Sebuah biografi tentang wanita pembawa perubahan di
Indonesia. Wanita yang mengangkat emansipasi dan kesetaraan lelaki dan wanita
di Indonesia. Beliau adalah Raden Ajeng Kartini, anak dari bupati Jepara di
kala itu, hasil perkawinannya dengan seorang wanita yang bisa disebut sebagai
selirnya. Biografi ini ditulis oleh Pramodya Ananta Toer, berdasarkan
surat-surat Kartini kepada beberapa orang sahabat penanya yang kebanyakan
berasal dari negara Belanda.
Sejarah hidup Kartini secara lengkap dan gamblang
diceritakan di buku ini. Tentunya dengan kutipan-kutipan dari surat yang
Kartini tulis tersebut. Banyak hal menarik yang terungkap dari tulisan-tulisan
Kartini ini, mulai dari masa kecilnya, kehidupan seninya, hingga
pandangan-pandangannya terhadap bangsa pribumi dan bangsa luar negeri. Semua
disajikan secara berurutan oleh Pram.
Ada beberapa hal menarik yang juga terungkap di biografi
ini. Kita umumnya mengenal Kartini sebagai pahlawan Indonesia, namun tahukah
bahwa sebenarnya bahasa Indonesia (dahulu Melayu) Kartini tidak begitu bagus?
Bahkan, di dalam kesehariannya menulis dan “berjuang” untuk rakyat pribumi,
beliau menggunakan bahasa Belanda sebagai senjatanya. Ya, beliau lebih fasih
dan lancar dalam berkata-kata dan mengolah kata menggunakan bahasa Belanda.
Tentunya ada alasan dibalik penggunaan bahasa Belanda ini. Beliau ingin
perjuangan yang beliau lakukan lebih didengar dan diperhatikan secara langsung
oleh penjajah Indonesia, yaitu bangsa Belanda. Dengan tulisan-tulisannya ini
beliau ingin menegaskan, bahwa selama ini pribumi telah begitu ditindas oleh
Belanda, dan beliau berharap, ada orang-orang Belanda yang tergugah dengan hal
ini, serta mengikuti jejak Multatuli (yang juga penulis favorit beliau) untuk
turut serta berjuang bersama pribumi dalam hal meluruskan kesalahan dan
kekejaman bangsa Belanda terhadap bangsa Indonesia.
Bagian menarik lain dari biografi ini ialah bagaimana Pram
menceritakan bahwa Kartini merupakan seorang kutu buku yang sehari-harinya tak
jauh dari buku dan bacaan-bacaan yang pada saat zaman dahulu sangat sulit untuk
ditemukan. Bahkan Kartini harus rela menunggu hingga berbulan-bulan agar
kiriman bukunya dari Belanda sampai ke tangannya. Untuk bacaan favorit, tentu
saja sastra Belanda yang paling beliau sukai, terutama Max Havelaar karangan
Multatuli. Buku ini seolah menjadi inspirasinya dalam turut menggugah rasa nasionalismenya.
Ada pula bacaan di luar karya sastra Belanda yang jadi favoritnya dan sering
disebut-sebut di buku ini ialah “Quo Vadis?” Karangan Henryk Sienkiewicz.
Bacaan-bacaan dari luar Belanda yang beliau baca ini tentu saja buku yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Perlu diketahui sebagai selingan, dua
buku ini termasuk dalam daftar buku 1001 yang harus dibaca sebelum mati. Jadi
dapat disimpulkan secara sederhana, bahwa Kartini mempunyai cita rasa dan
selera yang lumayan tinggi terhadap karya sastra dunia.
Ada satu hal yang agak menggelitik bagi saya mengenai
kehidupan Kartini. Hal tersebut adalah mengenai agama. Secara “KTP”, agama
Kartini ialah islam, namun beliau sendiri menegaskan bahwa agama yang beliau
kenal secara turun-temurun dari keluarganya ini kurang sreg di dalam hatinya.
Beliau beranggapan bahwa agama ini hanya ia jalani sebagai suatu kebiasaan
saja, tanpa mengetahui apa hakikat dan makna dari agama tersebut bagi dirinya.
Hal ini mungkin dapat agak dipahami mengingat di kala itu kurangnya ilmu yang
beliau dapatkan tentang keagamaan (terutama islam) ini. Hal ini dapat dilihat
dari tak adanya bahasan di buku ini mengenai beliau yang belajar atau diajari
tentang islam. Malahan, Kartini lebih dekat dengan agama Nasrani bahkan Buddha
dalam hal pergaulannya sehari-hari, walaupun beliau menegaskan, bahwa yang
paling penting ialah mengaplikasikan nilai-nilai luhur dari agama-agama
tersebut di dalam kehidupan, karena pada dasarnya, semua agama mengajarkan
kebaikan. Hal ini sedikit banyak membuat saya teringat kepada Pi Patel dalam
Life of Pi dan sedikit membayangkan, apakah Yann Martel terinspirasi dari
Kartini. Siapa yang tahu.
Terakhir, di dalam catatan penulis di bagian awal buku ini,
Pram berharap bahwa buku ini dapat menjadi buku pelengkap bagi
pelajaran-pelajaran di sekolah-sekolah lanjutan. Saya berpendapat, hal ini
sangat baik apabila dapat dilaksanakan. Agar siswa dan generasi penerus bangsa
ini tidak hanya mengenal Kartini hanya dari satu sisi saja dan dari sisi yang
itu-itu saja, tetapi dapat pula melihat dari sisi lain yang tidak semuanya
terungkap dalam pelajaran-pelajaran yang didapatkan di sekolah-sekolah.
Judul: Panggil Aku Kartini Saja
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Tebal: 304 hal.
Rate: 3/5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar