Laman

Kamis, 28 Februari 2013

Sisi Menarik Lain dari Seorang Kartini




Sebuah biografi tentang wanita pembawa perubahan di Indonesia. Wanita yang mengangkat emansipasi dan kesetaraan lelaki dan wanita di Indonesia. Beliau adalah Raden Ajeng Kartini, anak dari bupati Jepara di kala itu, hasil perkawinannya dengan seorang wanita yang bisa disebut sebagai selirnya. Biografi ini ditulis oleh Pramodya Ananta Toer, berdasarkan surat-surat Kartini kepada beberapa orang sahabat penanya yang kebanyakan berasal dari negara Belanda.

Sejarah hidup Kartini secara lengkap dan gamblang diceritakan di buku ini. Tentunya dengan kutipan-kutipan dari surat yang Kartini tulis tersebut. Banyak hal menarik yang terungkap dari tulisan-tulisan Kartini ini, mulai dari masa kecilnya, kehidupan seninya, hingga pandangan-pandangannya terhadap bangsa pribumi dan bangsa luar negeri. Semua disajikan secara berurutan oleh Pram.

Ada beberapa hal menarik yang juga terungkap di biografi ini. Kita umumnya mengenal Kartini sebagai pahlawan Indonesia, namun tahukah bahwa sebenarnya bahasa Indonesia (dahulu Melayu) Kartini tidak begitu bagus? Bahkan, di dalam kesehariannya menulis dan “berjuang” untuk rakyat pribumi, beliau menggunakan bahasa Belanda sebagai senjatanya. Ya, beliau lebih fasih dan lancar dalam berkata-kata dan mengolah kata menggunakan bahasa Belanda. Tentunya ada alasan dibalik penggunaan bahasa Belanda ini. Beliau ingin perjuangan yang beliau lakukan lebih didengar dan diperhatikan secara langsung oleh penjajah Indonesia, yaitu bangsa Belanda. Dengan tulisan-tulisannya ini beliau ingin menegaskan, bahwa selama ini pribumi telah begitu ditindas oleh Belanda, dan beliau berharap, ada orang-orang Belanda yang tergugah dengan hal ini, serta mengikuti jejak Multatuli (yang juga penulis favorit beliau) untuk turut serta berjuang bersama pribumi dalam hal meluruskan kesalahan dan kekejaman bangsa Belanda terhadap bangsa Indonesia.

Bagian menarik lain dari biografi ini ialah bagaimana Pram menceritakan bahwa Kartini merupakan seorang kutu buku yang sehari-harinya tak jauh dari buku dan bacaan-bacaan yang pada saat zaman dahulu sangat sulit untuk ditemukan. Bahkan Kartini harus rela menunggu hingga berbulan-bulan agar kiriman bukunya dari Belanda sampai ke tangannya. Untuk bacaan favorit, tentu saja sastra Belanda yang paling beliau sukai, terutama Max Havelaar karangan Multatuli. Buku ini seolah menjadi inspirasinya dalam turut menggugah rasa nasionalismenya. Ada pula bacaan di luar karya sastra Belanda yang jadi favoritnya dan sering disebut-sebut di buku ini ialah “Quo Vadis?” Karangan Henryk Sienkiewicz. Bacaan-bacaan dari luar Belanda yang beliau baca ini tentu saja buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Perlu diketahui sebagai selingan, dua buku ini termasuk dalam daftar buku 1001 yang harus dibaca sebelum mati. Jadi dapat disimpulkan secara sederhana, bahwa Kartini mempunyai cita rasa dan selera yang lumayan tinggi terhadap karya sastra dunia.

Ada satu hal yang agak menggelitik bagi saya mengenai kehidupan Kartini. Hal tersebut adalah mengenai agama. Secara “KTP”, agama Kartini ialah islam, namun beliau sendiri menegaskan bahwa agama yang beliau kenal secara turun-temurun dari keluarganya ini kurang sreg di dalam hatinya. Beliau beranggapan bahwa agama ini hanya ia jalani sebagai suatu kebiasaan saja, tanpa mengetahui apa hakikat dan makna dari agama tersebut bagi dirinya. Hal ini mungkin dapat agak dipahami mengingat di kala itu kurangnya ilmu yang beliau dapatkan tentang keagamaan (terutama islam) ini. Hal ini dapat dilihat dari tak adanya bahasan di buku ini mengenai beliau yang belajar atau diajari tentang islam. Malahan, Kartini lebih dekat dengan agama Nasrani bahkan Buddha dalam hal pergaulannya sehari-hari, walaupun beliau menegaskan, bahwa yang paling penting ialah mengaplikasikan nilai-nilai luhur dari agama-agama tersebut di dalam kehidupan, karena pada dasarnya, semua agama mengajarkan kebaikan. Hal ini sedikit banyak membuat saya teringat kepada Pi Patel dalam Life of Pi dan sedikit membayangkan, apakah Yann Martel terinspirasi dari Kartini. Siapa yang tahu.

Terakhir, di dalam catatan penulis di bagian awal buku ini, Pram berharap bahwa buku ini dapat menjadi buku pelengkap bagi pelajaran-pelajaran di sekolah-sekolah lanjutan. Saya berpendapat, hal ini sangat baik apabila dapat dilaksanakan. Agar siswa dan generasi penerus bangsa ini tidak hanya mengenal Kartini hanya dari satu sisi saja dan dari sisi yang itu-itu saja, tetapi dapat pula melihat dari sisi lain yang tidak semuanya terungkap dalam pelajaran-pelajaran yang didapatkan di sekolah-sekolah.


Judul: Panggil Aku Kartini Saja
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Tebal: 304 hal.
Rate: 3/5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar