Selasa, 26 Maret 2013

Salah Satu Literatur Tertua




Tanpa sengaja nemu challenge di salah satu member BBI. Challengenya adalah: Baca Bareng Robinson Crusoe! Yah, kebetulan bukunya punya, beli bareng Mission Impossible dan Misteri Lemari Antik, jadi nekat aja ikutan tantangan ini. Apalagi buku ini masuk list 1001 books you must read before you die. Selain itu bisa dibilang ini literatur yang tua sangat. Bayangkan saja, buku ini terbit pertama kali pada tahun 1719! Bahkan, di dalam buku versi Indonesianya sendiri dikatakan, bahwa buku aslinya banyak typo, juga namanya novel klasik, pasti bahasanya juga rada susah, dan memang itulah yang saya alami, walaupun saya baca buku yang bahasa Indonesia.  Tantangan ini benar-benar sebuah tantangan, bayangkan saja, buku yang tebalnya hanya 400-an halaman ini saya lahap dalam seminggu lebih! Bahasanya memang susah, apalagi deskrispsi-deskripsi yang harus disesuaikan dengan keadaan pada zaman itu, yaitu sekitar tahun 1600-an.

Nah, di tantangan Robinson Crusoe ini ada beberapa pertanyaan dari si host, yaitu:
  1. What do you think about the character?
Robinson Crusoe? Well, bisa dibilang si Robinson ini orang yang tidak pernah puas dengan apa yang telah ia punya. Sebenarnya di Brazil sana dia telah memiliki kekayaan berlebih, usaha perkebunan yang sukses, hingga menjadi “juragan” juga. Namanya juga manusia, Crusoe malah ingin lebih kaya lagi, maka ia memutuskan untuk pergi ke Afrika. Apa yang terjadi? Terdamparlah ia di suatu pulau di Karibia. Tak main-main, 28 tahun, 2 bulan, 19 hari ia terdampar di pulau itu! Kejadian terdamparnya ini gara-gara kapal yang ia tumpangi karam, dan semua penumpang tewas. Tersisalah dia sendirian, di sebuah pulau yang asing, tanpa apa-apa, kecuali perbekalan yang ada di kapal yang ia tumpangi, yang kebetulan mendarat juga di pulau tersebut.
Selain itu, Crusoe juga mempunyai sifat tak kenal menyerah. 28 tahun itu lama lho! Tapi saktinya, ia berhasil bertahan hidup, membuat barang-barang yang tak pernah ia buat sebelumnya, seperti baju, payung, bahkan tempat tinggal. Juga keahlian-keahlian yang tidak main-main akhirnya dapat Crusoe kuasai secara otodidak akibat hidup sendiri di pulau, mulai dari menjahit, bertani, sampai beternak hewan. Bisa dibilang Crusoe ini menjadi manusia serbabisa gara-gara peristiwa ini.
  1. What is your favourite part of the book?
Bagian favorit saya dari buku ini bisa dikatakan yaitu ketika Crusoe bertemu Friday. Friday ini seorang kanibal yang juga sedang ditawan oleh kaum kanibal lainnya. Singkatnya, kaum kanibal yang menahan Friday ini  sengaja datang ke pulau yang Crusoe tempati untuk berpesta, untuk memakan “korban” yang mereka tangkap, salah satu korban mereka ialah Friday. Kaum kanibal tersebut tak tahu kalau pulau yang mereka datangi ternyata berpenghuni walaupun cuma seorang. Dengan niat untuk membantu dan menjadikan Friday sebagai pelayannya, akhirnya Crusoe menyelamatkan Friday, para kanibal tersebut kebanyakan tewas dan sisanya kabur walaupun yang kabur tersebut pada akhirnya tewas gara-gara ombak dan badai di lautan.
Kisah ketika Crusoe bertemu manusia lainnya setelah 2 dekade sungguh sangat mengharukan, apalagi ketika Crusoe mengajarkan tentang hidup yang beradab kepada Friday. Yang paling hebat, Friday seolah tahu berterima kasih, ia menjadi pelayan Crusoe yang paling setia dan paling bisa diandalkan.

  1. How can you relate yourself with the book?
Hubungan buku ini dengan kehidupan dan diri saya? Hm, mungkin bisa dibilang buku ini dapat dijadikan panduan, bagaimana caranya bertahan hidup di tengah alam yang ganas, bagaimana sifat serakah tidak dapat dijadikan sesuatu yang selalu bisa dituruti, dan bagaimana sebuah usaha dapat membawa seseorang menuju kehidupan yang lebih baik, tentunya dengan cara tidak mudah menyerah dan selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Karena Crusoe sendiri menjadi seseorang yang taat beragama ketika kesulitan-kesulitan mulai menimpanya, dan disinilah ia kembali mengingat Tuhannya.
  1. What do you think of the book itself (the words, the author, or anything)?
Buku ini dapat dibilang sangat luar biasa. Bagaimana imajinasi Daniel Defoe pada tahun 1700-an telah mampu membuat sebuah buku yang begitu survive, bagaimana pula seorang Defoe berhasil menciptakan tokoh legendaris dalam diri Robinson Crusoe. Dapat dibilang pula kejadian dalam buku ini dapat terjadi pada siapapun, pada abad keberapapun, dan Defoe telah berhasil melihat celah ini, meskipun dia hidup pada zaman yang sangat lampau.
Untuk kata-kata sendiri, seperti telah saya bilang di atas, yang namanya buku klasik sungguh sangat sulit untuk dicerna. Bahasa terjemahan pun sulit dibaca, apalagi bahasa aslinya, yang konon katanya sangat banyak typonya, jadi bersiap-siaplah untuk mengawang-ngawang ketika membaca buku ini.
Dua bintang untuk buku ini, bukan saya tidak suka, tetapi sulitnya buku ini ditaklukkan membuat saya agak stres ketika membacanya. Tetapi buku ini sangat layak untuk masuk list 1001, sebuah buku yang fenomenal. Fenomenal karena juga banyak kisah serupa yang terinspirasi dari buku ini.


Judul: Robinson Crusoe
Penulis: Daniel Defoe
Penerbit: Bentang Pustaka
1st Published: 25 April 1719
Tebal: 386 hal.
Rate: 2/5


Dibaca dalam rangka read-along Robinson Crusoe (host by @museforsaken)



Nostalgia bersama Ethan Hunt



Ada yang ingat dengan adegan seseorang menerima telepon, dan di akhir percakapannya si penelepon bilang: “telepon/rekaman ini akan hancur dengan sendirinya dalam waktu 5 detik”? Yup, itu adegan dari film atau serial TV Mission Impossible. Khas banget kata-kata itu waktu dulu serialnya masih eksis.

Nah, gak disangka ternyata Mission Impossible ini ada bukunya juga lho. Saya juga gak sengaja nemu di lapak buku bekas. Buku ini terbit tahun 1996, bisa dibilang buku ini adaptasi dari filmnya, mungkin lho. Soalnya buku ini menceritakan film layar lebar Mission Impossible pertama di sekitar tahun 1996 juga.

Ethan Hunt, si agen MI yang identik dengan Tom Cruise tentu saja jadi tokoh utama dalam buku ini. Tim IMF (Impossible Mission Force) yang dipimpinnya kali ini terlibat kasus penculikan data daftar agen CIA di Eropa. Dengan setting di negeri-negeri Eropa seperti di Kiev, Praha, Paris serta London, Ethan membawa misinya ini dengan satu kekhawatiran yang telah terjadi: dirinya dicap sebagai pengkhianat oleh CIA. Hal ini terjadi akibat rekan-rekannya di IMF satu persatu tewas ketika sedang menjalankan misi ini. Ethan yang selamat sendirian mau tak mau mulai dicurigai sebagai dalang dari kejadian ini. Maka bertambahlah misi Ethan: mengejar data daftar agen CIA di Eropa, menghindari kejaran CIA yang coba menangkapnya, dan juga berusaha mencari tahu siapakah pengkhianat sebenarnya.

Petualangan Ethan sangat seru, misi yang dibuat IMF dalam berbagai kasus yang ditangani sungguh sangat rapi. Semua terencana dengan baik. Senjata-senjata rahasia, penyamaran-penyamaran yang brilian, juga gadget-gadget yang sudah sangat modern di zaman 90-an seperti di dalam cerita. Hal ini memang dapat diperoleh berkat agen-agen terbaik yang dimiliki CIA dalam setiap lininya. Memang, semua seolah terlihat sempurna, tetapi kasus terakhir Ethan di IMF inilah yang membuat semuanya buyar, misinya gagal, teman-temannya tewas, dirinya menjadi buronan.

Menegangkan membaca buku ini. Visualisasi dari filmnya seperti tercetak secara otomatis ketika membaca cerita di dalamnya. Briliannya sang penulis dalam menyusun rencana-rencana Ethan dan tim IMF, sungguh sangat mendebarkan dan membuat puas, karena memang penulis seolah membuat segala hal yang terjadi begitu masuk akal, dan tidak berdasarkan fantasi sama sekali. Namun memang, tak ada yang sempurna, ada bagian-bagian yang cukup ganjil di dalam buku ini. Salah satunya adalah ketika Ethan berhasil pergi ke Amerika Serikat ke markas CIA dari Eropa. Padahal saat itu statusnya sedang buron, most wanted person. Tetapi di buku tiba-tiba saja dia telah berada di Amerika, tanpa dijelaskan prosesnya seperti apa.

Ah, setidaknya, buku ini mampu membangkitkan kembali memori tentang Mission Impossible yang pada era 90-an sempat booming di televisi nasional. Lima bintang sempurna untuk buku ini.


Judul: Mission: Impossible
Penulis: Peter Barsocchini
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 1996
Tebal: 259 hal.
Rate: 5/5

Cerita tentang Holly dan Tiffany


Perkenalkan, namaku adalah Lulamae. Nama panjangku? Hm, biar aku jawab di akhir saja, karena akhir atau ending yang mengejutkan itu selalu menarik. Aku adalah salah satu tokoh utama di buku Breakfast at Tiffany’s. Ya, buku karangan Truman Capote ini merupakan buku yang fenomenal. Buku ini bahkan dapat dikatakan sebagai legenda. Apa sebabnya? Lihat saja efek yang berhasil buku ini ciptakan. Tepatnya sih, efek yang berhasil buku DAN film ini ciptakan, karena justru filmnya-lah yang menciptakan hal-hal yang spesial terpatri di pikiran setiap orang. Tetapi walaupun begitu, tak akan ada film Breakfast at Tiffany’s apabila buku ini tidak ditulis. Buku yang terbit tahun 1958 ini diekranisasikan pada tahun 1961, dengan Audrey Hepburn berperan sebagai tokoh utamanya. Sebenarnya, Mr. Capote ingin Marilyn Monroe yang menjadi tokoh utama film ini, makanya ia merasa tertipu oleh Paramount sebagai rumah produksi dari film ini. Adapun hal-hal yang menjadikan judul ini sebagai legenda (hingga masuk list 1001 books you must read before you die) akan kubahas belakangan, karena sebelumnya aku akan membahas isi dari buku ini terlebih dahulu.

Terima kasih sebelumnya kepada penerbit Serambi yang telah menerbitkan buku ini pada tahun 2009. Dengan tebal yang “hanya” 163 halaman buku ini dikemas apik dalam ukuran yang tidak terlalu besar dan juga ukuran huruf yang wajar, sehingga enak untuk dibaca. Satu hal yang agak mengganjal ialah bagaimana buku ini beruntaian kata-kata tanpa bab pemisah, sehingga kejadian per kejadian yang ada seolah berlangsung terus menerus dengan alur yang tanpa flash back. Memang, ada kalanya suatu paragraf berakhir dan dipisahkan oleh jeda yang agak panjang dengan paragraf berikutnya, tetapi tetap saja tanpa nomor dan judul bab. Dari tampilan muka buku ini, tergambar seorang perempuan berbaju terusan hitam dengan memegang pipa rokok panjang serta seekor kucing besar yang melingkari lehernya. Wanita di cover buku ini ialah Holly Golightly, si tokoh utama buku ini, si tokoh utama yang melakukan sarapan di Tiffany, si tokoh utama yang tergambarkan sebagai seorang wanita yang hedonis, suka berganti-ganti pasangan, dan hidupnya bebas, tanpa aturan. Aku sendiri? Bukan, aku bukan nama kucing yang melingkar di leher Holly. Kucing ini tidak Mr. Capote beri nama di dalam buku ini, sehingga Holly sering memanggil kucingnya di dalam percakapan-percakapannya sebagai kucingku atau kucing itu. Lalu, apakah cover ini adalah Audrey Hepburn? Si pemeran wanita dalam versi film Breakfast at Tiffany’s? Aku kira bukan, karena kekhasan Hepburn di dalam mengenakan baju terusan hitam dan membawa pipa rokok panjang kurang tergambarkan di dalam cover ini. Itu menurutku lho…

Breakfast at Tiffany’s. Sebelum kalian memiliki bayangan mengenai judul ini, kalian pasti membayangkan bahwa Tiffany itu sebuah nama restoran atau kafe, atau bahkan nama seseorang, aku yakin itu! Kalian salah, karena Tiffany itu merupakan salah satu toko perhiasan terkenal yang ada di Amerika Serikat. Lalu apa maksudnya judul ini? Apabila kalian menonton filmnya, pasti adegan awal film ini begitu membekas di pikiran kalian. Bagaimana seorang Holly turun dari taksi, berdiri di depan Tiffany, lalu mulai mengeluarkan croissant dan minuman ringan yang dibawanya dan mulai sarapan di sana. Itulah sejarah mengenai pemberian judul buku ini. Bisa dibilang Holly ini cukup tergila-gila kepada yang namanya kekayaan, hingga memandangi perhiasan di etalase Tiffany pun dilakukannya sembari sarapan. Berbeda dengan di film, adegan pertama yang melibatkan Holly yang terjadi di buku ialah ketika Holly pulang tengah malam buta dan membunyikan bel di apartemennya sehingga mengganggu Mr. Yunioshi, seorang Jepang. Ada hal menarik mengenai Mr. Yunioshi ini. Penggambaran dirinya amat berbeda antara di buku dan film, sangat berbeda 180 derajat. Beliau memang pemarah, tetapi di film, Mr. Yunioshi digambarkan sebagai seseorang yang konyol dan ceroboh, yang selalu membuat penonton tersenyum.

Kehidupan Holly yang hedonis dan sering berganti-ganti pasangan tergambar jelas di buku ini. Bayangkan saja banyak lelaki yang berlomba-lomba untuk mendekatinya. Tokoh utama selain Holly di buku ini yaitu “aku” (“aku” disini bukan Lulamae; Mr. Capote menggunakan “aku” ini sebagai sudut pandang pertama di dalam buku. Belakangan si “aku” dikenal dengan nama Paul Varjak, tetapi ini pun gara-gara filmnya, entah Mr. Capote mengakuinya atau tidak), yang oleh Holly dipanggil Fred karena kesamaan faktor fisik dengan kakak Holly yaitu Fred Holightly. “Aku” ini seorang penulis lepas, pemuja rahasia Holly, dan tidak sengaja menjadi dekat dengan Holly gara-gara Holly mulai beralih mengganggu si “aku” apabila ia pulang larut malam dan memencet bel. Si “aku” inilah yang bercerita sepenuhnya di buku ini, tentunya juga tentang hubungan Holly dengan para lelaki-lelaki pemujanya. O.J. Berman, Jose, dan Rusty Strawler ialah beberapa lelaki pemuja Holly diantaranya. Hubungan Holly dengan mereka berlangsung pasang surut, namun hubungannya yang paling serius ialah dengan Jose, seorang kaya raya dari Brazil. Bahkan, mereka berdua telah merencanakan menikah dan berbulan madu di Brazil.

Perlu kalian tahu, buku ini tidak hanya berkisar tentang kehidupan hedonis Holly. Ada pula cerita tentang sisi humanis Holly, yaitu ketika ia setiap hari kamis berkunjung ke Sing Sing, sebuah penjara, untuk menemui Sally Tomato, seorang pimpinan mafia. Memang, Holly tidak murni melakukan ini dengan sukarela, karena atas kunjungannya ini Holly mendapat upah dari pengacara Sally. Tugas Holly sebenarnya hanya menemani Sally mengobrol untuk sekedar mengiburnya di penjara. Namun siapa sangka Holly ternyata dijebak dan terlibat dengan sindikat narkotika yang sangat diburu oleh polisi. Oh, Holly yang malang.

Mengenai diriku sendiri, aku baru muncul di pertengahan buku, yaitu ketika Doc Golightly muncul. Doc sendiri ialah seorang tokoh yang mempunyai peranan penting bagi Holly, terutama di masa lalu Holly ketika ia dan Fred terlantar gara-gara menjadi yatim-piatu. Hingga akhirnya Doc mengadopsinya dan mengijinkan Holly tinggal bersamanya di kediamannya. Saat itu, Holly baru berusia empat belas tahun, ketika ia memutuskan untuk pergi dari rumah Doc. Aku turut menjadi saksi kejadian ini, kejadian yang sangat membekas di dalam pikiranku.

Film Breakfast at Tiffany’s sendiri, seperti telah dibahas di atas dirilis pada tahun 1961. Tepatnya pada tanggal 5 Oktober 1961 di New York untuk penayangan perdananya. Untuk penghargaan yang diraih, film ini berhasil memenangkan dua buah piala oscar dalam kategori Best Music (Original Song) dengan lagu Moon River yang legendaris yang dibawakan oleh Audrey Hepburn (seperti dalam gambar),

serta Best Music untuk Scoring of a Dramatic or Comedy Picture. Sayangnya Hepburn gagal dalam meraih piala oscar dalam kategori Best Actress. Bagaimanapun, Hepburn telah berhasil mematenkan ciri khas Holly dalam balutan longdress hitamnya seperti dalam gambar.



Seperti laiknya beberapa film hasil adaptasi dari buku, ada beberapa adegan yang cukup berbeda antara film dan buku. Hal paling mencolok ialah ending yang terjadi, ending “nanggung” pada buku, sangatlah berbeda dengan film, karena di film ending yang diciptakan ialah ending khas Hollywood. Ada pula beberapa tokoh yang hanya muncul di film atau di buku saja. Seperti 2-E (ini nama orang lho), “kekasih” dari “aku” alias Paul Varjak hanya ada di film saja, sedangkan Joe Bell, seorang kawan Varjak, pemilik sebuah bar, tidak ada sama sekali di dalam film, padahal ia mempunyai peran yang cukup penting di dalam buku. Namun inilah perbedaan dunia industri film dan buku, pasti ada perbedaan. Yang paling penting ialah aku, Lulamae, selalu hadir baik itu di dalam buku maupun film.


Nah, sekarang akan aku bahas mengapa buku (dan film) ini menjadi legenda. Legenda disini mungkin mengacu pada masuknya buku (dan film) ini ke dalam list 1001 Before You Die. Ya, buku ini masuk ke dalam list 1001 Books You Must Read Before You Die dan filmnya masuk ke dalam list 1001 Movies You Must See Before You Die. Sebenarnya, di buku terbitan Serambi akan kalian temukan bagain khusus di akhir buku tentang pengaruh-pengaruh dari buku ini. Diantaranya ialah dipakainya kata-kata “Breakfast at Tiffany’s” dalam lagu “Let Me Entertaint You” yang dinyanyikan oleh band rock legendari Queen. Selain itu, kartun legendaris The Simpsons pun di dalam salah satu episodenya: “I’m with Cupid” (season 10, episode 14), membuat adegan seperti ini: beberapa lelaki memata-matai tokoh Apu di Springfield’s Tiffany & Co. Alih-alih membeli berlian seperti yang mereka duga, Apu keluar dari toko itu dengan membawa sepotong croissant. Tokoh Chief Wiggum lalu berkata, “Aw, that’s right, they have breakfast at Tiffany’s now.” Ada juga sebuah grup band rock yaitu Deep Blue Something pada tahun 1996 merilis sebuah lagu yang diberi judul Breakfast at Tiffany’s. Bisa dibayangkan bukan, bagaimana populernya Holly dan Tiffany akibat buku karangan Truman Capote ini.

Yah, akhirnya aku harus membuka identitas asliku. Tetapi sebelumnya, aku ingin memberi nilai terhadap buku dan film ini secara keseluruhan. Walaupun aku terlibat di dalam keseluruhan ceritanya, seperti sistem rating di Goodreads, aku menyukai buku dan film ini, jadi bisa disimpulkan sendiri dong berapa bintangnya. Oke, namaku yang sebenarnya ialah Lulamae Barnes, namun setelah menikah aku lebih dikenal dengan nama Lulamae Golightly. Lalu, apa hubunganku dengan Doc, dan terutama dengan Holly? Baca atau tonton filmnya, untuk mendapatkan jawabannya.



Buku | Film
Judul: Breakfast at Tiffany's
Tebal: 163 hal. | Durasi: 115 min.
1958 | First Published | 1961
Penerbit (Edisi Indonesia): Serambi, 2009 | Distributed by: Paramount Pictures
Penulis: Truman Capote | Directed by: Blake Edwards
Cast: Audrey Hepburn, George Peppard, Patricia Neal, Buddy Ebsen
Rate: 3/5

Rabu, 13 Maret 2013

Move On dari Kirrin




Kali ini liburan paskah. Lima sekawan kembali berlibur di Kirrin untuk menyambut petualangan mereka berikutnya, setelah tiga petualngan sebelumnya yang sangat mendebarkan. Saat itu musim semi, di Kirrin angin berhembus sangat kencangnya, sehingga liburan anak-anak kacau balau. Penyebab liburan mereka berantakan ialah adanya pohon tumbang yang menimpa rumah George! Kamar anak-anak berantakan, mereka pun hampir menjadi korban, terbayang sudah liburan mereka yang gagal dan mereka pun terancam untuk kembali ke asrama sekolah.

Sarang penyelundup...

Tiba-tiba Paman Quentin teringat kepada temannya sesama ilmuwan yang tadinya akan berkunjung ke Kirrin, Lenoir. Kebetulan anak dari Lenoir yaitu Pierre Lenoir merupakan teman sesekolah Julian dan Dick. Maka dikirimlah anak-anak kesana oleh Paman Quentin, ke Sarang Penyelundup, bukan dalam arti sebenarnya, karena Sarang Penyelundup itulah nama rumah dari keluarga Lenoir. Sayangnya, ayah Pierre tidak menyukai anjing, jadi Tim terancam tidak dapat ikut, namun bukan George namanya jika menyerah begitu saja.

Lenoir, dalam bahasa Perancis artinya ialah hitam. Itu pula yang menginspirasikan teman-teman Pierre untuk memanggil dirinya dengan sebutan si Hangus. Bukan asala sebut nama, karena memang dari mata, warna kulit yang agak kecoklatan sampai rambut dan alis Pierre, semua berwarna gelap. Sehingga layaklah Pierre disebut si Hangus. Kenetulan Pierre juga tidak keberatan, karena pada dasarnya si Hangus juga merupakan anak yang supel, ceria, ramah, bahkan sedikit jahil.

Ternyata, nama Sarang Penyelundup bukan hanya nama secara harfiah saja, pada kenyataannya, dahulu di tempat tersebut banyak penyelundup yang berkeliaran. Bahkan, banyak lorong-lorong rahasia di bawah tanah kediaman si Hangus! Ada yang menuju ke arah kota, ke arah rawa-rawa, bahkan lorong yang menghubungkan bagian-bagian rumah tersebut di bawah tanah!

Sebelumnya anak-anak berpendapat bahwa liburan mereka kali ini akan datar-datar saja, tanpa petualangan apa-apa. Tetapi mereka salah, Sarang Penyelundup ternyata masih menyimpan beberapa penyelundup yang tetap eksis. Anak-anak pun mulai mengendus kehadiran dan tanda-tanda adanya penyelundup tersebut, sampai akhirnya nyawa anak-anak pun terancam karena para penyelundup itu tidak main-main terhadap siapapun yang menghalangi mereka.

Yup, kali ini Lima Sekawan bertualang jauh dari Kirrin, akhirnya. Apalagi, ada anak baru yang mengikuti petualangan tersebut selain mereka berlima. Ya, si Hangus ternyata klop dengan anak-anak, dan dia pun ikut berpetualang bersama mereka, karena dia pun ternyata menyukai petualangan.

Kisah di buku ini lebih mendebarkan dibanding buku-buku sebelumnya. Terancamnya nyawa anak-anak secara serius oleh para penyelundup membuktikan bahwa kali ini petualangan mereka bukan main-main. Juga lorong-lorong serta katakombe yang diceritakan membuat pembaca dapat larut di dalam ceritanya. Bagaimana anak-anak berjalan-jalan melalui lorong-lorong bawah tanah tersebut, mengingatkan kita bahwa pada jaman dahulu kala lorong-lorong tersebut benar-benar pernah ada di dunia nyata. Kesempitan dan terjalnya lorong-lorong tersebut seolah-olah membuat juga pembaca ikut terlarut dan kecapekan dalam membaca buku ini.

Dari segi cerita, penjahat di buku ini sebenarnya agak sulit ditebak. Bagaimana Enid Blyton membuat teka-teki tentang siapakaha dalang sebenarnya sungguh sangat membingungkan. Dari sini dapat dipetik pelajaran bahwa penampilan luar tidak dapat dijadikan acuan untuk watak seseorang. Karena belum tentu seseorang galak merupakan orang jahat, begitu pula sebaliknya.

Akhirnya, setelah terbius buku ini, saya memberikan bintang lima untuk petualangan ini. Mengenai rekomendasi usia untuk anak-anak Indonesia, saya masih condong kepada usia 10 tahun ke atas. Bukan apa-apa, saya kurang bisa membayangkan kejadian ini terjadi pada anak usia 12-14 tahun di Indonesia sini.

buku ini dibaca dalam rangka mengikuti Fun Months 2 di Fun Year Event with Children Literature disini


Judul: Lima Sekawan: Ke Sarang Penyelundup
Penulis: Enid Blyton
Tebal: 272 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Rate: 5/5
Rekomendasi Usia: > 10 tahun

Belajar Dari Hal Sepele



Siapa tak mengenal Sherlock Holmes? Detektif terbaik dan tertengil di sekitar abad ke-19 ini merupakan tokoh fiksi rekaan Sir Arthur Conan Doyle. Dengan partner setianya yaitu dr. Watson, Holmes mengajak para pembacanya untuk menyelami dunia kriminalitas di sekitar abad tersebut, tentunya dengan setting dan latar belakang yang masih begitu kuno, seperti kereta kuda, dan juga kirim-mengirim pesan yang masih sangat jadul, yaitu dengan menggunakan pos dan telegram.

Seperti telah diketahui, dalam tiap bukunya, Doyle bercerita tentang petualangan dan kasus-kasus yang dipecahkan oleh Holmes dari sudut pandang dr. Watson. Jadi, di buku-bukunya ini, seolah-olah dr. Watson-lah yang membukukan kisah-kisah Holmes selama memecahkan teka-teki yang ada, dan tulisan-tulisan yang ada merupakan karya yang ditulis dr. Watson. Singkatnya, seperti dr. Watson-lah yang menceritakan kembali petualangannya bersama Holmes. Padahal kita juga telah mengetahui bahwa dr. Watson pun merupakan tokoh fiktif.

