Laman

Kamis, 13 Juni 2013

Bersungguh-sungguh, Sabar dan Jalan yang Lurus



Judul: Rantau 1 Muara
Penulis: A. Fuadi
Tebal: 400 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2013
Rate: 5/5


Man saara ala darbi washala...
Siapa yang berjalan di jalannya, akan sampai di tujuan...


Muara, sebuah tempat terakhir, tempat berlabuh untuk selama-lamanya, tempat berhenti, istirahat yang abadi. Judul yang tepat untuk buku ketiga dari trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi. Rantau 1 Muara. Ya, buku ini seakan menjadi muara bagi trilogi buku ini, juga muara bagi si penulis dalam perjalanan hidupnya mengelilingi dunia dan hidup di negeri orang.

Gabungan Tiga ‘Mantra’
Masih ingat dengan mantra di dua buku sebelumnya, Man Jadda wa jada (siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil) dan Man shabara zhafira (siapa yang bersabar akan beruntung)? Kedua mantra yang dipelajari Alif di Pondok Madani ini dilengkapi dengan mantra ketiga seperti dikutip di atas: Siapa yang berjalan di jalannya, akan sampai di tujuan. Memang terkesan klise, tentu saja seseorang yang berada di jalan yang tepat pasti akan sampai tujuan, lalu apa maksud dari mantra ini? Disinilah peran kedua mantra terdahulu akan diperlukan. Tentunya, untuk istiqomah di jalan yang lurus, jalan yang tepat, diperlukan usaha yang keras serta kesabaran yang tak berbatas. Apabila kedua hal tersebut tidak ditemukan, niscaya tujuan kita tak akan tercapai, karena jalan yang dilewati sudah bukan jalannya lagi.

Inilah kisah Alif di buku pamungkas, ketiga mantra tersebut diaplikasikan langsung dalam kehidupan yang ia jalani. Menarik menyimak ‘petualangan’ Alif ketika ia harus bersabar dengan keadaan di Indonesia pada tahun 1998 yang sedang mengalami krisis. Bersabar karena tahun 1998 tersebut merupakan tahun tepat ia lulus dari UNPAD. Bersabar karena krisis yang terjadi menyebabkan lapangan pekerjaan menjadi sempit dan sangat sulit untuk mencari pekerjaan di waktu itu. Boleh jadi, kesulitan yang Alif alami ini merupakan akibat dari kesombongan yang, walaupun sedikit, sempat terbersit di dalam pikiran Alif. Bagaimana ia, seorang yang telah melanglangbuana ke tanah Amerika (Kanada tepatnya), seorang yang karya tulisnya selalu dimuat di media, merasa jumawa dan merasa telah berhasil. Disinilah jalan yang ia ambil mulai salah langkah, sehingga tujuan yang ia capai pun menjadi kabur, dan mantra ketiga pun mulai melenceng dari hidupnya.

Setelah bersabar dengan keadaan, keajaiban mantra kedua pun muncul. Keberuntungan mulai ia tapaki kembali. Karier mulai ia jalani. Satu hal yang ia yakini kembali ialah: mantra pertama tidak boleh ia lepaskan lagi, ia harus bersungguh-sungguh, dan yang paling penting, ia tidak boleh sombong. Segala hal buruk yang menimpanya perlahan-lahan mulai lenyap, ia yang tadinya sempat dikejar debt collector, bahkan sampai absen dalam memberi kiriman uang untuk Amak di kampung mulai sukses menapaki karier di salah satu media yang sedang bangkit kembali setelah keterpurukan  akibat rezim Orde Baru, nama media itu ialah Derap. Disinilah Alif mulai menggeluti kerasnya dunia pers, mulai dari uang panas yang melambai-lambai dari narasumber, hingga pengalaman mengejar seorang jenderal utnuk diwawancarai. Di media ini pulalah hati Alif mulai tertambat pada seorang gadis cantik bernama Dinara. Alif, yang lulusan pesantren tentunya tidak punya pengalaman dan tidak ingin pula untuk berpacaran, maka ia hanya memendam impiannya terhadap Dinara, impian untuk memperistrinya. Ia sadar, sebagai wartawan, gaji yang ia peroleh belum cukup untuk berkeluarga maka ia pun hanya bisa pasrah dan berserah. Apalagi, ia kemudian mendapat beasiswa untuk belajar di Washington DC. Ini adalah berkat mantra pertama yang ia pegang teguh, walau ada konsekuensi untuk ini, ia dan Dinara akan semakin jauh, terpisah oleh jarak dan waktu.

Washington DC. Inilah perhentian Alif berikutnya. Kota ini bukan menjadi muara Alif, karena ia sendiri belum tahu kapan ia akan bermuara. Bagi Alif, rasa penasaran, dan mungkin rasa cintanya terhadap Dinara masih terus mekar di hatinya. Bisa dibilang, walau badan Alif berada di DC, namun hati, jiwa dan raga Alif berada di Jakarta, tepatnya ada pada diri Dinara. Disinilah kombinasi ketiga mantra tersebut berhasil secara efektif. Alif yang berada pada jalan yang menurutnya tepat dengan tak mau berpacaran, langsung to the point untuk mengajak Dinara menikah. Niatnya ini tentunya sungguh-sungguh dan berasal dari hati, maka dengan bermodal kesabaran dan bantuan dari Dinara dan ibunya, sedikit-sedikit ia mulai dapat meluluhkan hati sang calon ayah mertua. Tentunya bukan hal yang mudah untuk melamar anak gadis orang hanya melalui telepon mengingat jarak antara DC-Jakarta, namun nyatanya Alif berhasil, dan ini berkat tiga mantra yang dipegang teguh oleh Alif.

Biografi berbentuk Novel
Pembaca setia buku trilogi Negeri 5 Menara ini pasti paham siapakah Alif sebenarnya. Ya, Alif ialah si penulis itu sendiri, Ahmad Fuadi. Lewat buku ini seakan Fuadi membuat biografi dirinya sendiri dengan cara yang enak dibaca melalui seseorang yang bernama Alif. Pengalaman-pengalaman menarik yang dialami Fuadi dituangkan dengan elok dan unik di dalam buku ini. Selain itu, sedikit-sedikit Fuadi berdakwah pula melalui tulisannya ini. Banyak hal dan pelajaran penting yang Fuadi sisipkan disini, tentunya selain ketiga mantra yang jelas-jelas sekarang ini banyak menjadi motivasi bagi sebagian orang, terutama pecinta karya beliau.

Fuadi, yang memang lulusan pesantren seakan hendak menyingkirkan dogma bahwa lulusan pesantren pasti menjadi kiai atau ustadz. Seorang lulusan pesantren juga seorang manusia biasa, yang bisa jatuh cinta, bahkan bisa sejenak tinggi hati apabila telah mendapatkan yang ia tuju. Bisa dibilang, hampir tidak terlihat jejak seorang lulusan pesantren di dalam tokoh Alif, inilah salah satu kelebihan dari Fuadi. Beliau mampu membuat buku ini menjadi lebih ‘umum’. Identitas Alif sebagai lulusan pesantren mungkin hanya terlihat dari mantra-mantra yang ia pegang teguh, karena secara penampakan, Alif seperti orang biasa.

Aplikasi ‘Mantra’ di kehidupan sekitar Alif
Ternyata, bukan hanya Alif yang memegang teguh ketiga mantra ‘sakti’ ini. Mungkin, memang kehidupan di sekitar Alif tidak mengenal mantra ini secara langsung, tetapi prinsip-prinsip mantra ini telah diaplikasikan.
Pertama, majalah Derap tempat Alif bekerja. Mantra ini secara tidak langsung dipakai oleh majalah ini. Majalah yang sempat dibredel di rezim orde baru ini secara bersabar tetap bersungguh-sungguh dan berada pada jalannya dalam memberitakan hal-hal secara terbuka dan apa adanya. Terbukti, hal ini berhasil, majalah ini menjadi majalah yang sedikit keras terhadap pemerintah, namun jujur dan terbuka. Sampai sekarang, majalah ini masih ada, bahkan telah bertransformasi menjadi tabloid. Inilah salah satu bukti pentingnya ketiga prinsip dalam mantra yang Alif yakini.
Kedua, Connie Picciotto. Bersabar, mungkin inilah yang ia lakukan bersama almarhum suaminya yang telah mendahuluinya pada tahun 2009. Ia berkemah di depan White House di DC guna menentang kebijakan-kebijakan Amerika yang selalu menggunakan perang dan kekerasan sebagai solusi. Spanduk yang selalu ia bentangkan berbunyi: War is not the Answer. Ya, ia menentang dengan cara bersabar untuk tetap berkemah di depan White House sejak tahun 1981! Semoga saja kesabarannya ini akan berbuah keberhasilan dan tak akan ada lagi korban peperangan terutama akibat ulah Amerika Serikat.

Akhirnya Bermuara
Satu hal yang ingin disampaikan secara tersirat maupun tersurat dari judul Rantau 1 Muara ini ialah bukan sekedar muara tempat kita awal berasal. Seperti Alif yang mempunyai kampung halaman di Indonesia, tepatnya di Minang, sebagai muaranya dan ia bingung untuk kapan kembali bermuara. Buku ini mengandung oesan lebih dari itu. Fuadi seakan ingin mengingatkan para pembaca bahwa muara kita sebenarnya lebih dari itu. Muara yang dimaksud disini ialah Tuhan yang menciptakan kita. Pesan yang ingin disampaikan yaitu sebagai apapun kita hidup, pada akhirnya kita akan berpulang dan kembali kepada-Nya. Masih berkaitan dengan ketiga mantra yang ada, bersungguh-sungguhlah dalam menjalani hidup, bersabarlah dalam menghadapi ujian, dan tetaplah pada jalan yang lurus, jalan yang akan membawa kita menuju satu tujuan, satu muara yang indah di sisi-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar