Sebenarnya cerita tentang temanku ini agak rahasia. Bukan apa-apa,
dalam kasus kali ini Holmes "membohongi" aku sedemikian rupa, ia berhasil membuat
aku keki. Aku pun terkadang malu sendiri ketika membaca kisah ini, tetapi apa
boleh buat, akhirnya kisah ini memang harus diceritakan kepada pembaca, tak
perduli bagaimana perasaanku, melalui kisah yang aku ceritakan ini aku
sekaligus ingin mengenang Holmes sebagai seorang detektif sekaligus sahabat
yang hebat, terutama untukku.
Cerita ini bermula ketika aku berkunjung ke Baker Street di
saat aku sedang bebas tugas karena memang jadwal praktikku sudah selesai
beberapa jam yang lalu. Seperti biasa, aku dikejutkan dengan tingkah laku Holmes
yang memang agak unik, kali ini ia sedang membaca sebuah buku dengan gaya yang
benar-benar tidak masuk akal, kepala di bawah, kaki di atas.
“Oh temanku Watson, sudah kuduga kau akan datang hari ini,”
ia menyapaku sambil memperbaiki posisi bacanya ke posisi yang normal.
“Darimana kau tahu?” Aku tahu pertanyaanku ini konyol, maka
aku langsung bertanya lagi sebelum ia menjawab, “omong-omong, buku apa yang kau
baca itu?”
Sambil berdehem ia menjawab, “akan kuceritakan Watson,
sebuah kasus unik yang melibatkan alat pembunuh yang juga unik, alat pembuka
amplop!”
Aku pun kebingungan, karena aku memang belum tahu seperti
apa alat pembuka amplop tersebut. Belum sempat aku berbicara, dia langsung
menyela dengan mengambil laptop-nya dan langsung googling dengan kata kunci “Alat
Pembuka Amplop”.
“Alat ini yang kumaksud, temanku, bukankah cukup mengerikan
untuk dipakai menikam seseorang yang kau benci setengah mati?” Ia menunjukkan
sebuah gambar.
Aku pun menggeleng, “baru tahu aku, ayo ceritakan
selengkapnya Holmes, jangan membuat penasaran!”
“Baiklah dokter, seperti biasa kau memang selalu tak
sabaran. Kita mulai dahulu dengan siapa-siapa yang terlibat di dalam kasus ini.
Pertama, Luana Awanti, ia seorang...” belum selesai ia bicara, aku keburu
menyela, “tunggu Holmes, nama apa itu Luana? Terdengar asing untuk nama seorang
Inggris.”
“Kisah ini terjadi di Indonesia teman, tolong jangan banyak
tanya dahulu.”
“Tapi kapan kau ke...” kali ini giliran dia yang menyelaku, “mau
aku ceritakan tidak? Diamlah sejenak Watson!”
Aku pun terdiam dan mengangguk.
“Baiklah aku lanjutkan. Luana Awanti ini seorang gadis muda
yang telah ditinggal ayahnya semenjak ia lahir. Hidup berdua dengan ibunya
dalam keadaan miskin dan dengan sang ibu dalam kondisi yang sakit-sakitan, ia
harus siap ketika sewaktu-waktu ibunya dipanggil oleh yang Maha Kuasa karena sakitnya
yang semakin parah. Suatu hari, hal itu pun terjadi, ibunya meninggal dunia. Hanya
satu hal yang ia wariskan kepada Luana, ia memberitahu Luana sebuah hal
penting, hal yang sangat penting sebenarnya. Ibunya memberitahu bahwa
sebenarnya ayah dari Luana masih hidup, dan ia adalah Prayogo Iksan, seorang
jutawan yang mempunyai perusahaan sendiri. Seorang lelaki yang telah mempunyai
seorang istri dan tiga orang anak yang hampir sebaya dengan Luana. Prayogo
Iksan sendiri tidak mengetahui jika ibu Luana sedang mengandung ketika ia
akhirnya lebih memilih istrinya daripada ibu dari Luana.
“Singkat cerita, karena penyesalannya, Prayogo Iksan pun
menerima Luana di rumahnya dengan tangan terbuka. Tetapi sayangnya, gara-gara
kedatangan Luana, suasana di ruman Prayogo Iksan menjadi tidak kondusif. Lilik,
istri dari Prayogo Iksan dan Yana, anak kedua dari Prayogo Iksan sangat
memusuhi Luana dan tidak menyukai kehadiran Luana di rumah mereka. Hanya
Ardian, putra tertua Prayogo Iksan yang menyambut Luana dengan tangan terbuka,
sementara Yanti, si bungsu memilih untuk mengikuti jejak Yana dan Lilik,
meskipun tidak secara frontal karena Yanti pada dasarnya memang pendiam.
“Luana kemudian meminta Prayogo Iksan untuk ikut bekerja di
perusahaannya karena ia tidak betah hanya berdiam diri di rumah. Di tempat
inilah Luana berkenalan dengan Pak Joko yang berusia dua kali lipatnya yang
diam-diam mencintainya. Untuk meningkatkan kemampuannya, Luana memutuskan untuk
mengikuti kursus komputer, tak jarang ia diantarjemput oleh Pak Joko ke tempat
kursusnya. Sebenarnya, dengan mengikuti kursus ini Luana agak sedikit
diuntungkan, karena secara tidak langsung ia akan pulang agak malam dan
menghindarkannya dari bertatap muka dengan Lilik dan Yana ketika sampai di
rumah.
“Sampai suatu hari, ketika Prayogo Iksan sedang mengurus
surat-surat untuk mensahkan status Luana sebagai anak kandungnya, terjadilah
peristiwa tragis itu. Prayogo Iksan yang berada di dalam kamar kerja di
rumahnya terbunuh secara tragis, ada orang yang menikamnya dari belakang! Lilik
dan Yana ketika kejadian sedang berada di rumah, sementara Yanti sedang di toko
buku dan Ardian sedang bermain tenis. Adapun Luana, ketika bapaknya terbunuh ia
sedang berada di tempat kursus dan akan menonton bioskop bersama Pak Joko. Dari
penyelidikan polisi, diketahui bahwa alat pembuka amploplah yang digunakan
untuk membunuh Prayogo Iksan. Itulah sebabnya aku menunjukkan alat pembuka
amplop ini kepadamu Watson.
“Posisi Luana yang makin terjepit di rumah itu membuat
penyelidikan buntu karena Luana ngotot untuk meninggalkan rumah itu. Untung saja
setelah dibujuk, Luana bersedia kembali ke rumah Prayogo Iksan guna menjebak si
pelaku pembunuhan yang sebenarnya. Selang beberapa hari, diketahui bahwa alat
pembuka amplop tersebut hanyalah sebagai pengecoh saja, karena alat yang
dipakai untuk membunuh Prayogo Iksan adalah sebuah pisau yang kedua sisinya
tajam. Dari hal itulah akhirnya si pembunuh dapat diketahui, bingo!
“Begitulah Watson, sebelum memutuskan suatu perkara, siapa yang
menjadi pembunuh, semua hal harus kita perhitungkan, bahkan yang tidak
mempunyai alibi sekalipun.”
Aku yang penasaran mengenai siapa si pembunuh sebenarnya
kemudian memaksa Holmes untuk mengatakannya. Tapi dengan terbahak ia hanya
menjawab, “tidak seru apabila aku katakan Watson. Bacalah sendiri buku ini, kau
akan merasakan sensasinya.”
Aku pun mengalah, “oke Holmes, baiklah. Berikan aku buku
itu, biar aku membaca sendiri kisahmu itu.” Kurebut buku itu dari tangannya dan
mulai kubaca sekilas.
“Tunggu Watson, sepertinya kau salah paham...”
Tanpa mengacuhkannya, aku mencerocos sendiri, “hm, alur yang
oke, berurutan dari awal hingga akhir bahkan tiap bab ada tanggalnya
sendiri-sendiri. Kau tahu saja kalau aku tidak nyaman membaca buku yang
mempunyai alur yang maju mundur Holmes.”
“Tapi...,” Holmes mencoba menyelaku.
Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, aku mulai berbicara
lagi, “omong-omong lagi, tumben sekali kau membukukan kisahmu sendiri Holmes,
biasanya kau paling malas dalam melakukan hal seperti ini dan selalu
mengandalkanku untuk membukukan kisah-kisahmu. Mungkin ini sebuah perkembangan
yang baik buatmu apabila suatu saat aku yang meninggalkanmu terlebih dahulu
kelak.”
“Tapi...,” Holmes mencoba menyelaku lagi.
Aku memotongnya lagi, “jadi, kapan sebenarnya kau
mengunjungi Indonesia tanpa mengajak sahabatmu ini Holmes?”
Ia pun terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Terang saja
ini membuat aku kaget. Beberapa menit kemudian setelah tawanya berhenti, ia pun
menjelaskan sambil tersenyum, “bacalah dengan jelas Watson, buku itu bukan
bercerita tentang aku, dan bukan aku yang memecahkan kasus itu. Ini adalah
kisah temanku dari Indonesia, Kapten Polisi Kosasih dan Gozali, seorang mantan
narapidana yang membantunya. Sebenarnya Gozali-lah yang memecahkan kasus ini,
ia detektif yang hebat Watson!”
Kubuka buku itu, dan memang aku menemukan nama Gozali-lah
yang menjadi tokoh utama pemecah kasus pembunuhan ini. Sambil melemparkan buku
itu ke wajah Holmes, aku pun bergegas meninggalkan Baker Street, meninggalkan
Holmes yang mulai lagi tertawa terbahak-bahak.
Judul: Misteri Alat Pembuka Amplop
Penulis: S. Mara Gd
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 1991
Tebal: 424 hal.
Rate: 5/5
Wah..malah jadi fanfic-nya Sherlock. Keren!!
BalasHapusWaduh, jadi malu, hihi..,
HapusMakasih mbak sayangnya gagal menang src :'(