Buat kalian, dan terutama saya yang hidup di zaman Orde
Baru, tentunya merasakan betul bagaimana doktrin yang dijejalkan oleh
pemerintah di masa itu tentang Partai Komunis Indonesia (PKI). Tak
tanggung-tanggung, bahkan peristiwa G30S yang lekat dengan PKI pun
di-dioramakan di Lubang Buaya sana. Bagi saya pribadi, doktrin itu merasuk kuat
ke dalam pikiran saya, bagaimana saya merasa ngeri terhadap PKI, bahkan pernah
terbayang juga apa yang terjadi apabila dahulu kala PKI itu sukses berkuasa di
Indonesia, tentunya bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang tak beragama, dan
berpaham komunis. Itulah pandangan saya tentang komunis, suatu paham tak
memercayai Tuhan, entah, pandangan saya benar atau tidak.
Mengapa saya begitu larut terhadap doktrin tersebut? Bayangkan
saja, cerita-cerita yang dijejalkan kepada anak-anak di zaman itu sangatlah
mengerikan. Bagaimana PKI dan antek-anteknya menyiksa para jendral besar negara
ini, memutilasi tubuhnya, menyilet-nyilet bagian wajahnya, hingga pembuangan
mayat-mayat para pembesar itu ke dalam sebuah lubang yang dinamakan Lubang
Buaya. Itu pandangan saya, bisa jadi juga sama dengan beberapa rekan sekalian.
Belum lagi, setiap tahun di tanggal 30 September pasti ditayangkan film
mengenai G30S/PKI, ada nonton barengnya segala pada waktu itu.
Pelajaran-pelajaran sejarah pun mendoktrin bahwa PKI ini berbahaya.
Pulang, sebuah novel fiksi yang berlatar kejadian non-fiksi
G30S/PKI merupakan buku yang saya baca untuk SRC 2013 kategori
pemenang/nominator KLA (Khatulistiwa Literary Award). Novel ini menceritakan
tentang para eksil (buronan politik) yang berada di luar negeri pada medio
tahun 60-an. Para eksil ini secara tak sengaja selamat dari tangkapan tentara
Indonesia yang sedang gencar-gencarnya menangkapi orang-orang yang terlibat
dalam organisasi PKI. Para eksil ini yaitu Dimas Suryo, Nugroho, Tjai dan
Risjaf sedang berada di luar negeri ketika pergolakan besar terjadi di tanah
air, mereka sedang dalam sebuah acara yang berkaitan dengan tempat mereka
bekerja yaitu sebuah surat kabar yang beraliran “kiri”. Mereka yang memang asli
warga Indonesia akhirnya terjebak di luar negeri tanpa bisa pulang ke negeri
asal padahal mereka sendiri tidak merasa “kiri”, dan hanya menjadi korban
kebiadaban politik saja.
Setting buku ini tak hanya tahun 60-an, ada satu lagi
peristiwa penting bangsa Indonesia yang dibahas di buku ini, yaitu reformasi
1998. Kali ini keempat eksil yang tadi diceritakan sudah sukses mendirikan
restoran becitarasa tanah air di Prancis sana. Sudut pandang cerita beralih
kepada Lintang Utara, yitu anak dari Dimas Suryo hasil pernikahannya dengan
seorang gadis Prancis. Lintang ini, yang terkena imbas “kiri” dari ayahnya
tanpa sengaja terlibat tugas akhir kuliah dengan tema Indonesia, negara asal
ayahnya. Dengan perjuangan yang berat, akhirnya Lintang berhasil masuk ke
Indonesia walaupun situasi politik sedang panas-panasnya, mirip ketika zaman
ayahnya dahulu di medio tahun 60-an.
Sebuah pelajaran penting saya peroleh dari buku ini.
Bagaimana imbas “kekirian” begitu sulit hilang dari merkea yang orangtuanya
terlibat dalam peristiwa yang terjadi di tahun 60an. Padahal, belum tentu juga
anak-anak serta keturunan berikutnya dari anggota PKI ini juiga beraliran kiri.
Bagaimana pengaruh dan perlakuan Orde Baru kepada mereka memang sangat
memuakkan. KTP ditandai ET (Eks Tapol), bahkan persyaratan-persyaratan ketat apabila mereka-mereka ini ingin
memasuki diunia kerja yang memegang peran strategis seperti di pemerintahan
atau posisi-posisi penting lainnya. Bahkan tak jarang keturunan “kiri” ini tak
mendapat pekerjaan yang layak akibat gelarnya tersebut. Leila S. Chudori,
sebagai penulis buku ini, secara cerdas menceritakan bagaimana keluarga tapol
ini menjadi kaum yang terisolir akibat peristiwa G30S/PKI, dan menutup cerita
di buku ini dengan sebuah peristiwa yang tak kalah penting, yaitu reforemasi
1998, yang juga sebagai pembuka jalan untuk para tapol ini kembali menghirup
udara segar tanpa embel-embel ET lagi.
Terkesan berta memang apabila hanya membaca sekilas
review-review pembaca buku Pulang ini, tapi saya berani menjamin bahwa buku ini
sama sekali tidak berat. Buku ini tak hanya sekedar berorientasi pada dunia
politik, tetapi banyak juga cerita cinta yang terjadi, bahkan cerita tentang
dunia kuliner disajikan pula disini. Memang, masih banyak hal-hal yang masih
menggantung mengenai tokoh-tokoh di buku ini, tapi hal tersbut dapat dimaafkan
dengan pengemasan cerita yang apik. Satu hal lain yang unik, yaitu mengenai
penokohan. Tokoh yang terlibat disini walaupun tidak begitu banyak namun
dijelaskan secara mendetail satu-persatu, bahkan tak jarang setiap bab
menceritakan tokoh dan sudut pandang yang berbeda, sehingga kita para pembaca
seolah bisa merasakan apa-apa yang dirasakan tokoh-tokoh di dalam novel ini
secara lebih dekat.
Buku ini sendiri ternyata berhasil menjadi pemenang KLA
tahun 2013 kategori prosa. Memang, banyak kontroversi menyertai kemenangan buku
ini terutama yang berkaitan dengan independensi juri, namun saya sebagai
pembaca awam merasa buku ini cukup layak untuk memenangkan penghargaan ini,
karena jalan cerita yang unik, lintas zaman, serta menyoroti dua peristiwa
penting di Indonesia yang berkaitan dengan nasib para orang-orang yang dianggap
“kiri”. Lima bintang.
Judul: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Tebal: 464 hal.
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: 2012
Rate: 5/5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar