Laman

Selasa, 19 Juni 2012

Ramai



"Di persimpangan, langkahku terhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera, orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu"



Lirik lagu Yogyakarta dari KLA Project ini sedang mengalun lembut di telingaku. Tanpa sadar, pikiranku menerawang jauh ke beberapa tahun yang lalu, mungkin tepatnya puluhan tahun yang lalu, ketika aku sedang berjalan sendirian di tengah keriuhan Malioboro.

***

Siang itu, aku tak punya rencana apa-apa untuk menghabiskan waktuku di kota Yogyakarta ini. Acara yang kususun di kota ini telah berjalan sesuai rencana, hari ini memang hari terakhirku di Yogyakarta, hari yang sengaja kubuat untuk bersantai, sekedar melepaskan penat setelah lelah bekerja. Lebih dari itu, hari ini sengaja kupakai untuk bernostalgia, mengenang Yogyakarta-ku yang telah menggoreskan kisah pedih di dalam hatiku. Kuputuskan untuk berjalan-jalan ke Malioboro, sekedar untuk berinteraksi dengan masyarakat Yogya yang ada di daerah itu, sengaja tempat ini kupilih karena di tempat ini pula aku sempat menghabiskan waktu dengan gadis pujaanku yang telah tiada.

Sebenarnya aku tidak sengaja mencintai kota ini, aku pun tak sengaja hadir di kota ini, aku kesini karena dirinya, gadis pujaanku, yang memang tinggal di kota ini. Banyak hal yang telah kami lakukan bersama di kota ini, sekedar nongkrong bareng di angkringan yang ada, mencicipi  jajanan di pedagang kaki lima yang bertebaran di sepanjang jalan, hingga menikmati alunan nada dan suara yang dilagukan oleh para musisi jalanan yang memang banyak tersebar di kota ini.

Kini aku berjalan sendirian tanpa gadisku, aku mengenang tempat-tempat yang dari dulu masih lestari hingga kini. Sempat pula aku berbincang dengan pedagang langgananku dahulu yang sampai sekarang masih ada di Malioboro ini. Aku tersenyum sendiri menikmati Malioboro ini, seakan membalas senyuman yang diberikan Malioboro kepadaku. Bisa dikatakan, senyum Malioboro ini tidak akan lekang oleh waktu, sampai sekarang aku masih bisa merasakan keasrian dan keaslian daerah ini, seakan tak berubah digerus oleh waktu. Yang menakjubkan, nampaknya daerah Malioboro ini tidak pernah sepi, tidak pernah kehabisan pengunjung, baik itu warga asli maupun wisatawan. Walau bukan asli Yogya, aku yang menganggap diriku “pulang” ke Yogyakarta tetap bangga dengan keadaan ini. Terselip rasa haru di dadaku, andai saja gadisku masih ada, tentu akan kunikmati Yogya ini bersamanya.

Setelah lelah berjalan, aku putuskan untuk duduk di salah satu warung kaki lima, setelah memesan makanan, akupun mulai mengeluarkan buku catatan yang biasa kubawa-bawa, dan mulai menulis...

***

“Ayah...” aku dikejutkan oleh suara istriku. “Lagi nostalgia ni yee..” cibirnya.

“Ah, Mama ngegangguin Ayah aja nih,“ sahutku sambil merangkul istriku.

“Mau nih kapan-kapan kita nostalgia ke Yogyakarta lagi?” istriku mulai menggoda.

“Boleh banget Ma, tapi nanti aja ya ngomonginnya, sekarang Ayah pengen makan,” usirku secara halus.

“Huu...bilang aja gak mau digangguin,” sahut istriku sambil beranjak pergi mengambilkan makanan.

Ah, beruntungnya aku, walau gadisku telah tiada, namun aku telah menemukan penggantinya di dalam diri istriku. Aku juga merasa bersyukur karena tulisan yang kutulis di warung kaki lima dahulu itu (yang akhirnya disempurnakan secara bersama-sama dengan temanku) akhirnya menjadi salah satu kenangan yang abadi sampai sekarang.

Oh ya, kalau kalian penasaran, nama istriku adalah... Ira Wibowo.

6 komentar: