendekatkan diri kepada Tuhannya. Angan-angan tinggal angan-angan, dari segi pekerjaan banyak hal yang tidak sesuai  dengan ekspektasinya, mulai dari atasan yang seenaknya, hingga pekerjaan yang tidak sesuai tertera dengan kontrak. Tak pernah sebelumnya bahwa Vabyo akan berhadapan dengan sapu, pel dan tetek bengek alat kebersihan lainnya. Di pikiran penulis, hanya membuat kopilah tugas dan pekerjaan dari barista ini, namun ia salah. Dari segi lingkungan, sulitnya mencari teman sebangsa dan seperjuangan membuat masa adaptasi penulis menjadi masa-masa paling menyedihkan bagi dirinya. Untungnya, perlahan-lahan Valiant menemukan teman-teman sebangsanya, yang setidaknya berbahasa sama dengannya, juga senasib sepenanggungan, sehingga masa-masa bekerja Valiant menjadi agak lebih menyenangkan dibanding sebelumnya. Apalagi, banyak pengalaman-pengalaman seru dari teman-teman Indonesia lainnya, pengalaman yang mencengangkan, yang tak pernah diduga akan terjadi di dunia Arab.

                Buku ini bukan untuk yang berpikiran sempit dan mainstream – Djaycoholyc, Moderator Kaskus, Rate 3 bintang
Pemuja bangsa Arab (saya pernah punya pengalaman -___- ) lebih baik tak usah membaca buku ini, bukan apa-apa, kalau pikiran sempit dan mainstream, pasti bakal mengira dan langsung menuding bahwa buku ini memang sengaja untuk menjelek-jelekkan bangsa Arab (baca: Islam). Penulis pun sempat menceritakan pengalamannya diteror pengunjung blognya ketika menulis kisahnya ini di blognya. Bukan hanya itu, teror menjelang buku ini terbit pun banyak terjadi. Entah, apakah itu yang dinamakan fanatisme sempit, sehingga sampai sebegitunya menghalang-halangi kenyataan yang ingin dibeberkan secara sebenar-benarnya.
                Buku yang membawa pembaca ke alam Arab Saudi yang sesungguhnya – Agustinus Wibowo, Penulis, Rate 5 bintang
Arab Saudi bukan hanya Mekkah, Madinah, dan Jeddah. Masih ada kota-kota lain yang tak kalah pesonanya dengan ketiga kota tersebut. Selain pesona, kenali pula alam Arab Saudi yang bisa disebut ganas karena cuacanya yang sangat panas ketika musim panas, dan sangat dingin ketika  musim dingin. Kenali pula masyarakat Arab Saudi yang begitu mengagungkan warga lokal dan memandang rendah bangsa asing. Yang paling penting, kenali pula apa yang berada di balik cadar dan sorban para penduduknya, karena seperti pepatah terkenal yang mengatakan: Don’t Judge The Book By Its Cover. Inilah Arab Saudi yang sesungguhnya.
                Bekal untuk para calon TKI yang ingin bekerja di Arab Saudi – e.c.h.a., Moderator Goodreads Indonesia, Rate 3 bintang
Yup, mungkin banyak yang seperti Vabyo yang mempunyai angan-angan untuk bekerja di luar negeri, termasuk di Arab Saudi. Selain banyaknya kabar-kabar miring tentang nasib para TKI yang bekerja di sana di berita-berita sehari-hari, ada baiknya pula membaca kisah dan pengalaman para TKI ini dari sudut pandang si TKI sendiri, salah satunya di buku ini. Karena media, seperti kita ketahui adalah sudut pandang ketiga, dimana mereka hanya mengabarkan berita yang ada tanpa mengetahui sebab jelas apa latar belakang kejadian-kejadiann tersebut.
                Arab undercover, bahwa sebenarnya ras pilihan itu tidak ada – Alluna, Kaskus Books Enthusiast, Rate 4 bintang
Inilah, mungkin gara-gara bangsa Arab menganggap bangsanya adalah ras pilihan. Ras yang di sana diturunkan agama Islam, sehingga membuat mereka menjadi terlena dan keblinger sendiri. Padahal seperti kita ketahui bersama, bahwa derajat manusia di sisi-Nya dilihat dari iman, dan amal perbuatannya,apa yang mau dibanggakan dari sebuah ras yang katanya pilihan namun tidak tercerminkan dari perbuatannya sehari-hari? Semoga saja mereka menyadari hal ini sehingga tak ada lagi kabar berita buruk mengenai nasib TKI di Arab Saudi sana.
                Salah satu buku terbaik yang saya baca tahun ini (2013) – Ren, Aktivis Blogger Buku Indonesia, Rate 4 bintang

Tak bisa lebih setuju daripada ini, walaupun agak telat membaca. Sedikit typo yang ada menjadi tidak masalah ketika membaca kisah yang menarik yang mengalir, yang diceritakan secara enak oleh Vabyo. Lima bintang untuk buku ini.


Judul: Kedai 1001 Mimpi
Penulis: Valiant Budi
Tebal: 444 hal.
Penerbit: Gagas Media
Tahun Terbit: 2011
Rate: 5/5

Jumat, 30 Agustus 2013

Tentara Juga Manusia



Pernah terpikirkan mengapa tentara harus menjalani latihan yang berat, dengan beban yang berat pula? Sebelumnya saya juga tak pernah berpikir jauh kesana, sampai kemudian saya membaca salah satu buku yang masuk list 1001 Books You Must Read Before You Die, sebuah buku dengan tema peperangan, tema yang juga sesuai dengan tantangan SRC bulan Agustus 2013 dan baca bareng buku bersama komunitas BBI. Jadi, apa jawaban pertanyaan di atas? Sebentar, sebelumnya saya akan memperkenalkan buku yang saya baca, judul buku tersebut adalah The Things They Carried, penulisnya ialah Tim O’Brien, beliau merupakan alumni prajurit Amerika Serikat yang berperang di Vietnam. Perang Vietnam, sebuah perang yang terkenal dan legendaris antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, dengan ditunggangi oleh masing-masing pihak yang sok punya kepentingan, salah satunya Amerika Serikat ini. Dari judul buku ini seolah yang dibahas di buku dengan ketebalan 338 halaman ini hanya seputar barang-barang yang para tentara bawa ketika berperang, tetapi sebenarnya buku ini berisi kumpulan cerita pendek tentang perang Vietnam, tepatnya tentang hal-hal di belakang layar yang terjadi ketika perang Vietnam, jadi buku ini tak membahas perangnya secara membosankan, tetapi membahas hal-hal yang berada di balik perang tersebut. Kembali ke pertanyaan di atas, jawaban dari pertanyaan ini dapat diketahui di bab pertama buku ini. Tahu dong apa saja bawaan utama tentara? Ya, senjata, perlengkapan perang sampai hal-hal remeh-temeh yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Nah, jangan pikir senjata-senjata dan perlengkapan perang yang dibawa itu ringan, maka disinilah perlunya latihan berat dilakukan oleh para tentara tersebut. Jangan salah, bahkan di antara perlengkapan-perlengkapan perang tersebut ada yang dibawa secara bergantian oleh para tentara saking beratnya bawaan mereka tersebut. Setelah pertanyaan tersebut terjawab, ternyata masih ada hal-hal yang dibawa oleh para tentara tersebut, seperti disebut sebelumnya, barang-barang itu merupakan hal-hal yang remeh-temeh bahkan konyol! Ternyata, tak hanya orang Indonesia yang memercayai klenik, tentara Amerika pun demikian, bayangkan saja seorang tentara ada yang membawa foto pacarnya sampai stoking kekasihnya! Bahkan, mereka menggunakan barang-barang tersebut sebagai jimat, terdengar menarik bukan? Apabila jimat-jimat tersebut belum cukup mencengangkan, lihat bawaan lain mereka:  alkitab, makanan ringan (seperti M n M’s), bahkan komik! Ternyata, tentara juga manusia, di balik kesangaran mereka masih terselip kasih sayang dan kebutuhan akan hiburan.

Tidak hanya tentang seputar perang Vietnam, penulis pun menceritakan kehidupan tentara-tentara tersebut sebelum dan pasca perang Vietnam. Contohnya saja si penulis sendiri, ia adalah lulusan SMU yang pintar, namun wajib militer yang diadakan oleh pemerintah mengharuskannya mengikuti perang Vietnam ini. Padahal, di hati kecilnya, si penulis tidak mendukung langkah Amerika ini dalam mencampuri urusan dalam negeri Vietnam. Bahkan, ia mempunyai pemikiran yang memang masuk akal, mengapa tidak orang-orang yang mendukung ikutcampurnya Amerika saja yang berangkat berperang, mengapa mesti melibatkan orang-orang yang hanya ingin hidup damai guna ikut berperang, sungguh sangat tidak masuk akal. Itu adalah salah satu contoh tulisan tentang sebelum perang, ada pula kisah tentang hal pasca perang, bagaimana para prajurit yang telah terbiasa hidup bergerilya dan dekat dengan maut mengalami kebosanan ketika perang berakhir, ya, karena para prajurit ini bukan tentara “beneran”, tak sedikit alumni perang Vietnam yang justru stres dan hidup menggelandang setelah perang selesai, mereka tak tahu harus berbuat apa, mengingat lapangan pekerjaan yang ada pun hanya untuk pekerjaan yang serabutan. Di bagian ini saya melihat cermin dari atlit-atlit yang di masa mudanya membela Indonesia namun terlunta-lunta ketika telah pensiun. Sama-sama kurang kepedulain dari pemerintah.

Hal lain yang dibahas di buku terbitan Serambi ini ialah bagaimana para prajurit mengusir kebosanan ketika sedang tidak berperang. Ada sebagian tentara yang bermain lempar-lemparan bom berkekuatan rendah, ada pula tentara yang “gila” yaitu tentara-tentara yang ber-halloween ria dengan cara mengetuk rumah penduduk sedangkan ia bertelanjang bulat dan tak segan menjarah isi dari rumah penduduk tersebut, sungguh absurd. Kisah-kisah tragis pun tak luput untuk diceritakan di buku yang terbit pada tahun 1990 ini. Memang, yang namanya perang pastinya memakan korban, tetapi tidak semua korban perang meninggal gara-gara peperangan, contohnya saja, ada salah seorang rekan penulis yang bernama Kiowa, ia tewas dalam lumpur yang berisikan tinja! Ceritanya begini, pasukan Amerika memutuskan untuk berkemah di sebuah lapang yang luas, tanpa mereka ketahui, sebenarnya lapangan itu merupakan ladang tinja bagi penduduk Vietnam kala itu. Mungkin kalia bertanya-tanya, kok ada sih ladang tinja? Jangan lupa, setting di buku ini yaitu pada sekitar tahun 1970-an ketika terjadi perang Vietnam. Sebab dahulu masyarakat belum terlalu peduli pula pada kesehatan, maka seenaknyalah lapangan tersebut dijadikan toilet umum raksasa. Nah, lapangan yang tadinya kering kerontang, berubah menjadi lautan lumpur (yang tentunya berisi tinja campur lumpur) ketika sialnya pada malam itu terjadi hujan badai. Lebih sial lagi, Kiowa tertembak oleh tentara Viet Cong tanpa bisa diselamatkan rekan-rekannya. Makin sial ketika ia malah terhisap lumpur yang berisikan tinja tersebut dengan sukses, tanpa mampu tertolong lagi nyawanya. Masih banyak kisah-kisah yang di luar nalar kita terutama yang awam dengan medan peperangan di dalam buku ini, ada pula kisah tentang seorang tentara yang berhasil mendatangkan kekasihnya ke medan perang di Vietnam ini, luar biasa bukan? Sayangnya kisah tentara ini berakhir agak tragis karena si wanita akhirnya ikut terjerumus dalam dunia peperangan dan menjadi wanita yang sama sekali berbeda dari sebelumnya.

Kumpulan cerita dari Tim O’Brien ini sangat layakk masuk list 1001 Books You Must Read Before You Die, selain membuka wawasan baru tentang dunia peperangan, terselip juga beberapa kutipan atau petuah dari penulis, yang intinya bahwa perang itu tidak menguntungkan siapa-siapa, hanya akan muncul penderitaan dari sebuah peperangan. Membaca buku ini pun membuat pembacanya seolah merasakan seperti apa medan perang sesungguhnya, dan juga seakan ingin menerangkan kepada masyarakat banyak bahwa tentara juga manusia, punya rasa punya hati walaupun senjata mereka pisau belati. Oh ya, satu hal lagi, tak seperti buku-buku 1001 pada umumnya yang berat untuk dicerna, buku ini mudah dimengerti, bahkan terjemahannya pun enak dibaca, apalagi banyak hal-hal baru yang dapat dieksplorasi dan diketahui dari buku ini. Saya sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca, baik itu pecinta militer ataupun bukan, karena menurut saya buku ini sangat layak mendapatkan bintang lima.


NB: kisah ini merupakan kisah fiksi yang terinspirasi dari kejadian-kejadian non fiksi yang terjadi pada perang Vietnam di tahun 1957 sampai tahun 1975.


Judul: The Things They Carried
Penulis: Tim O'Brien
Penerbit: Serambi
Tebal: 338 hal.
Tahun Terbit: 1990 (1st) / 2008 (terjemahan)
Rate: 5/5

Minggu, 14 Juli 2013

Jo dan Lima Sekawan



Liburan lagi, petualangan lagi! Walaupun hanya menghabiskan waktu sekitar dua minggu untuk bersama-sama, petualangan seakan tidak mau menjauh dari kelompok Lima Sekawan ini.

Berlokasi kembali di Pondok Kirrin, kali ini Bibi Fanny dan Paman Quentin sengaja ingin berlibur ke Spanyol. Kedua orangtua George ini meninggalkan Lima Sekawan dengan pembantu mereka, Joanna. Memang, sejak semula anak-anak tidak yakin mereka akan mengalami petualangan kali ini, namun penemuan yang dilakukan oleh Paman Quentin membawa anak-anak dalam petualangan, bahkan bahaya!
Berawal dari pertemuan anak-anak dengan Jo, seorang anak yang di Inggris sana lazim disebut sebagai gelandangan. Jo ini seorang anak perempuan, namun ia mirip sekali dengan George, berperawakan sama, berambut ikal, dan juga senang memakai pakaian anak laki-laki. Jo ini memberi kesan buruk kepada anak-anak ketika pertama mereka bertemu, bukan apa-apa, pergaulan Jo dan anak-anak Lima Sekawan memang berbeda, jadi bisa dikatakan bahwa Jo sedikit liar, dan anak-anak kurang menyukai hal itu.

Petualangan kali ini melibatkan penculikan, pembiusan, penyamaran, bahkan penyekapan, bukan cerita yang enteng memang bagi anak-anak. Bisa dibilang pula yang berpetualang disini ialah Julian dan Dick, sebabnya adalah George dan Timmy diculik oleh para penjahat. George menjadi sasaran penculikan gara-gara para penjahat ini mengincar buku catatan penemuan-penemuan penting yang dilakukan oleh Paman Quentin. Sedangkan Anne, seperti biasa masih terlalu muda untuk berpetualang yang terlalu berbahaya, maka ia hanya menemani Joanna di rumah ketika ick dan Julian berusaha membebaskan George dan Timmy.

Tentunya ada alasan khusus mengapa Jo menjadi judul dalam buku Lima Sekawan ini, dari 21 judul Lima Sekawan karya Enid Blyton, hanya Jo seorang yang menjadi sebuah nama anak yang menjadi judul. Jo inilah yang menjadi kunci dalam petualangan kali ini, entah itu dalam proses penangkapan George, sampai pada proses penyelamatan George. Jo ini pulalah yang menyertai serta memandu Julian dan Dick dalam mengetahui tempat penyekapan George.

Seperti biasa, bahaya, bahkan kematian sangat dekat dengan anak-anak Lima Sekawan ini seiring dengan pertambahan umur dan pertambahan judul serial ini. Apa yang ada di pikiran Enid Blyton ketika menulis cerita yang katanya untuk anak-anak ini hanya ia dan Tuhan yang tahu, yang jelas diskusi antara anak dan orangtua sangat diperlukan ketika membaca buku ini.

Petualangan yang terjadi di tahun 1950 ini (pertama buku ini terbit) masih melibatkan telegram, hal yang sudah sangta langka di zaman modern ini. Ini pulalah yang menghambat anak-anak dalam menghubungi Bibi Fanny dan Paman Quentin yang berada di Spanyol. Coba saja kisah ini terjadi di zaman smartphone seperti sekarang ini, mungkin tidak akan ada yang namanya penculikan George. Ya, tinggal sms atau telepon saja maka tindakan penculikan ini dapat dicegah ketika awal mula ada pencuri masuk ke Pondok Kirrin.Tetapi tak akan ada petualangan seru apabila hal tersebut terjadi, sms/telepon, Bibi serta Paman pulang, hubungi polisi, maka habis perkara, dan buku ini tak akan menjadi sebuah buku. Itu sudah.

Ada hal menarik yang ditambahkan penerjemah di dalam buku ini, tepatnya di halaman 139: “Memang, hutan di Inggris lain dengan di Indonesia. Di sana, jika ada tempat yang agak lebat ditumbuhi pepohonan, tempat itu sudah disebut hutan. Karenananya tidaklah mengherankan, jika bagi Anne tempat yang pepohonannya tumbuh rapat sudah dianggap sebagai rimba. Coba kalau anak itu bisa datang sebentar ke Kalimantan atau Irian, saat itu baru ia akan tahu bagaimana wujud rimba yang sebenarnya.” Saya yakin tak ada bagian ini di dalam edisi aslinya, namun penerjemah secara jeli ingin memperkenalkan kekayaan Indonesia kepada para pembaca yang notabene adalah anak-anak Indonesia.

Dewasa ini, sudah jarang ditemukan anak-anak membaca buku-buku Lima Sekawan ini. Padahal buku ini sudah sangat sering dicetak ulang. Tapi patut dipertanyakan pula, apakah anak-anak zaman sekarang ini memahami hal-hal yang ada pada zaman itu seperti telegram yang saya sebut di atas. Mungkin pula anak-anak ini akan mempertanyakan, mengapa anak-anak Lima Sekawan ini tidak berbekal telepon genggam dalam berpetualang? Ah, apa mungkin pemikiran saya yang terlalu cetek sehingga tak tahu bahwa zaman sekarang ini Lima Sekawan tetap banyak dibaca oleh anak-anak modern.

Kembali lagi ke perdebatan apakah Lima Sekawan ini cocok untuk anak-anak. Saya tetap berpikir bahwa Lima Sekawan ini merupakan buku awal bagi anak-anak guna mereka mendalami hobi membaca mereka. Saya sendiri masih ingat, bagaimana ketika SMP buku ii sangat berbekas di hati saya. Jujur saja, pada saat itu saya belum mencapai pemikiran bagaimana munculnya kata-kata kasar pada serial ini, pokoknya yang terpikirkan hanya bagaimana serunya buku ini. Sempat pula saya berbalas twit dengan Clara Ng dimana saya mengatakan buku ini harus dibaca dengan pengawasan orangtua apabila anak-anak yang membacanya, namun beliau membalas bahwa diskusi lebih diperlukan daripada pengawasan. Akhirnya saya pun menyadari bahwa saya keliru, dan bahwasanya diskusi dua arah lebih penting untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak dibandingkan pengawasan satu arah dari orangtua kepada anaknya. Jadi, apakah cocok untuk anak-anak? Tetap, dari awal saya sudah berpendapat bahwa buku ini hanya cocok untuk anak Indonesia berusia 10 tahun ke atas.


Selamat hari anak Indonesia, tetaplah membaca karya untuk anak guna membuka diskusi dua arah antara anak dan orangtua. Juga walaupun buku anak, buku tetaplah buku, dan pastilah akan ada pengetahuan dibalik semua buku yang ada.


Judul: Lima Sekawan: Jo Anak Gelandangan
Penulis: Enid Blyton
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 254 hal.
Tahun Terbit: 1950 (1st) / 1997 (read)
Rekomendasi Usia: > 10 tahun
Rate: 4/5

Rabu, 19 Juni 2013

Watson, Holmes, dan Pembuka Amplop

Sebenarnya cerita tentang temanku ini agak rahasia. Bukan apa-apa, dalam kasus kali ini Holmes "membohongi" aku sedemikian rupa, ia berhasil membuat aku keki. Aku pun terkadang malu sendiri ketika membaca kisah ini, tetapi apa boleh buat, akhirnya kisah ini memang harus diceritakan kepada pembaca, tak perduli bagaimana perasaanku, melalui kisah yang aku ceritakan ini aku sekaligus ingin mengenang Holmes sebagai seorang detektif sekaligus sahabat yang hebat, terutama untukku.

Cerita ini bermula ketika aku berkunjung ke Baker Street di saat aku sedang bebas tugas karena memang jadwal praktikku sudah selesai beberapa jam yang lalu. Seperti biasa, aku dikejutkan dengan tingkah laku Holmes yang memang agak unik, kali ini ia sedang membaca sebuah buku dengan gaya yang benar-benar tidak masuk akal, kepala di bawah, kaki di atas.

“Oh temanku Watson, sudah kuduga kau akan datang hari ini,” ia menyapaku sambil memperbaiki posisi bacanya ke posisi yang normal.

“Darimana kau tahu?” Aku tahu pertanyaanku ini konyol, maka aku langsung bertanya lagi sebelum ia menjawab, “omong-omong, buku apa yang kau baca itu?”

Sambil berdehem ia menjawab, “akan kuceritakan Watson, sebuah kasus unik yang melibatkan alat pembunuh yang juga unik, alat pembuka amplop!”

Aku pun kebingungan, karena aku memang belum tahu seperti apa alat pembuka amplop tersebut. Belum sempat aku berbicara, dia langsung menyela dengan mengambil laptop-nya dan langsung googling dengan kata kunci “Alat Pembuka Amplop”.

“Alat ini yang kumaksud, temanku, bukankah cukup mengerikan untuk dipakai menikam seseorang yang kau benci setengah mati?” Ia menunjukkan sebuah gambar.



Aku pun menggeleng, “baru tahu aku, ayo ceritakan selengkapnya Holmes, jangan membuat penasaran!”

“Baiklah dokter, seperti biasa kau memang selalu tak sabaran. Kita mulai dahulu dengan siapa-siapa yang terlibat di dalam kasus ini. Pertama, Luana Awanti, ia seorang...” belum selesai ia bicara, aku keburu menyela, “tunggu Holmes, nama apa itu Luana? Terdengar asing untuk nama seorang Inggris.”

“Kisah ini terjadi di Indonesia teman, tolong jangan banyak tanya dahulu.”

“Tapi kapan kau ke...” kali ini giliran dia yang menyelaku, “mau aku ceritakan tidak? Diamlah sejenak Watson!”

Aku pun terdiam dan mengangguk.

“Baiklah aku lanjutkan. Luana Awanti ini seorang gadis muda yang telah ditinggal ayahnya semenjak ia lahir. Hidup berdua dengan ibunya dalam keadaan miskin dan dengan sang ibu dalam kondisi yang sakit-sakitan, ia harus siap ketika sewaktu-waktu ibunya dipanggil oleh yang Maha Kuasa karena sakitnya yang semakin parah. Suatu hari, hal itu pun terjadi, ibunya meninggal dunia. Hanya satu hal yang ia wariskan kepada Luana, ia memberitahu Luana sebuah hal penting, hal yang sangat penting sebenarnya. Ibunya memberitahu bahwa sebenarnya ayah dari Luana masih hidup, dan ia adalah Prayogo Iksan, seorang jutawan yang mempunyai perusahaan sendiri. Seorang lelaki yang telah mempunyai seorang istri dan tiga orang anak yang hampir sebaya dengan Luana. Prayogo Iksan sendiri tidak mengetahui jika ibu Luana sedang mengandung ketika ia akhirnya lebih memilih istrinya daripada ibu dari Luana.

“Singkat cerita, karena penyesalannya, Prayogo Iksan pun menerima Luana di rumahnya dengan tangan terbuka. Tetapi sayangnya, gara-gara kedatangan Luana, suasana di ruman Prayogo Iksan menjadi tidak kondusif. Lilik, istri dari Prayogo Iksan dan Yana, anak kedua dari Prayogo Iksan sangat memusuhi Luana dan tidak menyukai kehadiran Luana di rumah mereka. Hanya Ardian, putra tertua Prayogo Iksan yang menyambut Luana dengan tangan terbuka, sementara Yanti, si bungsu memilih untuk mengikuti jejak Yana dan Lilik, meskipun tidak secara frontal karena Yanti pada dasarnya memang pendiam.

“Luana kemudian meminta Prayogo Iksan untuk ikut bekerja di perusahaannya karena ia tidak betah hanya berdiam diri di rumah. Di tempat inilah Luana berkenalan dengan Pak Joko yang berusia dua kali lipatnya yang diam-diam mencintainya. Untuk meningkatkan kemampuannya, Luana memutuskan untuk mengikuti kursus komputer, tak jarang ia diantarjemput oleh Pak Joko ke tempat kursusnya. Sebenarnya, dengan mengikuti kursus ini Luana agak sedikit diuntungkan, karena secara tidak langsung ia akan pulang agak malam dan menghindarkannya dari bertatap muka dengan Lilik dan Yana ketika sampai di rumah.

“Sampai suatu hari, ketika Prayogo Iksan sedang mengurus surat-surat untuk mensahkan status Luana sebagai anak kandungnya, terjadilah peristiwa tragis itu. Prayogo Iksan yang berada di dalam kamar kerja di rumahnya terbunuh secara tragis, ada orang yang menikamnya dari belakang! Lilik dan Yana ketika kejadian sedang berada di rumah, sementara Yanti sedang di toko buku dan Ardian sedang bermain tenis. Adapun Luana, ketika bapaknya terbunuh ia sedang berada di tempat kursus dan akan menonton bioskop bersama Pak Joko. Dari penyelidikan polisi, diketahui bahwa alat pembuka amploplah yang digunakan untuk membunuh Prayogo Iksan. Itulah sebabnya aku menunjukkan alat pembuka amplop ini kepadamu Watson.

“Posisi Luana yang makin terjepit di rumah itu membuat penyelidikan buntu karena Luana ngotot untuk meninggalkan rumah itu. Untung saja setelah dibujuk, Luana bersedia kembali ke rumah Prayogo Iksan guna menjebak si pelaku pembunuhan yang sebenarnya. Selang beberapa hari, diketahui bahwa alat pembuka amplop tersebut hanyalah sebagai pengecoh saja, karena alat yang dipakai untuk membunuh Prayogo Iksan adalah sebuah pisau yang kedua sisinya tajam. Dari hal itulah akhirnya si pembunuh dapat diketahui, bingo!

“Begitulah Watson, sebelum memutuskan suatu perkara, siapa yang menjadi pembunuh, semua hal harus kita perhitungkan, bahkan yang tidak mempunyai alibi sekalipun.”

Aku yang penasaran mengenai siapa si pembunuh sebenarnya kemudian memaksa Holmes untuk mengatakannya. Tapi dengan terbahak ia hanya menjawab, “tidak seru apabila aku katakan Watson. Bacalah sendiri buku ini, kau akan merasakan sensasinya.”

Aku pun mengalah, “oke Holmes, baiklah. Berikan aku buku itu, biar aku membaca sendiri kisahmu itu.” Kurebut buku itu dari tangannya dan mulai kubaca sekilas.

“Tunggu Watson, sepertinya kau salah paham...”

Tanpa mengacuhkannya, aku mencerocos sendiri, “hm, alur yang oke, berurutan dari awal hingga akhir bahkan tiap bab ada tanggalnya sendiri-sendiri. Kau tahu saja kalau aku tidak nyaman membaca buku yang mempunyai alur yang maju mundur Holmes.”

“Tapi...,” Holmes mencoba menyelaku.

Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, aku mulai berbicara lagi, “omong-omong lagi, tumben sekali kau membukukan kisahmu sendiri Holmes, biasanya kau paling malas dalam melakukan hal seperti ini dan selalu mengandalkanku untuk membukukan kisah-kisahmu. Mungkin ini sebuah perkembangan yang baik buatmu apabila suatu saat aku yang meninggalkanmu terlebih dahulu kelak.”

“Tapi...,” Holmes mencoba menyelaku lagi.

Aku memotongnya lagi, “jadi, kapan sebenarnya kau mengunjungi Indonesia tanpa mengajak sahabatmu ini Holmes?”

Ia pun terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Terang saja ini membuat aku kaget. Beberapa menit kemudian setelah tawanya berhenti, ia pun menjelaskan sambil tersenyum, “bacalah dengan jelas Watson, buku itu bukan bercerita tentang aku, dan bukan aku yang memecahkan kasus itu. Ini adalah kisah temanku dari Indonesia, Kapten Polisi Kosasih dan Gozali, seorang mantan narapidana yang membantunya. Sebenarnya Gozali-lah yang memecahkan kasus ini, ia detektif yang hebat Watson!”


Kubuka buku itu, dan memang aku menemukan nama Gozali-lah yang menjadi tokoh utama pemecah kasus pembunuhan ini. Sambil melemparkan buku itu ke wajah Holmes, aku pun bergegas meninggalkan Baker Street, meninggalkan Holmes yang mulai lagi tertawa terbahak-bahak.




Judul: Misteri Alat Pembuka Amplop
Penulis: S. Mara Gd
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 1991
Tebal: 424 hal.
Rate: 5/5

Jumat, 17 Mei 2013

KEJU dalam 1001 kata




1.       Cover KEJU ini lezat. Tahu kan gambar keju-keju yang biasanya ada di kartun Tom & Jerry, kuning dengan lubang-lubang pada keju tersebut. Begitu pula latar belakang cover buku ini, yummy :9
2.       Dimensi yang bisa dibilang sebagai “ukuran saku”, apalagi dengan jumlah halamannya yang “hanya” 176 halaman, membuat KEJU ini mudah dibawa, ringan dan juga mudah dibaca di mana pun berada.
3.       Sederhana. Itu penampilan cover KEJU ini, dengan gambar seseorang yang memegang dua buah piring berisi keju, judul dalam bahasa asli: “KAAS”, nama penulis: “Willem Elsschot”, dan judul terjemahan: “KEJU”. It’s so simple.
4.       Terbit pertama kali pada tahun 1933; 77 tahun kemudian KEJU ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Terima kasih kepada Erasmus Huis dan Erasmus Dutch Language Center atas dukungan finansialnya, sehingga KEJU ini dapat dialihbahasakan oleh Jugiarie Sugiarto.
5.       Erasmus Huis merupakan pusat kebudayaan Belanda yang ada di Jakarta. KEJU ini merupakan proyek ketika Erasmus Huis merayakan hari jadi yang ke-40 pada tahun 2010.
6.       KEJU ini memang berbahasa asli Belanda. Tapi untuk sekedar informasi, setting KEJU ini berada di Belgia, penulisnya pun berkebangsaan Belgia. Jadi seebenarnya agak mengherankan mengapa KEJU ini yang diangkat oleh Erasmus Huis untuk diterjemahkan.
7.       Si penulis berkebangsaan Belgia tersebut ialah Willem Elsschot. Ini adalah nama pena dari Alfons de Ridder. Beliau lahir di Antwerpen pada tahun 1882, dan wafat pada tahun 1960 di kota yang sama.
8.       KEJU ini karya kedua beliau. Sebelumnya pada tahun 1924 beliau menerbitkan Lijmen, dan setelah KEJU, dua buku beliau lain adalah Tsjip (1934) dan Het Been (1938). Tema utama yang sering digunakan beliau ialah bisnis dan kehidupan keluarga.
9.       KEJU ini dilengkapi oleh satu halaman yang memuat tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Selain itu, ada pula unsur-unsur terkait yang berada dalam KEJU ini, pada satu halaman pula. Hal ini cukup membantu untuk sekedar mengingat-ingat kembali tokoh-tokoh yang terlibat. Seperti yang telah diketahui, nama-nama Belanda / Belgia agak susah untuk diingat atau diucapkan.
10.   Sudut pandang pencerita pada KEJU ini yaitu oleh orang pertama. Orang pertama ini sekaligus si tokoh utama dalam KEJU ini. Namanya adalah Frans Laarmans.
11.   Frans Laarmans merupakan seorang kepala keluarga dengan dua orang anak. Beliau bekerja sebagai “kerani” di perusahaan perkapalan: General Marine and Shipbuilding Company.
12.   KEJU ini merupakan buku kedua dimana saya menemukan istilah kerani. Buku pertama yang menyebut-nyebut kerani ialah My Stupid Boss karangan Chaos @ Work. Mungkin banyak yang menyangka kerani ini sebagai bahasa melayu atau Malaysia, tetapi setelah saya cek  KBBI, kerani merupakan bahasa baku dari sekretaris / juru tulis, atau lebih tepatnya pegawai yang mengurusi administrasi sederhana. Efek masuknya bahasa asing membuat istilah sekretaris lebih populer saat ini.
13.   Satu peristiwa penting yang nantinya akan merubah hidup Frans adalah kematian ibunya. Ini adalah inti cerita di bab pertama KEJU ini. Memang, ibu dari Laarmans ini sudah pikun dan sakit berat, pekerjaannya sehari-hari pun hanya mengurai wol dan kapuk.
14.   Kejadian yang mengubah hidup Frans ini dimulai ketika pemakaman ibu Laarmans. Frans, yang mempunyai seorang kakak yang juga seorang dokter berkenalan dengan pasien sang kakak, van Schoonbeke. van Schoonbeke ini lalu mengajak Frans untuk ke sebuah pertemuan yang rutin digelar di kediamannya. Pertemuan ini bisa dibilang pertemuan kelas atas, dimana pesertanya yang juga masih tetangga-tetangga Frans ialah rata-rata orang berada yang memiliki mobil dan kedudukan.
15.   ~Learn the Dutch~ sebelumnya, kita telah mengenal istilah Meneer untuk menyebut tuan di dalam bahasa Belanda. Ternyata, penulisan yang tepat untuk kata ini ialah Mijnheer, bukan Meneer.
16.   van Schoonbeke, yang juga termasuk orang berada inilah yang menawari Frans untuk berbisnis KEJU. Frans, yang merasa hidupnya biasa-biasa saja dan juga sering tersepelekan pada saat acara pertemuan di kediaman van Schoonbeke melihat peluang dalam penawaran yang diberikan oleh van Schoonbeke.
17.   Peluang apa yang Frans dapat dari KEJU? Well, KEJU ialah makanan utama di Eropa, jadi Frans meyakini, bahwa KEJU pasti akan selalu laku.
18.   Apalagi, dengan menjual KEJU, Frans berpeluang menjadi Pengusaha. Ini adalah cita-cita terpendamnya, ia merasa telah lelah hanya menjadi kerani.
19.   Peluang itu datang secara tiba-tiba dan mendadak, maka bersegeralah Frans ke Amsterdam menemui Hornstra. Hornstra inilah teman dari van Schoonbeke yang merupakan seorang juragan KEJU. Frans melakukan perjalanan ini dari kediamannya di Antwerp.
20.   Satu masalah baru, untuk menjadi seorang pengusaha, Frans berpendapat bahwa ia tak bisa hanya sekedar paruh-waktu saja, maka ia mencari jalan untuk membolos dari pekerjaan utamanya di perkapalan.
21.   Untung saja, Ida, istri dari Frans mempunyai ide brilian. Berbekal seorang kakak yang seorang dokter, maka Frans mengambil cuti sakit selama tiga bulan penuh dengan alasan sakit parah. Tak main-main, sakit yang dideritanya ialah penyakit saraf! Akhirnya, “mandor” dari Frans merestui “penyakit” Frans tersebut, dengan syarat selama sakit Frans tidak mendapatkan gaji.
22.   ~Learn the KAAS~ keju yang akan dijual oleh Frans ialah KEJU Edam. Gambaran dari Edam ini ada di cover depan, keju yang dibungkus dengan parafin dan lilin berwarna merah. Keju ini awal mulanya berasal dari kota Edam, sebuah kota di utara Belanda. Keju ini merupakan keju yang rendah lemak, dan cenderung memiliki rasa seperti kacang.
23.   Frans pun mendirikan perusahaan di rumahnya. Disulapnya salah satu bagian rumah menjadi kantor. Bisa dibilang Frans ini rempong, segala hal yang ada di kantor-kantor umum seperti mesin tik, telepon, hingga kop surat harus ada pula di perusahaannya, sungguh sangat membuat gemas pembaca.
24.   Belum lagi masalah nama perusahaan, beberapa nama sempat dicoba Frans untuk nama perusahaannya, mulai dari bahasa Belanda, Prancis, sampai bahasa Inggris dicobanya. Bagian ini juga membuat gemas pembaca.
25.   Ternyata, KEJU yang ia pikir awalnya selalu laku ini tidak sesuai ekspektasinya, ia kesulitan menjual keju-kejunya. Memang, kejunya enak, tetapi Frans belum mempunyai bakat dan celah dalam menjalani bisnis yang ia geluti.
26.   Di saat-saat sulit inilah, terkadang Frans teringat kepada ibunya. Bagian ini menjadi sebuah pelajaran dimana terkadang orangtua yang kita sayang baru terasa pengaruhnya ketika ia telah tiada.
27.   Pelajaran lain dari KEJU ini ialah: kebohongan (seperti yang dilakukan Frans terhadap perusahaannya) tidak akan membawa kebaikan apapun. Apalagi apabila kebohongan itu termasuk besar.
28.   Empat potong KEJU edam, cocok untuk dijadikan kastangel.
29.   Buku 1001? KEJU ini cukup layak.
  

Judul: Kaas / Keju
Penulis: Willem Elsschot
Tebal: 176 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 1933 (1st), 2010 (terjemahan)
Rate: Empat KEJU


Jumat, 19 April 2013

Pusat dan Bayang-bayang



Judul: Lalita
Penulis: Ayu Utami
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal: 256 hal.
Terbit: September 2012
Rate: 4/5




Sastra. Mudahnya, sastra merupakan sebuah tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Dalam cakupan yang (sangat) sempit, menurut saya pribadi sastra merupakan tulisan yang di dalamnya mengandung kata-kata yang tidak lazim dipakai. Dengan kata lain, sebenarnya kata-kata tersebut memang ada dan masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, namun sangat jarang orang mempergunakannya dalam kegiatan dan percakapan sehari-hari. Bahkan, sekedar artinya pun kebanyakan orang tidak tahu. Maka itulah definisi sastra menurut (kesempitan pandangan) saya.

Sastra Indonesia. Setiap karya sastra yang dibuat di Indonesia, maupun yang menggunakan Bahasa Melayu sebagai akarnya, dapat dikategorikan sebagai Sastra Indonesia. 28 April, sebagai hari wafatnya Chairil Anwar “dahulu” diperingati sebagai hari sastra nasional, ini sebelum adanya “pengesahan” pemerintah yang akhirnya menetapkan 3 Juli sebagai hari sastra nasional.

Salah satu angkatan yang ada pada dunia sastra di Indonesia ialah Angkatan 2000-an. Angkatan ini melahirkan sastrawan-satrawan yang mempunyai karya sastra yang tidak kalah dengan angkatan-angkatan sebelumnya. Bahkan, ada beberapa karya angkatan ini yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa asing, sungguh sebuah prestasi yang tidak main-main. Ayu Utami merupakan salah satu sastrawan yang masuk ke dalam Angkatan 2000-an ini. Salah satu bukunya yang terbit pada tahun 2012 kemarin, Lalita, dalam pandangan sempit saya bisa dikategorikan sebagai karya sastra, karena tidak sedikit kata-kata yang beliau gunakan merupakan kata-kata yang asing dan sastra banget.

Dalam buku ini banyak disinggung mengenai Pusat dan Bayang-bayang. Penjabaran sederhana tentang “pusat” dan “bayang-bayang” ini secara cerdas Ayu menggunakan sebuah daun semanggi (clover). Pusat; ia memberikan contoh sebuah Peta Daun Semanggi (Clover Leaf Map) karya Heinrich Bünting, dimana sebuah kota yang bernama Jerusalem ia gambarkan sebagai pusat dunia yang berada di tengah-tengah benua Asia, Eropa, dan Afrika (lihat gambar). Bayang-bayang; ia gambarkan juga sebuah daun semanggi berwarna hijau dengan titik hitam di tengahnya. Apa kaitannya dengan bayang-bayang? Akan saya jabarkan kemudian melalui percobaan sederhana di akhir bahasan ini.

Spoilerfor Pusat


Spoilerfor Bayang-bayang


Seperti buku-buku yang telah Ayu tulis sebelumnya, ia membagi buku ini ke dalam beberapa bagian yang terdiri dari beberapa bab. Lalita ini terdiri dari tiga bagian, yaitu Indigo, Hitam, dan Merah. Perlu diingat dan diketahui, Lalita ini merupakan serial dari buku Bilangan Fu, jadi tokoh-tokoh utama yang ada di dalam Bilangan Fu, yaitu Sandi Yuda, Parang Jati, dan Marja, menjadi tokoh utama pula di dalam buku ini.



Indigo
Latar belakang cerita berada di Jakarta. Warna-warna digunakan Ayu sebagai gambaran tentang kota Jakarta yang menjadi bagian kehidupan Sandi Yuda. Warna kusam-kumuh dan hitam-putih untuk suasana jalanan Jakarta yang penuh polusi dan kendaraan umum yang semrawut. Warna digital untuk Plaza Indonesia yang begitu gemerlap, penuh dengan lampu dan berkebalikan seratusdelapanpuluh derajat dengan suasana di luar. Di bab awal ini pulalah Yuda bertemu dengan Lalita, seorang perempuan indigo, baik dalam arti tersirat maupun tersurat.

Indigo. Sebuah warna biru keunguan. Indigo. Kemampuan indera keenam, melihat hantu, meramal masa depan, bahkan melihat masa lalu. Secara tersurat, Lalita berpenampilan indigo, tanktop ungu ketat, sepatu biru gelap, lensa kontak nila, sepuhan mata warna bulu merak, sampai menghisap rokok ramping ungu. Secara tersirat, Lalita mengakui bahwa ia indigo, bisa melihat masa lalu, bahkan mengakui bahwa ia telah hidup di masa lalu. Abad ke-9 ketika pembangunan candi Borobudur berlangsung; pada suatu masa di Tibet; dan di Transylvania, ketika dongeng, mitos, cerita tentang vampir dan drakula secara luas beredar.

Lalita. Nama lengkapnya ialah Lalita Vistara. Nama ini diambil dari sebuah relief di candi Borobudur yang menceritakan tentang riwayat hidup Buddha. Bisa dibilang Lalita sangat tergila-gila pada sejarah Borobudur ini, sehingga nama Lalita ini ia gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Ada pula pengaruh pastlife-nya ketika hidup di abad ke-9 yang menyebabkan ia mengganti namanya menjadi Lalita Vistara. Lalita ini seakan hidup dibalik topeng indigonya. Jarang orang melihat ia tanpa kostum dan riasan indigo-nya, bahkan kakaknya sendiri menyatakan bahwa Lalita berpenampilan tanpa indigo hanya ketika ia mati.

Indigo di bagian awal buku ini pun merujuk kepada sebuah buku. Dinamakan buku indigo karena warnanya. Isinya bukan sembarangan, karena buku ini merupakan warisan turun-temurun dari kakek Lalita yang berhubungan dengan kehidupan di Tibet, Borobudur dan sebuah ilmu yang dipelajari oleh kakeknya bersama dengan Sigmund Freud, seorang tokoh nonfiksi, yaitu ilmu psikoanalisa.

Di dalam bagian indigo ini pula saya menyimpulkan buku ini termasuk kategori sastra. Kata-kata seperti wewajah, pepohon, merupakan kata yang sangat jarang digunakan. Bahkan, Ayu pun dengan jeli memadukan kata-kata tersebut dengan kata-kata modern, seperti jayus, futuristik, robotik, sehingga tercipta sebuah karya sastra yang enak dibaca, tidak terkesan lawas tetapi juga masih memiliki unsur “lawas” tersebut.




Hitam
Dari Indonesia, sejenak kita beralih ke Paris, sekitar tahun 1889. Anshel Eibenschütz, kakek dari Lalita, pemilik sekaligus penulis buku indigo yang dimiliki oleh Lalita. Selain Sigmund Freud, muncul pula tokoh nonfiksi yang dengan apik di-mix oleh Ayu Utami dengan cerita fiksi ini. Tokoh ini ialah Carl Gustav Jung, seorang psikolog. Di sini diceritakan bahwa Carl ialah sahabat kental Anshel. Mereka berdua berguru pada guru yang sama, yaitu Sigmund Freud. Namun semuanya tampak hitam bagi Anshel. Perbedaan prinsip dan pandangan antara dirinya dengan Freud membuatnya dicampakkan oleh Freud. Hal ini memaksanya berjalan sendiri di keyakinan yang diyakininya.

