Seorang kakek tua berusia 60 tahun yang divonis mengalami
kanker paru-paru akut dan telah diramalkan oleh dokter bahwa usianya tidak akan
lama lagi sedang melamun dan merenung di sisi sebuah sungai terkenal di
Palembang. Dengan disaksikan oleh jembatan ampera yang kian lama kian menua,
sang kakek tua seakan bernostalgia dan menerawang jauh menuju zaman mudanya
dulu, zaman ketika dia mulai mengenal seorang wanita yang ia yakin merupakan
cinta sejatinya.
***
Armyn, seorang asli Palembang, berangkat untuk menuntut ilmu
dan kuliah di Institut Pertanian Bogor, dengan berbekal beasiswa dari kampus
atas prestasi yang telah dicapainya semasa sekolah. Di kampus ini, Armyn
berkenalan dengan seorang wanita, dan Armyn yakin, wanita ini merupakan cinta
sejatinya, karena Armyn langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.
Beruntungnya Armyn, karena ternyata wanita ini satu jurusan dengannya di
kampus, sehingga tidak sulit bagi Armyn untuk bersahabat dan berbagi masalah
serta mencurahkan hati kepada wanita ini.
Seiring perjalanan waktu, Armyn tetap tidak mampu untuk
mengungkapkan perasaannya kepada wanita tersebut. Ya, pada dasarnya Armyn
memang orang yang pemalu dan pengecut, dia lebih rela dan memilih tetap
bersahabat dengannya. Dia takut hubungannya dengan wanita ini rusak apabila
perasaan cintanya yang menggebu, dia katakan dan curahkan kepada sang wanita.
Di sisi lain, wanita ini tidak tahu dan tidak mengerti kalau
Armyn menyimpan hati untuknya. Wanita ini hanya menganggap Armyn sebagai
sahabatnya, sahabat tempat ia berbagi cerita-cerita seru, bahkan tempatnya
curhat juga ketika dia sedang ada masalah dalam hidup, terutama ketika wanita
ini sedang bermasalah dengan pacarnya. Ya, wanita ini sering mencurahkan
perasaannya dan kejadian-kejadian yang terjadi antara dirinya dengan pacarnya
kepada Armyn, tanpa ia tahu bahwa hati Armyn seperti tertusuk-tusuk setiap kali
wanita pujaannya curhat mengenai kehidupan asmaranya. Sementara itu Armyn hanya
bisa pasrah dan menjadi pendengar serta penasihat yang baik ketika sang wanita pujaan
mencurahkan isi hatinya, Armyn berlapang dada dan berbesar hati karena dia
menyadari tidak ada hal lain yang bisa ia perbuat, tidak juga untuk jujur
mengatakan isi hatinya kepada sang wanita pujaan.
Untuk mencurahkan dan mengungkapkan isi hatinya tentang sang
wanita, Armyn bercerita kepada teman satu kosnya yang kebetulan sama-sama
berasal dari Palembang, namun berbeda jurusan dengan Armyn. Okta, nama
sahabatnya itu, dialah yang selama ini menjadi tempat sampah bagi Armyn dalam
mencurahkan perasaan hatinya tentang sang wanita.
Beberapa tahun berlalu, mereka pun lulus dari kampus. Wanita
itu mengambil langkah drastis dengan mengiyakan ajakan menikah dari pacarnya.
Sementara itu, Armyn yang makin patah hati setalah ditinggal menikah oleh sang
wanita pujaan hati, bertekad untuk tidak menikah seumur hidupnya, karena ia
tidak yakin dapat mengganti posisi sang wanita dengan wanita lain. Ia juga
takut apabila menikah, ia hanya akan menyakiti pasangannya, karena di hatinya,
sang wanita pujaan tetap menempati porsi terbesar, tidak dapat terganti oleh
siapapun. Okta, sang sahabat, terus menasehati Armyn untuk segera melupakan
sang wanita pujaan, karena ia telah milik orang lain. Tetapi Armyn hanya
berkata iya di mulut saja, sementara hatinya berkata tidak, dan ia tetap hidup
sendiri sepanjang hidupnya.
***
“Armyn,” suara merdu seorang wanita seakan membangunkan Armyn
dari lamunannya tentang masa lalu. Armyn yang sedari tadi matanya memperhatikan
sungai Musi berbalik untuk mencari asal suara merdu itu. “Kamu...” Armyn tidak
bisa berkata apa-apa lagi, dia hanya terpana menyadari sang wanita yang ada di
hadapannya. “Sudah, jangan berkata apa-apa lagi. Aku sudah tahu semuanya, Okta
telah menceritakan semuanya. Tekadmu, penyakitmu, vonis dokter tentangmu, dan
terutama perasaanmu padaku,” wanita itu menjelaskan panjang lebar, “Andai saja
aku tahu dari dulu, andai saja kita bisa memutar ulang waktu, andai saja kamu
tidak terlalu takut untuk mengungkapkan kepadaku, maafkan aku...”
“Kamu tidak perlu
meminta maaf, seharusnya aku yang meminta maaf karena memendam perasaan ini
kepadamu. Kamu tahu sendiri bagaimana watak dan sifat aku. Namun yang pasti,
aku tidak menyesal telah mencintaimu, aku tidak menyesal tidak mengatakan ini
padamu, aku bahkan menikmati perasaan ini. Aku pun menikmati saat-saat kita
bersahabat dahulu, walaupun tanpa cinta. Aku pun turut berbahagia atas
pernikahanmu, kehidupan bahagiamu, anak-anakmu, aku sama sekali tidak
menyesal,” Armyn berkata dengan penuh kebanggaan.
“Terima kasih atas semuanya Myn, kamu memang sahabat
terbaikku. Kamu rela tidak berbahagia demi aku, aku bangga padamu. Sekarang
izinkan aku untuk menemanimu disini, menikmati indahnya sungai Musi dari
dekat,”
“Tidak masalah, aku pun berterimakasih kamu mau menemaniku
disini.”
Suasana kemudian hening, tidak ada diantara mereka berdua
yang berbicara, hanya suara kendaraan dan suara orang-orang yang lalu-lalang di
sekitar mereka yang terdengar. Akhirnya Armyn memutus kebisuan diantara mereka,
“Sekali lagi, aku berterimakasih karena kau telah bersedia menemaniku.
Menemaniku di ujung usiaku, menemaniku di saat senjaku, walaupun hanya sejenak,
hal ini sangat berarti bagiku,” Armyn menghela nafas, “Aku akan selalu
mencintaimu, Jingga, sampai akhir hayatku.”
Anak istrinya kemana, kok yg nemenin malah orang lain?
BalasHapusKasian ih istrinya dikawinin tp ga 100% dicintai #protes
kan itu ada kata-kata: "Tetapi Armyn hanya berkata iya di mulut saja, sementara hatinya berkata tidak, dan ia tetap hidup sendiri sepanjang hidupnya." :P
Hapuslaki-laki begok ah, kek gak ada perempuan lain aja.
Hapusbtw, menurut suami gw ide cerita ini kereeen
namanya juga cinta...
Hapuswaaah, makasih.. *peluk om Jamal #eh
kasih bumbu harlequin dong puh.. :shutup:
BalasHapus:ngacir:
bikin tanpa bumbu itu aja udah susyah, apalagi ditambahin hihihi
HapusMosok susah, kan udah khatam baca harlequinnya. Udah berapa jilid malah #ngikik
Hapusbaru juga 1 :P
Hapusih komenku yg harlequin ga muncul?
BalasHapussabar, lagi nunggu approve, asistenku lagi sibuk #eAAAAAAA
Hapus