Jumat, 29 November 2013

Miss Marple - 13 Kasus



Entah kenapa dari dahulu saya kurang menyukai Miss Marple, untuk karya dari Agatha Christie jelaslah saya lebih menyukai Hercule Poirot, mungkin karena Poirot lebih beraksi dan lebih menantang dibandingkan Miss Marple dalam melakukan aksinya. Jane Marple, itu nama lengkap si nenek tua yang hidup seorang diri di sebuah desa yang bernama St. Mary Mead. Dalam melakukan dan memecahkan kasus, ia selalu bercermin pada kisah-kisah lama yang menimpa orang-orang di sekelilingnya, karena ia yakin setiap kisah pasti berulang.

Buku yang saya baca kali ini berjudul Tiga Belas Kasus atau The Thirteen Problems. Buku ini terbit pertama kali di tahun 1932, diterjemahkan pertama kali ke bahasa Indonesia pada tahun 1997, dan saya membaca buku cetakan pertamanya. Seperti terlihat dari judul, buku ini ialah kumpulan dari tige belas kasus yang terjadi di kehidupan Miss Marple. Terdiri dari 13 bab dengan konsep kumpulan cerita perbabnya, Miss Marple mencoba untuk setidaknya lebih terlibat dalam kasus-kasus tersebut.

Cerita pertama berjudul Klub Selasa Malam. Cerita ini tentang sebuah keluarga yang dikejutkan oleh kematian mendadak sang nyonya rumah. Kematian yang tadinya dianggap bunuh diri ini akhirnya terpecahkan setelah ada salah seorang anggota keluarga tersebut yang diet, hanya itulah satu-satunya petunjuk. Miss Marple sendiri mengawali pemecahan kasus ini gara-gara ia pernah mempunyai tetangga dehgan kondisi keluarga seperti keluarga yang terkena tragedi tersebut. Perselingkuhanlah yang akhirnya menjadi inti kasus kematian ini. Cerita kedua ialah Rumah Pemujaan Astarte. Berhubungan dengan kisah klenik yang ada di Astarte itu, seorang pemuda meninggal dunia ketika berada di sekitar Rumah Pemujaan tersebut. Ternyata ini adalah pembunuhan, dimana pembunuh tersebut mampu memanfaatkan mitos yang terjadi dan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Motifnya: cinta dan harta. Batangan-Batangan Emas merupakan cerita yang bersetting cukup menarik, yaitu di Cornwall. Cornwall sendiri pernah muncul di cerita Lima Sekawan, dan kedua cerita ini mempunyai satu muara yang sama, yaitu harta karun. Sempat terpikir, apakah Cornwall yang sebenarnya juga mempunyai cerita-cerita harta karun semacam itu atau hanya fiksi belaka. Cerita lainnya berjudul Noda Darah di Trotoar, ide dasar kasus ini ialah penipuan oleh sepasang suami istri, kejahatan yang dilakukan oleh suami istri ini akhirnya terungkap melalui ditemukannya noda darah di trotoar tersebut.

Masih banyak motif-motif lain yang diceritakan, ada yang mengambil reaksi kimia sebagai dasarnya, hingga hal-hal lainnya. Cerita paling menarik ialah cerita di bab ketigabelas yang berjudul Mati Tenggelam, hal ini disebabkan oleh prediksi Miss Marple atas seorang pelaku kehahatan yang ternyata sangat tepat, padahal tadinya orang yang dimaksud sangat tidak berkaitan debgan kasus itu.


Yang unik lagi dari cerita ini ialah bagaimana kasus-kasus ini tidak diakami secara langsung oleh Miss Marple. Cerita-cerita ini diceritakan oleh kawan-kawan Miss Marple dalam sebuah klub yang dibentuk mendadak yang bernama Klub Selasa Malam. Klub ini setiap Selasa malamnya menceritakan berbagai kasus-kasus unik dan tak masuk akal, untuk kemudian didiskusikan bersama. Hebatnya, dalam setiap kasus, tebakan si tokoh utama kita ini selalu benar! Nah, walaupun demikian, hal ini yang kurang saya sukai, karena Miss Marple tak terlibat langsung sehingga faktor keseruannya berkurang. Makanya saya hanya memberi buku ini 3 bintang saja.


Judul: The Thirteen Problems - Tiga Belas Kasus
Penulis: Agatha Christie
Tebal: 322 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 1932 (1st) / 1997 (read)
Rate: 3/5

Dimas Suryo & Lintang Utara (ingin) Pulang



Buat kalian, dan terutama saya yang hidup di zaman Orde Baru, tentunya merasakan betul bagaimana doktrin yang dijejalkan oleh pemerintah di masa itu tentang Partai Komunis Indonesia (PKI). Tak tanggung-tanggung, bahkan peristiwa G30S yang lekat dengan PKI pun di-dioramakan di Lubang Buaya sana. Bagi saya pribadi, doktrin itu merasuk kuat ke dalam pikiran saya, bagaimana saya merasa ngeri terhadap PKI, bahkan pernah terbayang juga apa yang terjadi apabila dahulu kala PKI itu sukses berkuasa di Indonesia, tentunya bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang tak beragama, dan berpaham komunis. Itulah pandangan saya tentang komunis, suatu paham tak memercayai Tuhan, entah, pandangan saya benar atau tidak.

Mengapa saya begitu larut terhadap doktrin tersebut? Bayangkan saja, cerita-cerita yang dijejalkan kepada anak-anak di zaman itu sangatlah mengerikan. Bagaimana PKI dan antek-anteknya menyiksa para jendral besar negara ini, memutilasi tubuhnya, menyilet-nyilet bagian wajahnya, hingga pembuangan mayat-mayat para pembesar itu ke dalam sebuah lubang yang dinamakan Lubang Buaya. Itu pandangan saya, bisa jadi juga sama dengan beberapa rekan sekalian. Belum lagi, setiap tahun di tanggal 30 September pasti ditayangkan film mengenai G30S/PKI, ada nonton barengnya segala pada waktu itu. Pelajaran-pelajaran sejarah pun mendoktrin bahwa PKI ini berbahaya.

Pulang, sebuah novel fiksi yang berlatar kejadian non-fiksi G30S/PKI merupakan buku yang saya baca untuk SRC 2013 kategori pemenang/nominator KLA (Khatulistiwa Literary Award). Novel ini menceritakan tentang para eksil (buronan politik) yang berada di luar negeri pada medio tahun 60-an. Para eksil ini secara tak sengaja selamat dari tangkapan tentara Indonesia yang sedang gencar-gencarnya menangkapi orang-orang yang terlibat dalam organisasi PKI. Para eksil ini yaitu Dimas Suryo, Nugroho, Tjai dan Risjaf sedang berada di luar negeri ketika pergolakan besar terjadi di tanah air, mereka sedang dalam sebuah acara yang berkaitan dengan tempat mereka bekerja yaitu sebuah surat kabar yang beraliran “kiri”. Mereka yang memang asli warga Indonesia akhirnya terjebak di luar negeri tanpa bisa pulang ke negeri asal padahal mereka sendiri tidak merasa “kiri”, dan hanya menjadi korban kebiadaban politik saja.

Setting buku ini tak hanya tahun 60-an, ada satu lagi peristiwa penting bangsa Indonesia yang dibahas di buku ini, yaitu reformasi 1998. Kali ini keempat eksil yang tadi diceritakan sudah sukses mendirikan restoran becitarasa tanah air di Prancis sana. Sudut pandang cerita beralih kepada Lintang Utara, yitu anak dari Dimas Suryo hasil pernikahannya dengan seorang gadis Prancis. Lintang ini, yang terkena imbas “kiri” dari ayahnya tanpa sengaja terlibat tugas akhir kuliah dengan tema Indonesia, negara asal ayahnya. Dengan perjuangan yang berat, akhirnya Lintang berhasil masuk ke Indonesia walaupun situasi politik sedang panas-panasnya, mirip ketika zaman ayahnya dahulu di medio tahun 60-an.

Sebuah pelajaran penting saya peroleh dari buku ini. Bagaimana imbas “kekirian” begitu sulit hilang dari merkea yang orangtuanya terlibat dalam peristiwa yang terjadi di tahun 60an. Padahal, belum tentu juga anak-anak serta keturunan berikutnya dari anggota PKI ini juiga beraliran kiri. Bagaimana pengaruh dan perlakuan Orde Baru kepada mereka memang sangat memuakkan. KTP ditandai ET (Eks Tapol), bahkan persyaratan-persyaratan  ketat apabila mereka-mereka ini ingin memasuki diunia kerja yang memegang peran strategis seperti di pemerintahan atau posisi-posisi penting lainnya. Bahkan tak jarang keturunan “kiri” ini tak mendapat pekerjaan yang layak akibat gelarnya tersebut. Leila S. Chudori, sebagai penulis buku ini, secara cerdas menceritakan bagaimana keluarga tapol ini menjadi kaum yang terisolir akibat peristiwa G30S/PKI, dan menutup cerita di buku ini dengan sebuah peristiwa yang tak kalah penting, yaitu reforemasi 1998, yang juga sebagai pembuka jalan untuk para tapol ini kembali menghirup udara segar tanpa embel-embel ET lagi.

Terkesan berta memang apabila hanya membaca sekilas review-review pembaca buku Pulang ini, tapi saya berani menjamin bahwa buku ini sama sekali tidak berat. Buku ini tak hanya sekedar berorientasi pada dunia politik, tetapi banyak juga cerita cinta yang terjadi, bahkan cerita tentang dunia kuliner disajikan pula disini. Memang, masih banyak hal-hal yang masih menggantung mengenai tokoh-tokoh di buku ini, tapi hal tersbut dapat dimaafkan dengan pengemasan cerita yang apik. Satu hal lain yang unik, yaitu mengenai penokohan. Tokoh yang terlibat disini walaupun tidak begitu banyak namun dijelaskan secara mendetail satu-persatu, bahkan tak jarang setiap bab menceritakan tokoh dan sudut pandang yang berbeda, sehingga kita para pembaca seolah bisa merasakan apa-apa yang dirasakan tokoh-tokoh di dalam novel ini secara lebih dekat.


Buku ini sendiri ternyata berhasil menjadi pemenang KLA tahun 2013 kategori prosa. Memang, banyak kontroversi menyertai kemenangan buku ini terutama yang berkaitan dengan independensi juri, namun saya sebagai pembaca awam merasa buku ini cukup layak untuk memenangkan penghargaan ini, karena jalan cerita yang unik, lintas zaman, serta menyoroti dua peristiwa penting di Indonesia yang berkaitan dengan nasib para orang-orang yang dianggap “kiri”. Lima bintang.


Judul: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Tebal: 464 hal.
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: 2012
Rate: 5/5

Thomas & Prudence - Musuh Dalam Selimut



The Secret Adversary, atau Musuh Dalam Selimut, merupakan buku kedua yang ditulis oleh Agatha Christie. Buku ini bukan bercerita tentang Hercule Poirot, melainkan memperkenalkan dua orang muda yang akhirnya berpasangan, yaitu Thomas “Tommy” Beresford dan Prudence “Tuppence” Cowley. Pasangan yang kelak dikenal sebagai Tommy & Tuppence Beresford ini bisa dibilang tak punya basic apa-apa dalam dunia perdetektifan, malah menurut saya mereka bergerak hanya berdasar intuisi dan kenekatan saja, namun hal itulah yang membuat pasangan ini begitu unik dan menarik. Pasangan ini mendirikan sebuah “perusahaan” yang dinamakan PT Petualang Muda. Memang, ini bukan perusahaan sungguhan, mereka hanya mengkhusukan diri untuk memecahkan kasus-kasus yang klien mereka bawa ke perusahaan tersebut.

Sebelum mengenal pasangan ini, imajinasi saya mengenai mereka yaitu bahwa mereka berdua merupakan orang yang serius, dan sebagai pasangan yang sudah cukup berumur. Namun saya salah, mereka masih cukup muda, berusia sekitar dua puluh tahunan, dan juga agak konyol. Selain itu, mereka pun bisa dibilang beruntung, karena selalu mendapat bantuan dalam memecahkan kasus. Saya agak sangsi apabila tak ada bantuan mereka akan dapat menyelesaikan sebuah kasus, entah di buku-buku berikutnya.

Dalam buku ini, Petualang Muda terlibat dalam sebuah kasus yang lumayan pelik. Kasus ini bersetting di tahun 20-an, dimana waktu itu suasana politik sedang panas-panasnya. Di sebuah kapal yang bernama Lusitania, seorang pembawa dokumen rahasia asal Amerika terjebak dalam situasi sulit, dimana kapal Lusitania ini ditembak torpedo. Dalam situasi hanya wanita dan anak-anak yang lebih dulu diselamatkan dengan sekoci, si lelaki pembawa dokumen ini memercayakan dokumen tersebut kepada Jane Finn, karena ia yakin Jane merupakan orang yang tepat dan nasionalis. Sayangnya, Jane Finn kemudian hilang dan dokumen-dokumen tersebut juga ikut hilang. Dokumen-dokumen penting itu lima tahun kemudian harus segera ditemukan, mengingat apabila jatuh ke tangan musuh, maka dikhawatirkan akan terjadi revolusi besar-besaran di Inggris.

Mr. Brown. Inilah tokoh sentral yang menjadi musuh Tommy-Tuppence dan juga pemburu dokumen-dokumen rahasia tersebut. Sepanjang isi buku, Agatha Christie dengan sangat lihai menyembunyikan si Mr. Brown ini. Sebenarnya, siapa Mr. Brown ini dapat mudah tertebak apabila membaca judul buku ini, Musuh Dalam Selimut. Ya, penjahatnya sudah terlihat jelas dari situ. Pintarnya, Agatha Christie terus membawa pembaca berputar-putar untuk menebak siapa Mr. Brown sebenarnya, sehingga pembaca pun terkecoh dengan cara ini.


Walaupun tidak sedetektif Poirot, tokoh Tommy-Tuppence ini mampu membuat saya terlarut dalam ceritanya. Memang, tak ada pemecahan kasus yang benar-benar brilian, tetapi penceritaan yang melalui dua sudut pandang, yaitu Tommy dan Tuppence membuat cerita ini enak dibaca dan membuat penasaran. Ada kalanya, Tommy yang sedang disekap maka jalan cerita melalui sudut pandang Tuppence, juga sebaliknya, ketika Tuppence menghilang, giliran Tommy yang bercerita dan berpetualang. Terjemahannya pun enak dibaca, penerjemah tidak segan-segan menggunakan bahasa slang seperti monyong, bokek, dll. Penggunaan kata-kata ini menurut saya sangat tepat apalagi mengingat karakter Tommy dan Tuppence yang agak tengil dan konyol. buku ini pun seolah menjadi ajang perkenalan bagi Tommy dan Tuppence untuk buku-buku selanjutnya, mengingat ending buku ini yang berakhir membahagiakan bagi mereka berdua. Lima bintang untuk buku ini, sebuah awal pengenalan yang menarik.


Judul: The Secret Adversary - Musuh Dalam Selimut
Penulis: Agatha Christie
Tebal: 376 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 1922 (1st) / 2012 (read)
Rate: 5/5

Sabtu, 16 November 2013

#5BukuDalamHidupku Coffee Shop, dan Keramaiannya



Haduh, beneran bingung banget nih milih satu buku buat hari terakhir. Memang dahsyat deh tantangan #5BukuDalamHidupku ini, bikin mikir, kira2 buku apa yang benar-benar bermakna dan berarti di hidup kita. Empat buku pertama saya di empat hari kemarin ialah buku lokal, sempat bertanya-tanya juga apakah hari kelima ini saya akan mengeluarkan buku lokal juga atau tidak. Sempat terpikir untuk membahas komik, tapi kok ya kalau komik itu nanti jatuhnya bukan satu buku ya, tapi banyak buku, soalnya kan jarang-jarang hanya satu komik yang sangat berkesan setidaknya bagi saya.

Hm, setelah berpikir sambil mengetik akhirnya saya telah menjatuhkan pilihan. Buku lokal lagi, buku indie lagi. Pilihan saya akhirnya tertuju kepada:

Cover Baru

Judul: The Coffee Shop Chronicles
Penulis: Rame-rame / 22 orang
Penerbit: byPASS
Tebal: 197 hal.
Tahun Terbit: 2012
Rate: 4/5

The Coffee Shop Chronicles dimulai dari sepucuk surat pendek dari seorang pengagum kepada Tuan Arsitek yang ditulis oleh @firah_39. Surat yang membuat sebuah flashfict balasan dikarang untuk menanggapi surat tersebut oleh @adit_adit. Selanjutnya, beberapa penulis lain, @_raraa, @WangiMS, dan @hildabika ikut bergabung menulis flashfict berantai yang menyertakan latar sama dan interaksi dengan tokoh-tokoh yang sebelumnya ada.

Kemudian, ketika judul tersebut dihanyutkan ke linimasa, banyak teman lain yang bergabung. Pada akhirnya, 33 cerita singkat dari 22 penulis muda pun terkumpul. Keajaiban sudut pandang. Ya, ada ribuan sudut pandang dan cerita untuk mengisahkan sebuah coffee shop. Satu mata terlalu sempit untuk melihat dunia. Buka mata dan temukan kekayaan cerita di sana.

Selamat menikmati!


Kenapa buku ini?

Pertama, saya menyukai kopi. Yaa, meskipun masih dalam taraf kopi instan tapi tetap saja judulnya kopi. Buku ini dari judulnya saja berbau kopi, sehingga membuat penasaran saya untuk membacanya. Jadi bisa dibilang, saya tertarik membaca buku ini gara-gara: kopi!

Kedua, teknik penulisan buku ini sungguh sangat unik. Jadi begini, buku ini ditulis bareng-bareng oleh belasan orang. Nah, setiap orang menulis bab yang berbeda, tetapi tetap based on judul dari buku ini. Terserah, orang itu mau melanjutkan cerita dari orang sebelumnya atau menulis dari sudut pandang lain. Yang jelas, menurut saya konsep itu sangat menarik, walaupun memang terkadang terdapat cerita yang agak tidak nyambung, tapi overall saya puas.

Ketiga, cara penulisan yang unik ini telah menginspirasi saya dan teman-teman untuk menulis kisah yang serupa, maksudnya serupa dalam cara penulisannya, bukan temanya. Tapi ya itu tadi, semangat menulis yang maju mundur akhirnya hanya membuat proyek ini gagal lagi, berhenti di tengah jalan. Mudah-mudahan sih suatu saat proyek ini bisa dilanjutkan lagi, amiiin...