Hitam bagi Anshel bukan dalam hal ini saja, ketika kehilangan ayahnya pun Anshel mengalami hal yang tidak mengenakkan. Ayahnya tewas dan hilang begitu saja ketika sedang mengalami perjalanan. Faktor keyahudian beliaulah yang membuatnya tewas. Dari sinilah Anshel merasakan hitamnya akalbudi manusia yang telah mati.

Di bagian “hitam” ini, diceritakan pula kakek moyang dari Anshel. Siapa yang tidak mengenal Vlad Dracula? Ya, Dracula merupakan kakek moyang Anshel. Berhubungan dengan hitam dan kegelapan pula, siapa yang tidak mengenal kekejaman Dracula? Salah satu tindakan terkenal dan tersadisnya ialah menyula. Menyula ialah suatu cara untuk membunuh manusia dengan pasak kayu yaitu dengan cara menusukkannya lewat punggung menembus dada/perut, atau dari lubang (maaf) dubur hingga menembus mulut. Tidak hanya itu saja, Dracula mempunyai suatu kebiasaan ganjil, yaitu membariskan mayat-mayat yang ia sula secara rapi dan berjajar. Ilustrasi di buku ini dapat dilihat pada halaman 91.

Sula dan menyula pun menjadi sebuah kata baru bagi saya, dan semakin menegaskan karya ini sebagai sebuah sastra. Sekali lagi, dalam pandangan sempit saya.

Spoilerfor Sula


Merah
Kembali lagi ke masa kini dan kembali berlatarbelakang di Indonesia. “Merah” kembali bercerita tentang Yuda, Jati dan Marja. Lalita menjadi tokoh yang dicari oleh Yuda pada bagian ini. Bukan hanya Lalita, buku indigo-nya pun banyak dicari orang dengan berbagai motif. Salah satu pihak yang mencari buku ini ialah negara berbendera warna merah yang mempunyai masalah dengan negeri Tibet. Bahkan negara itu sampai mengirim intelnya untuk merebut buku tersebut.

Satu hal lagi yang menarik tentang pencampuran fiksi dan nonfiksi di dalam buku ini ialah munculnya Buddha Bar. Ya, sebuah tempat yang cukup kontroversi beberapa waktu lalu ini diceritakan “sejarah fiksinya”, mulai dari pesta pembukaannya, hingga penutupannya. Jujur saja, saya sangat kagum atas kejelian Ayu Utami melihat dan menceritakan serta menggabungkan faktor fiksi dan nonfiksi ini.

Terakhir, berkaitan dengan paragraf-paragraf awal di atas. Mengenai “bayang-bayang” dan hubungannya dengan warna merah. Hal ini sebenarnya tercantum di bagian belakang cover Lalita ini, sebuah percobaan yang cukup sederhana. Tataplah gambar daun semanggi berwarna hijau di atas tepat pada titik hitam di tengahnya selama sekitar 20 detik, lalu pejamkan mata atau alihkan pandang ke suatu bidang putih. Bunga merah muda akan tampak sebagai bayangan, ya, sebuah bayang-bayang. Mengapa? Karena hijau dan merah adalah pasangan yang berkebalikan.




Quote:Setiap kita memiliki bayang-bayang. Bukan musuh, melainkan pasangan yang berkebalikan. (p. 233)

Selasa, 26 Maret 2013

Cerita tentang Holly dan Tiffany


Perkenalkan, namaku adalah Lulamae. Nama panjangku? Hm, biar aku jawab di akhir saja, karena akhir atau ending yang mengejutkan itu selalu menarik. Aku adalah salah satu tokoh utama di buku Breakfast at Tiffany’s. Ya, buku karangan Truman Capote ini merupakan buku yang fenomenal. Buku ini bahkan dapat dikatakan sebagai legenda. Apa sebabnya? Lihat saja efek yang berhasil buku ini ciptakan. Tepatnya sih, efek yang berhasil buku DAN film ini ciptakan, karena justru filmnya-lah yang menciptakan hal-hal yang spesial terpatri di pikiran setiap orang. Tetapi walaupun begitu, tak akan ada film Breakfast at Tiffany’s apabila buku ini tidak ditulis. Buku yang terbit tahun 1958 ini diekranisasikan pada tahun 1961, dengan Audrey Hepburn berperan sebagai tokoh utamanya. Sebenarnya, Mr. Capote ingin Marilyn Monroe yang menjadi tokoh utama film ini, makanya ia merasa tertipu oleh Paramount sebagai rumah produksi dari film ini. Adapun hal-hal yang menjadikan judul ini sebagai legenda (hingga masuk list 1001 books you must read before you die) akan kubahas belakangan, karena sebelumnya aku akan membahas isi dari buku ini terlebih dahulu.

Terima kasih sebelumnya kepada penerbit Serambi yang telah menerbitkan buku ini pada tahun 2009. Dengan tebal yang “hanya” 163 halaman buku ini dikemas apik dalam ukuran yang tidak terlalu besar dan juga ukuran huruf yang wajar, sehingga enak untuk dibaca. Satu hal yang agak mengganjal ialah bagaimana buku ini beruntaian kata-kata tanpa bab pemisah, sehingga kejadian per kejadian yang ada seolah berlangsung terus menerus dengan alur yang tanpa flash back. Memang, ada kalanya suatu paragraf berakhir dan dipisahkan oleh jeda yang agak panjang dengan paragraf berikutnya, tetapi tetap saja tanpa nomor dan judul bab. Dari tampilan muka buku ini, tergambar seorang perempuan berbaju terusan hitam dengan memegang pipa rokok panjang serta seekor kucing besar yang melingkari lehernya. Wanita di cover buku ini ialah Holly Golightly, si tokoh utama buku ini, si tokoh utama yang melakukan sarapan di Tiffany, si tokoh utama yang tergambarkan sebagai seorang wanita yang hedonis, suka berganti-ganti pasangan, dan hidupnya bebas, tanpa aturan. Aku sendiri? Bukan, aku bukan nama kucing yang melingkar di leher Holly. Kucing ini tidak Mr. Capote beri nama di dalam buku ini, sehingga Holly sering memanggil kucingnya di dalam percakapan-percakapannya sebagai kucingku atau kucing itu. Lalu, apakah cover ini adalah Audrey Hepburn? Si pemeran wanita dalam versi film Breakfast at Tiffany’s? Aku kira bukan, karena kekhasan Hepburn di dalam mengenakan baju terusan hitam dan membawa pipa rokok panjang kurang tergambarkan di dalam cover ini. Itu menurutku lho…

Breakfast at Tiffany’s. Sebelum kalian memiliki bayangan mengenai judul ini, kalian pasti membayangkan bahwa Tiffany itu sebuah nama restoran atau kafe, atau bahkan nama seseorang, aku yakin itu! Kalian salah, karena Tiffany itu merupakan salah satu toko perhiasan terkenal yang ada di Amerika Serikat. Lalu apa maksudnya judul ini? Apabila kalian menonton filmnya, pasti adegan awal film ini begitu membekas di pikiran kalian. Bagaimana seorang Holly turun dari taksi, berdiri di depan Tiffany, lalu mulai mengeluarkan croissant dan minuman ringan yang dibawanya dan mulai sarapan di sana. Itulah sejarah mengenai pemberian judul buku ini. Bisa dibilang Holly ini cukup tergila-gila kepada yang namanya kekayaan, hingga memandangi perhiasan di etalase Tiffany pun dilakukannya sembari sarapan. Berbeda dengan di film, adegan pertama yang melibatkan Holly yang terjadi di buku ialah ketika Holly pulang tengah malam buta dan membunyikan bel di apartemennya sehingga mengganggu Mr. Yunioshi, seorang Jepang. Ada hal menarik mengenai Mr. Yunioshi ini. Penggambaran dirinya amat berbeda antara di buku dan film, sangat berbeda 180 derajat. Beliau memang pemarah, tetapi di film, Mr. Yunioshi digambarkan sebagai seseorang yang konyol dan ceroboh, yang selalu membuat penonton tersenyum.