Keempat, salah satu penulis buku ini ialah teman satu komunitas di Blogger Buku Indonesia. Bertambah lagi deh teman saya yang telah memiliki buku yang diterbitkan.



 Cover Lama


Edisi buku ini yang saya miliki ialah edisi dengan cover lama, dan tak lama kemudian, cover buku ini akhirnya diganti, mungkin agar lebih menarik pembaca, karena memang, edisi cover lama buku ini kurang menarik menurut saya.

Berkat buku ini juga saya berkenalan dengan dunia blog, terutama yang berkaitan dengan dunia penulisan. Hal ini disebabkan oleh karena beberapa penulis buku ini merupakan blogger yang rajin mengadakan event menulis bareng, terutama dalam hal Flash Fiction (FF). Lumayanlah, ada beberapa FF saya yang kemudian terlahir meskipun saya yakin cerita yang saya bikin belum ada apa-apanya.



Akhirnya, berakhir juga tantangan ini. Saya sudah kembali ke blog, pulang ke blog, meskipun tulisan ini dihasilkan di gadget. Saya sih gak berharap muluk, Inferno atau Murakami aja, gak usah banyak-banyak. Buku-buku yang berkesan bagi saya ternyata memang semuanya buku lokal, meskipun ada beberapa buku favorit lain seperti Harry Potter dan pasangan detektif Kosasih-Gozali, namun kesan yang ditimbulkan belum sebanyak lima buku yang daya share ini.


Terima kasih buat @irwanbajang sebagai pak supir, semoga angkutannya tetap laris manis. Sampai berjumpa di tantangan berikutnya, semoga di tantangan selanjutnya blog yang anda kelola belum berdebu dan bersarang laba-laba. Jangan kebut-kebutan Pak, ingat anak istri di rumah. Jangan juga menerobos busway, karena saya akan ada di sana untuk #Buswaykick #eh

Jumat, 15 November 2013

#5BukuDalamHidupku Kisah Fantasi Bercitarasa Lokal



Memang benar, makin kesini makin sulit untuk memilih buku untuk tantangan #5BukuDalamHidupku ini. Entah karena buku yang telah dibaca kebanyakan, atau gara-gara belum ada buku yang benar-benar merubah hidup saya. Tapi hidup harus terus berjalan, tantangan harus tetap dilaksanakan, akhirnya saya memilih buku ini untuk saya bahas di hari keempat ini. Buku yang saya maksud adalah:



Judul: Para Pengendali Naga: Nyanyian Perang di Tanah Naga
Penulis: Dhia Citrahayi
Penerbit: LeutikaPrio
Tebal: 631 hal.
Rate: 4/5
Review di Sini

Kami terikat dengan dirimu
Jiwa kami adalah jiwamu
Ragamu adalah milik kami
Dan kekuatan kami adalah milikmu...


Tertekan dalam keadaan yang tidak pasti. Para pengendali Naga hidup dalam ketakutan dan bayang-bayang kekuasaan Tiran. Tetua Para Pengendali Naga berusaha keras melawan kekuasaan itu tetapi, akhirnya satu per satu dari mereka tumbang. Berawal dari terbunuhnya Tetua Naga provinsi Timur, bertahun-tahun kemudian, seorang Pengendali Naga muncul dan berusaha memperbaiki kekacauan ini.

Sayangnya... pertemuannya dengan musuh-musuhnya membuat pengendali Naga itu menjadi lemah hati. Mampukah dia melawan, sedangkan ia sendiri tak bisa mengontrol diri sendiri? Bisakah dia memenangkan pertikaian, sedangkan emosinya berkecamuk setiap kali bertemu dengan musuhnya?

Kenapa saya memilih buku ini? Sederhana saja, buku ini adalah buku yang ditulis oleh teman saya sendiri. Memang sih diterbitkan oleh penerbit indie, namun itu tak menjadi masalah, karena yang penting ialah isi dari buku itu sendiri. Buku ini sendiri mempunya genre fantasi, dapat terlihat bukan dari judulnya? Saya pikir itu keren, karena menurut saya genre itu anti mainstream. Bayangkan, disaat buku-buku Indonesia dibanjiri oleh buku metropop yang romantis, buku kekorea-koreaan, dan buku-buku humor geje, penulis berani mendobrak dunia perbukuan dengan cerita fantasi. Selain itu, yang menjadikan saya salut ialah buku ini tebalnya tak tanggung-tanggung, karena buku-buku mainstream saja jarang yang tebalnya setebal buku ini.


Isi cerita dari buku ini sendiri seputar kerajaan yang dipimpin oleh seoran yang bisa dibilang diktator. Tokoh utama buku ini yaitu Siyan, bisa dibilang ingin membalas dendam kepada penguasa ini karena gara-gara mereka Siyan kehilangan keluarganya. Dengan kemampuannya sebagai seorang pengendali naga, Siyan mencoba untuk mulai merangsek masuk ke wilayah kekuasaan sang raja untuk meruntuhkan sang raja dan menghancurkan sebuah kerajaan yang lalim. Setelah saya pikir-pikir lagi, selain fantasi buku ini bergenre dystopia, yaitu pemimpin yang diktator dan lalim yang coba diruntuhkan oleh si tokoh utama. Dystopia ini sendiri bisa dibilang genre yang belakangan hidup kembali gara-gara meledaknya buku dan film The Hunger Games.


Oke, sekarang masuk ke alasan saya memilih buku ini. Seperti telah saya bilang, buku ini karangan teman saya. Memang sih saya sendiri belum pernah bertemu dengannya, namun buku ini menjadi berkesan karena akhirnya saya mempunyai teman seorang penulis yang telah menerbitkan buku! Memang, terdengar agak berlebihan, tetapi hal tersebut sungguh membuat saya senang, karena saya sendiri ikut berbangga hati ketika teman saya itu akhirnya menerbitan sebuah buku. Lebih spesial lagi, karena si penulis khusus memberikan satu eksemplar bukunya kepada saya. Apalagi, saya juga terkesan dengan isi cerita dari buku ini, walaupun memang masih banyak kekurangan di sana sini, namun overall ceritanya cukup menghibur dan membuat penasaran. Buku ini memang rencananya akan dibuat trilogy, dan dengar-dengar si penulis sedang membuat buku keduanya. Semoga saja buku keduanya cepat selesai dan segera menghibur lagi para penggemar cerita fantasi terutama fantasi karya negeri sendiri.


Buku ini sendiri bisa dibilang pula sebagai pintu gerbang bagi saya untuk mendapatkan teman-teman lain yang juga penulis dan telah menerbitkan buku (walaupun indie). Ternyata, banyak juga teman-teman saya lainnya yang berprofesi sebagai penulis dan telah menerbitkan buku lho. Terkadang, saya juga ingin seperti mereka, menjadi penulis dan menerbitkan buku, semoga saja hal tersebut dapat terwujud, tinggal menghilangkan rasa malasnya saja nih. Ah, sudah terbayang-bayang saja nama saya terpampang di sebuah cover buku, belum lagi royalti dan honor yang saya dapat dari hasil penjualan buku saya, mimpi yang indah. Bangun! Ayo mulai menulis!


Semangat!


PS: Penulis yang ingin mengirimkan bukunya untuk direview oleh saya boleh kok mengirimkan bukunya. Saya dengan senang hati akan membaca dan mereviewnya.

PS2: Satu hari lagi, maka selesailah proyek pulang menuju blog ini #5BukuDalamHidupku

Kamis, 14 November 2013

#5BukuDalamHidupku Fu, dan Sejarahnya di Kehidupanku




Hari ketiga tantangan #5BukuDalamHidupku. Makin puyeng nentuin buku yang akan dibahas, tapi saya akan coba buku yang satu ini, buku yang lumayan banyak sejarahnya dalam hidup saya.


Judul: Bilangan Fu
Penulis: Ayu Utami
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal: 536 hal.
Tahun Terbit: 2008
Rate: 4/5
Review di sini

Yuda, seorang pemanjat tebing dan petaruh yang membenci kota, sinis dan skeptis. Toh ia memiliki mimpi-mimpi intim dan ganjil yang membuat ia terobsesi pada sebuah bilangan bukan rasional bernama bilangan fu.

Parang Jati, seorang pemuda bermata bidadari berjari dua belas. Sejak pertemuan mereka, ia seolah memiliki misi untuk membuat Yuda berganti agama dari “pemanjat kotor” menjadi “pemanjat bersih”.

Persahabatan itu melibatkan mereka pada cinta segitiga dan petualangan yang menuntut pengorbanan. Di dalamnya, dengan latar pegunungan kapur di pantai Selatan Jawa, bilangan bukan rasional fu samar-samar menampakkan diri. 

  
Di sini saya tak akan bercerita panjang lebar tentang jalan cerita buku ini, tapi saya akan bercerita tentang apa-apa yang berhubungan dengan buku ini dalam kehidupan saya.

Pertama, buku ini saya peroleh dari seorang teman di dunia maya yang kini telah menghilang entah kemana. Bingung juga sih mau disebut teman atau bukan, yang jelas anak-anak Forum Buku Kaskus pasti mengenal Id kaskus ini: Putri Dangdut. Ya, beliaulah yang memberikan buku ini sebagai giveaway kepada saya. Saya sudah agak lupa giveaway ajang apa, sepertinya sih di salah satu tulisan dia di forum SFTH (Stories From The Heart) Kaskus, nanti saya ingat-ingat lagi. Buku ini salah satu favorit beliau, tak heran sih jika melihat tindak-tanduk si Putri Dangdut ini yang di dunia maya begitu vulgar dan blak-blakan, sehingga memang bisa dibilang satu 'genre' dengan Ayu Utami yang menulis juga dengan gaya yang vulgar dan blak-blakan. Nah, kenapa saya masih bingung menganggap dia teman atau bukan? Jadi begini, ternyata oh ternyata dia itu seorang penipu saudara-saudara! Forum Buku Kaskus yang berencana membuat jaket menyerahkan pengurusan jaket ini kepada beliau. Sayang sekali saudara-saudara, dia kabur! Padahal dia dan jaket-jaketnya telah ditunggu di gath akbar pertama Forum Buku Kaskus di Kota Tua. Nyesek, kerugian yang dialami mencapai jutaan rupiah. Memang, salah kami juga menyerhakan pengurusan jaket ini kepada beliau, orang (atau bukan?) yang sama sekali masih maya dan belun pernah terlihat sekalipun batang hidungnya. Sampai sekarang, pertanggungjawaban dari orang itu masih nihil, sayang sekali memang, padahal menurut saya tulisan-tulisannya di blog dan saat mereview buku enak dibaca, sayang kelakuan minus. Saya serahkan pada-Nya untuk membalasnya nanti, tunggulah wahai Putri Dangdut.

Kedua. Kenangan dengan buku ini berkaitan dengan Forum Buku Kaskus juga. Waktu itu sekitar Oktober 2011, kami diundang oleh Kaskus untuk menghadiri acara Bienalle Sastra di Salihara. Di sana, ternyata ada Ayu Utami, si penulis Bilangan Fu ini, ia berperan sebaai mc dalam acara Bienalle Sastra ini. Keesokan harinya, dengan nekat saya membawa buku Bilangan Fu ini untuk meminta tanda tangan sekaligus foto bareng beliau. Tahukah kalian kalau waktu minta tanda tangan itu bukunya sama sekali belum saya baca, hihihi. Berkat event di Salihara ini juga saya berkenalan dengan Frau dan menjadi fansnya sampai sekarang.

Ketiga. Buku Bilangan Fu yang berada di tangan saya merupakan buku yang langka. Kenapa? Karena seharusnya buku ini termasuk buku reject. Sebabnya? Di buku yang saya pegang ini ada sekitar dua puluh halaman yang letaknya terbalik, berputar hingga 180 derajat. Ah, tapi itu tak menghalangi saya untuk menyelesaikan buku ini, karena walaupun banyak orang yang bilang buku ini terlalu membingungkan dan membuat pembacanya mengawang-ngawang (istilah anak-anak Forum Buku Kaskus yaitu BN: Buku Ngawang-ngawang), saya sangat menikmati buku ini, dan tak sabar pula untuk mengoleksi serial Bilangan Fu lainnya.

Terima kasih Ayu Utami, Putri Dangdut, Salihara, Frau, dan terutama Forum Buku Kaskus. Cheers.




PS: Oya, ada satu bagian terlewatkan tentang buku ini. Sebenarnya buku ini hampir menghilang, tak sampai di tangan saya. Ini akibat alamat pengiriman buku ini yang dialamatkan ke tempat kerja saya kurang detail, hingga hampir saja buku ini diambil (atau bahkan dibuang) gara-gara nama penerima yang kurang jelas. Untungnya buku ini ketahuan siapa penerimanya di saat-saat akhir. Rumit memang.

Rabu, 13 November 2013

#5BukuDalamHidupku Buku, Pemecah Kebuntuan



13 November. Hari ini salah satu teman saya berulang tahun. Ia merupakan teman satu lab saya di tempat kerja saya yang lama. Walaupun kami berbeda jenis kelamin, namun ada satu hal yang menjadikan kami nyambung, satu hal yang sama-sama kami minati, baik sebagai hobi, maupun koleksi. Sudah tertebakkah? Ya, hal tersebut ialah buku.

Buku yang akan saya bahas di hari kedua tantangan #5BukuDalamHidupku kali ini merupakan sebuah buku yang fenomenal di Indonesia. Buku ini pun telah difilmkan, dan lagu tema filmnya pun sangat booming dimana-mana. Tak heran, keadaan ini membuat si penulis lupa diri, walaupun memang hal tersebut sah-sah saja dikarenakan prestasi yang telah ia raih. Memang, buku dan penulis ini belakangan banyak dicerca gara-gara lupa dirinya itu. Selain itu, banyak pecinta buku juga yang tidak memfavoritkan buku ini, karena kelakuan si penulisnya itu. Tetapi bagi saya hal tersebut bukanlah masalah, saya hanya menikmati jalan cerita dan keseruan dari buku ini. Terserah orang mau bilang apa terhadap buku ini, namun yang pasti buku ini menjadi salah satu buku favorit teman saya itu. Kesukaan terhadap buku ini pula yang membuat kami semakin nyambung dalam membicarakan isi dari buku ini.

Oke, langsung saja, buku yang akan saya bahas kali ini ialah:


Judul: Laskar Pelangi
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang Pustaka
Tebal: 534 hal.
Tahun Terbit: 2005
Rate: 5/5

  
Saya yakin, pasti banyak pembaca yang mencibir ketika saya menyebutkan judul dari buku ini, ya, Laskar Pelangi. But life must go on, saya tak melihat ada yang salah kok, dari sisi cerita seru, dari pesan moral pun dapat, memang sedikit salah ketika si penulis mulai bermulut besar, ah, tapi itu tak mengubah isi buku ini kok. Tentang si penulis yang mulai songong ini tak sempat saya perbincangkan dengan teman saya ini, karena saya telah pindah tempat kerja, mungkin akan seru bila suatu saat saya bertemu dan berbincang lagi dengan teman saya ini tentang kelakuan beliau ini.

Mengapa buku ini menjadi sangat berarti? Bisa dibilang, buku ini pemecah kebuntuan juga diantara kami yang berada di dalam satu lab ketika bekerja. Tak jarang kami kehabisan hal-hal yang diobrolkan ketika kami berdua sedang menimbang untuk melakukan metode penimbangan kadar air oven secara konvensional. Berkat buku ini, perbincangan bisa menjadi hidup, mulai dari tingkah laku Ikal yang agak badung dan konyol, apalagi ketika ia mengutip quote dari Rhoma Irama, hal itu benar-benar sungguh membuat kami berdua terpingkal-pingkal. Ada lagi perbincangan mengenai kepintaran Lintang, tak jarang kami berdua menyesalkan mengapa Lintang ini putus sekolah padahal ia mempunyai otak yang sangat jenius, tentu saja kami memang masih buta dan bertanya-tanya apakah tokoh Lintang ini benar ada atau hanya tokoh fiksi belaka. Perbincangan lain yaitu mengenai daun lontar (kalau tidak salah) yang dapat membuat sekujur tubuh gatal-gatal, daun sakti yang digunakan oleh Mahar untuk membuat efek gila dalam pementasan ini membawa perbincangan menuju masa kecil teman saya itu, yang memang tahu betul khasiat dari daun lontar itu karena pernah mengalaminya di kampung halamannya sana pada waktu kecilnya.

Itulah, sedikit hal yang mampu dilakukan oleh sebuah buku, tak perduli buku itu tidak disukai banyak orang, karena ketika dua orang menyukai satu buku yang sama, nyambunglah mereka. Sampai saat ini saya belum menemukan lagi teman kerja yang klop yang juga menyukai buku seperti teman saya yang satu ini, kangen juga untuk berbincang-bincang mengenai berbagai hal dengannya, mulai dari keluarga, kehidupan dan terutama buku. Ah.

Selamat ulang tahun Mbak, semoga anak-anak kita juga nantinya menjadi pembaca buku akut juga.




PS: Saya melihat diantara banyaknya review di Goodreads tentang buku Laskar Pelangi ini ada seseorang bernama Irwan memberi buku ini hanya satu bintang. Mas Irwan Bajang-kah itu? :D

The Witches - Ratu Penyihir



Saya sangat kaget ketika mengetahui buku dari Roald Dahl ini telah diadaptasi ke dalam bentuk film tetapi bukan dengan format kartun. Saya terus terang saja ngeri dan jijik membayangkan hal-hal yang dibahas di buku ini dalam bentuk nyata. Ya, mungkin akan sangat lucu apabila dalam bentuk kartun, namun jika diperankan manusia nyata? Saya yakin memang akan sangat menjijikan.

Apa sih yang menjijikan itu? Hm, bayangkan deh, kaki tanpa jari, kuku tangan panjang dan tajam, kepala botak dengan bentol-bentol merah akibat terlalu sering mengenakan wig, sampai wajah menyeramkan, yang benar-benar menyeramkan. Saya malah tak yakin film ini akann menjadi hiburan bagi anak-anak, mimpi buruk mungkin iya.

Hal lain, membayangkan manusia nyata (dalam hal ini anak kecil) mengkerut dan mengecil menjadi seekor tikus, apakah itu tak akan menjadi mimpi buruk bagi anak-anak? Transformasinya itu lho, badan mengecil, tumbuh kumis, tumbuh ekor, tangan berubah menjadi kaki depan, nampak sangat menggelikan. Geli disini berarti jijik.

Oke, hal-hal itu bisa ditemukan dalam karya Opa Roald Dahl yang berjudul The Witches. Sang Ratu Penyihir, itulah judul yang digunakan penerbit Gramedia dalam mengartibebaskan judul asli buku ini. Cocok karena memang cuma si ratu penyihirlah yang terlihat rupa aslinya, wajah asli yang menyeramkan dan menjijikan, itu yang saya lihat sekilas dari trailer film ini di youtube. Memang dapet sih untuk membuat anak-anak ngeri ketika membayangkan wajah si penyihir ini.

Jalan cerita buku ini sendiri berawal ketika si aku (mungkin pengalaman pribadi Roald Dahl) kehilangan kedua orangtuanya yang meninggal. Ia pun harus mengikuti neneknya yang tinggal di Norwegia, dimana Norwegia sendiri dikenal sebagai sarang para penyihir di seluruh dunia. Nenek kemudian menceritakan ciri-ciri penyihir yang ada di dunia. Satu yang pasti, penyihir adalah wanita, tak bisa tidak. Kemudian, si aku dan neneknya berlibur ke Inggris dan menginap di salah satu hotel. Tak disangka, ketika si aku ingin melatih kedua peliharaan tikusnya di salah satu ruangan hotel, ia masuk ke ruangan yang salah. Ia masuk ke salah satu ruangan dimana di ruangan tersebut diadakan pertemuan para wanita pecinta anak-anak. Si aku baru menyadari keganjilan gara-gara semua pesertanya ialah wanita yang  memenuhi persyaratan sebagai penyihir sebagaimana yang diceritakan oleh neneknya. Dan memang, ruangan itu dipenuhi oleh penyihir, si aku terjebak, karena salah satu penyihir ialah sangat membenci anak kecil dan bisa merubah anak-anak menjadi seekor tikus...


Imajinasi RD tentang para penyihir ini walaupun agak nyeleneh namun tepat untuk menggambarkan bagaimana mengerikannya para penyihir ini. Memang, bisa dikatakan isi dari buku ini cukup untuk menakut-nakuti anak-anak usia sekolah dasar awal, namun perjuangan si aku dan neneknya guna menumpas para penyihir di seluruh dunia merupakan sebuah hal yang heroik dan patut ditiru. Jangan lupa untuk mencatat bahan-bahan apa saja yang dibutuhkan untuk membuat ramuan pengubah anak-anak menjadi tikus, praktikkan, dan berjaga-jagalah, siapa tahu ciri-ciri penyihir yang disebutkan di buku ini terdapat pada wanita-wanita yang kalian temui kemarin, tadi, hari ini ataupun esok hari.


Judul: The Witches
Penulis: Roald Dahl
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 240 hal.
Tahun Terbit: 1983 (1st) / 2005 (read)
Rate: 4/5
Rekomendasi Usia: > 8 tahun



PS: Buku ini ternyata banyak mendapatkan award lho. Dari data di Goodreads saja ada tiga awards, yaitu: Whitbread Award for Children Novel (1983), Books I Loved Best Yearly (BILBY) Awards for Read Alone (1993), dan West Australian Young Readers' Book Award (WAYRBA) for Younger Readers (1986)

Selasa, 12 November 2013

Lisbeth Salander is The Girl Who Played With Fire



Ada beberapa hal yang membuat saya menunda untuk membaca buku di tumpukan timbunan saya, salah satunya adalah jumlah halaman dan ketebalan buku. Nah, buku yang saya baca kali ini mempunyai ketebalan 904 halaman! Gadis yang bermain api, alias The Girl Who Played with Fire, seri kedua dari Millennium Trilogy karangan Stieg Larsson yang menceritakan tentang dua orang yang berlatar belakang berbeda, Mikael Blomkvist sebagai jurnalis serta pimred majalah Millennium, sedangkan Lisbeth Salander merupakan seorang free-lancer yang merangkap hacker ahli, hacker paling luar biasa menurut saya. Tapi benar kata seorang teman, walaupun tebal buku ini tak terasa saat membacanya, itu dikarenakan kisah dari buku ini yang sensasional dan tak membosankan.

Berbeda dengan buku pertama dimana dikisahkan Lisbeth dan Mikael begitu dekat guna mengungkap kasus keluarga Vanger, kali ini Lisbeth menghindar dari Mikael yang terus berusaha menghubunginya setelah kasus Vanger selesai. Mikael yang sudah putus asa gara-gara Lisbeth tidak meresponsnya, secara tak sengaja akhirnya dapat kembali berkomunikasi dengan Lisbeth melalui data komputernya yang dihack oleh Lisbeth. Namun peristiwa yang mempertemukan mereka kembali kali ini tak main-main, Lisbeth dikenai tuduhan serius bahkan dijadikan tersangka atas kematian dua orang kawan Mikael yang juga narasumber tulisan yang akan diterbitkan oleh majalah Millennium. Ternyata, peristiwa pembunuhan kali ini bukanlah pembunuhan biasa, pembunuhan ini berkaitan dengan tema tulisan yang akan diangkat oleh Millennium ini yaitu tentang perdagangan perempuan di Swedia. Mikael pun harus berjuang guna membuktikan bahwa bukan Lisbeth-lah pelaku dari semua kejadian ini.

Kali ini, seperti review-review lain tentang buku ini, jalan cerita lebih condong menceritakan tentang Lisbeth Salander. Tak hanya kehidupannya yang bebas dan agak liar, sedikit demi sedikit latar belakang keluarganya mulai terungkap dan tersibak. Banyak peristiwa kelam yang dialami Lisbeth di masa lalunya, dan peristiwa-peristiwa ini pula yang akhirnya menjadi kunci dari kejadian-kejadian pembunuhan yang terjadi yang mengarahkan Lisbeth sebagai pelakunya. Jalan cerita buku ini sendiri terbagi menjadi beberapa sudut pandang, ada yang melalui Mikael, ada juga yang melalui Lisbeth. Ada kalanya Mikael seolah berjuang sendirian sedangkan Lisbeth seolah bersembunyi, namun akhirnya peristiwa-peristiwa ini diceritakan melalui sudut pandang Lisbeth, kemana ia ketika Mikael sedang berusaha memecahkan kasus ini, semuanya dijelaskan secara gamblang.

Satu hal paling menarik dari buku ini ialah bagaimana penulis membawa pembaca ke dunia matematika. Tiap judul bagian buku (yang terdiri dari beberapa bab) diberi judul dengan istilah-istilah matematika, tentu saja dengan penjelasannya. Hal ini tentu berhubungan dengan kegemaran Lisbeth terhadap ilmu matematika. Lihat saja bagaimana buku bacaan yang dibawa dan dibaca Lisbeth ialah mengenai prinsip-prinsip matematika. Belum lagi rasa penasarannya terhadap Teorema Fermat yang merupakan pengembangan dari Teorema Phytagoras. Perbedaannya ialah apabila Teorema Phytagoras berpangkat dua, maka Teorema Fermat ini berpangkat tiga. Hal ini juga membuat saya penasaran terhadap pemecahan dari Teorema Fermat ini, karena sampai akhir buku jawaban yang telah Lisbeth temukan secara tidak sengaja belum sempat sampai ke penjelasan yang dapat dicerna oleh pembaca  buku ini.


Overall, buku ini sangat direkomendasikan terhadap para pecinta kisah thriller. Kasus yang berkaitan satu sama lain, pemecahan kasus yang bisa dibilang brilian, dunia hacker yang tak diduga-duga, sampai intermezzo matematika yang diberikan oleh Stieg Larsson mampu membuat ketebalan 900-an halaman buku ini tak terasa, bahkan sayang untuk dihabiskan. Lima bintang untuk buku ini, sambil menunggu pula “keberanian” untuk memulai buku ketiganya yang tebalnya hampir 1000 halaman.


Judul: The Girl Who Played With Fire
Penulis: Stieg Larsson
Penerbit: Qanita
Tebal: 904 hal.
Tahun Terbit: 2006 (1st) / 2009 (terjemahan)
Rate: 5/5

#5BukuDalamHidupku Katarsis, Thriller-nya Indonesia



Nekat ikutan challenge-nya @irwanbajang. Mari kita lihat kekonsistenan saya dalam memposting #5BukuDalamKehidupan, dalam 5 hari berturut-turut. Sempat skeptis sebelumnya, karena bisa dibilang bacaan-bacaan saya tak ada yang berat dan hebat, hanya buku-buku biasa, hanya novel-novel biasa yang mungkin tak ada artinya bagi pembaca sekalian. Oya, saya juga tak punya buku tertentu yang mampu mengubah hidup saya sedemikian rupa, maaf, saya belum tersentuh oleh buku, buku bagi saya hanya sebagai hiburan dan penambah ilmu semata, karena walaupun saya mencintai buku, masih banyak hal yang wajib lebih dicintai dibanding buku.


Oke, saya akan mencoba mulai hari pertama ini dengan sebuah buku kelam, sebuah buku yang dari judulnya saja sudah menimbulkan pertanyaan, karena judul buku ini sangat jarang disebut-sebut dalam kehidupan sehari-hari. Kelam, kesan ini saya dapatkan ketika membaca awal-awal buku ini. Oh, yang saya bayangkan ialah anak saya sendiri, ngeri rasanya membayangkan anakku sendiri membenciku sedemikian rupa tanpa sebab yang jelas, tanpa kita tahu apa yang salah kita yang sebenarnya. Saya juga membayangkan anak saya mengalami sifat psycho akut dimana ia akan mengalami sensasi memabukkan ketika mencium dan melihat darah, merinding membayangkannya.

Buku ini sendiri saya peroleh melalui sebuah giveaway dari salah seorang teman di komunitas Blogger Buku Indonesia, dan saya tak salah memilih buku ini sebagai wishlist saya, karena walaupun memang masih banyak hal ganjil yang belum terjawab di buku ini, bisa dibilang kehadiran buku ini di belantara hutan perbukuan Indonesia membawa angin segar akibat genrenya yang tidak mainstream, yaitu thriller. Saya sih berharap, buku ini bisa menjadi tonggak untuk munculnya buku-buku thriller lokal sejenis, sehingga pembaca Indonesia tak hanya disuguhi buku-buku romantis, buku-buku beraroma Korea, hingga buku garing-jayus yang target pembacanya hanya anak-anak baru gede yang doyan cerita-cerita konyol dan penuh umpatan-umpatan kasar.

Tanpa berlama-lama lagi, saya perkenalkan buku ini, buku yang sedari awal masih berstatus coming soon di salah satu toko buku online telah memiktlat hati saya:


Judul: Katarsis
Penulis: Anastasia Aemilia
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 264 hal.
Tahun Terbit: 2013
Rate: 5/5
Review bisa dibaca di sini


Sudah pernah membaca buku ini? Nah sekarang apa yang para pembaca rasakan setelah (setidaknya) membaca (review) buku ini? Kengerian? Atau bahkan perasaan tak karuan hingga menjudge si tokoh dalam buku ini merupakan seseorang yang psycho dan hanya dalam dunia fiksi? Apapun penilaian anda, saya yakin, di dunia ini ada manusia yang mengalami kejadian seperti Tara ataupun Ello di Katarsis ini. Poin penting yang ingin saya tekankan ialah, sayangilah keluarga anda, jangan jadikan anak anda korban akibat perbuatan orangtuanya. Banyak-banyaklah introspeksi diri tentang sikap kita, baik kepada orang lain, keluarga, diri sendiri, dan terutama terhadap anak-anak kita. Bukan tidak mungkin, walaupun gejala yang dialami Tara dan Ello bisa dibilang bawaan dari lahir, dengan kasih sayang serta rasa nyaman yang diberikan orang tua, kelak akan membuat anak-anak kita tersebut setidaknya mencintai orang tuanya sendiri.


Semoga kelak akan ada Katarsis-katarsis selanjutnya yang mewarnai dunia perbukuan, khususnya dunia genre thriller di Indonesia. Bukan sekedar cerita thriller tak bernilai. Tetapi juga yang memiliki nilai moral serta pelajaran-pelajaran tentang hidup yang bisa dipetik hikmahnya setelah membaca buku tersebut.