Kehidupan Holly yang hedonis dan sering berganti-ganti pasangan tergambar jelas di buku ini. Bayangkan saja banyak lelaki yang berlomba-lomba untuk mendekatinya. Tokoh utama selain Holly di buku ini yaitu “aku” (“aku” disini bukan Lulamae; Mr. Capote menggunakan “aku” ini sebagai sudut pandang pertama di dalam buku. Belakangan si “aku” dikenal dengan nama Paul Varjak, tetapi ini pun gara-gara filmnya, entah Mr. Capote mengakuinya atau tidak), yang oleh Holly dipanggil Fred karena kesamaan faktor fisik dengan kakak Holly yaitu Fred Holightly. “Aku” ini seorang penulis lepas, pemuja rahasia Holly, dan tidak sengaja menjadi dekat dengan Holly gara-gara Holly mulai beralih mengganggu si “aku” apabila ia pulang larut malam dan memencet bel. Si “aku” inilah yang bercerita sepenuhnya di buku ini, tentunya juga tentang hubungan Holly dengan para lelaki-lelaki pemujanya. O.J. Berman, Jose, dan Rusty Strawler ialah beberapa lelaki pemuja Holly diantaranya. Hubungan Holly dengan mereka berlangsung pasang surut, namun hubungannya yang paling serius ialah dengan Jose, seorang kaya raya dari Brazil. Bahkan, mereka berdua telah merencanakan menikah dan berbulan madu di Brazil.

Perlu kalian tahu, buku ini tidak hanya berkisar tentang kehidupan hedonis Holly. Ada pula cerita tentang sisi humanis Holly, yaitu ketika ia setiap hari kamis berkunjung ke Sing Sing, sebuah penjara, untuk menemui Sally Tomato, seorang pimpinan mafia. Memang, Holly tidak murni melakukan ini dengan sukarela, karena atas kunjungannya ini Holly mendapat upah dari pengacara Sally. Tugas Holly sebenarnya hanya menemani Sally mengobrol untuk sekedar mengiburnya di penjara. Namun siapa sangka Holly ternyata dijebak dan terlibat dengan sindikat narkotika yang sangat diburu oleh polisi. Oh, Holly yang malang.

Mengenai diriku sendiri, aku baru muncul di pertengahan buku, yaitu ketika Doc Golightly muncul. Doc sendiri ialah seorang tokoh yang mempunyai peranan penting bagi Holly, terutama di masa lalu Holly ketika ia dan Fred terlantar gara-gara menjadi yatim-piatu. Hingga akhirnya Doc mengadopsinya dan mengijinkan Holly tinggal bersamanya di kediamannya. Saat itu, Holly baru berusia empat belas tahun, ketika ia memutuskan untuk pergi dari rumah Doc. Aku turut menjadi saksi kejadian ini, kejadian yang sangat membekas di dalam pikiranku.

Film Breakfast at Tiffany’s sendiri, seperti telah dibahas di atas dirilis pada tahun 1961. Tepatnya pada tanggal 5 Oktober 1961 di New York untuk penayangan perdananya. Untuk penghargaan yang diraih, film ini berhasil memenangkan dua buah piala oscar dalam kategori Best Music (Original Song) dengan lagu Moon River yang legendaris yang dibawakan oleh Audrey Hepburn (seperti dalam gambar),

serta Best Music untuk Scoring of a Dramatic or Comedy Picture. Sayangnya Hepburn gagal dalam meraih piala oscar dalam kategori Best Actress. Bagaimanapun, Hepburn telah berhasil mematenkan ciri khas Holly dalam balutan longdress hitamnya seperti dalam gambar.



Seperti laiknya beberapa film hasil adaptasi dari buku, ada beberapa adegan yang cukup berbeda antara film dan buku. Hal paling mencolok ialah ending yang terjadi, ending “nanggung” pada buku, sangatlah berbeda dengan film, karena di film ending yang diciptakan ialah ending khas Hollywood. Ada pula beberapa tokoh yang hanya muncul di film atau di buku saja. Seperti 2-E (ini nama orang lho), “kekasih” dari “aku” alias Paul Varjak hanya ada di film saja, sedangkan Joe Bell, seorang kawan Varjak, pemilik sebuah bar, tidak ada sama sekali di dalam film, padahal ia mempunyai peran yang cukup penting di dalam buku. Namun inilah perbedaan dunia industri film dan buku, pasti ada perbedaan. Yang paling penting ialah aku, Lulamae, selalu hadir baik itu di dalam buku maupun film.


Nah, sekarang akan aku bahas mengapa buku (dan film) ini menjadi legenda. Legenda disini mungkin mengacu pada masuknya buku (dan film) ini ke dalam list 1001 Before You Die. Ya, buku ini masuk ke dalam list 1001 Books You Must Read Before You Die dan filmnya masuk ke dalam list 1001 Movies You Must See Before You Die. Sebenarnya, di buku terbitan Serambi akan kalian temukan bagain khusus di akhir buku tentang pengaruh-pengaruh dari buku ini. Diantaranya ialah dipakainya kata-kata “Breakfast at Tiffany’s” dalam lagu “Let Me Entertaint You” yang dinyanyikan oleh band rock legendari Queen. Selain itu, kartun legendaris The Simpsons pun di dalam salah satu episodenya: “I’m with Cupid” (season 10, episode 14), membuat adegan seperti ini: beberapa lelaki memata-matai tokoh Apu di Springfield’s Tiffany & Co. Alih-alih membeli berlian seperti yang mereka duga, Apu keluar dari toko itu dengan membawa sepotong croissant. Tokoh Chief Wiggum lalu berkata, “Aw, that’s right, they have breakfast at Tiffany’s now.” Ada juga sebuah grup band rock yaitu Deep Blue Something pada tahun 1996 merilis sebuah lagu yang diberi judul Breakfast at Tiffany’s. Bisa dibayangkan bukan, bagaimana populernya Holly dan Tiffany akibat buku karangan Truman Capote ini.

Yah, akhirnya aku harus membuka identitas asliku. Tetapi sebelumnya, aku ingin memberi nilai terhadap buku dan film ini secara keseluruhan. Walaupun aku terlibat di dalam keseluruhan ceritanya, seperti sistem rating di Goodreads, aku menyukai buku dan film ini, jadi bisa disimpulkan sendiri dong berapa bintangnya. Oke, namaku yang sebenarnya ialah Lulamae Barnes, namun setelah menikah aku lebih dikenal dengan nama Lulamae Golightly. Lalu, apa hubunganku dengan Doc, dan terutama dengan Holly? Baca atau tonton filmnya, untuk mendapatkan jawabannya.



Buku | Film
Judul: Breakfast at Tiffany's
Tebal: 163 hal. | Durasi: 115 min.
1958 | First Published | 1961
Penerbit (Edisi Indonesia): Serambi, 2009 | Distributed by: Paramount Pictures
Penulis: Truman Capote | Directed by: Blake Edwards
Cast: Audrey Hepburn, George Peppard, Patricia Neal, Buddy Ebsen
Rate: 3/5