Buku yang saya baca ini merupakan buku kumpulan-kumpulan kisah Holmes yang disatukan dalam buku Petualangan Sherlock Holmes, atau the Adventure of Sherlock Holmes. Ada 12 kisah pendek Holmes di dalam buku ini, dan rata-rata menghabiskan sekitar 40 halaman setiap ceritanya. Ada satu keunikan dan benang merah dalam tiap kasus yang dipecahkan Holmes, yaitu bagaimana cara Holmes memecahkan kasus tersebut. Kebanyakan petunjuk-petunjuk Holmes  didapat dari hal-hal remeh dan sepele yang tampak tak kasat mata dan seolah-olah dapat diabaikan. Namun disitulah keunikan Holmes, dengan  kaca pembesarnya, dia dapat memeriksa jejak sekecil apapun untuk memecahkan kasus yang tengah diselidikinya.

Kasus-kasus yang ada di buku ini pun dapat dikatakan tidak seluruhnya merupakan kasus yang benar-benar besar dan menarik perhatian orang-orang di sekitar Holmes. Justru kebanyakan, kasus-kasus yang ternyata besar tersebut bermula dari hal-hal kecil yang ganjil yang dilaporkan oleh klien-klien Holmes kepada dirinya. Pada cerita ketiga di buku ini, yaitu Perkumpulan Orang Berambut Merah, kisah ini berawal dari hal sepele, yaitu keganjilan seorang klien Holmes tentang perkumpulan orang berambut merah yang memperkerjakannya untuk hal sepele dengan gaji yang lumayan besar, tetapi  di tengah jalan, perkumpulan tersebut tiba-tiba tidak ada lagi kabarnya. Klien Holmes yang kebingungan akhirnya melaporkan hal ini kepada Holmes, dan siapa nyana, hal ini ternyata merupakan sebuah awal dari kasus besar yang melibatkan harta yang berlimpah. Ada lagi pada cerita terakhir yang berjudul Petualangan di Copper Beeches, kisahnya mirip dengan si rambut merah tersebut, yaitu klien Holmes ditawari pekerjaan yang ringan namun dengan upah yang tinggi. Hal ini ternyata berujung sama dengan kisah rambut merah, yaitu tindak kejahatan.

Yang unik lagi dari kasus-kasus yang ditangani Holmes, yaitu sedikitnya kisah yang berlatarkan pembunuhan di buku ini. Yang paling “kejam” di dalam kasus-kasus Holmes di buku ini bisa dibilang yaitu cerita yang berjudul Lima Butir Biji Jeruk, karena melibatkan pembunuhan yang berantai, dan juga sebuah perkumpulan yang memang kejam, walaupun pada akhirnya perkumpulan tersebut terkena batunya sendiri.

Dengan pembawaannya yang kocak, Holmes mampu membuat para pembacanya tersenyum melihat tingkahnya yang memang agak tengil. Tetapi disamping kelakuannya tersebut, banyak hal yang dapat diambil dari penelusuran dan penelitian Holmes terhadap hal-hal sepele. Contohnya saja, pengamatan terhadap siku tangan, atau jejak yang berada pada celana di daerah lutut, bahkan hingga ruas-ruas jari, banyak hal yang dapat disimpulkan dari hal-hal sepele semacam tersebut.

Pada akhirnya, kisah Holmes ini seakan membawa saya nostalgia ke beberapa tahun yang lalu, karena setelah dibandingkan, ternyata  salah satu buku Holmes yang diterbitkan oleh penerbit lain dengan judul Great Adventure of Sherlock Holmes mempunyai cerita-cerita yang sama dengan buku ini, meskipun dengan cara penterjemahan yang agak berbeda. Ada satu hal yang membuat saya kecewa dengan buku ini, karena bisa dibilang buku ini hanya ganti cover saja, ini terbukti dari bagian sampul depan buku yang masih tertulis judul Sherlock Holmes dalam jenis font yang lama, begitu pula pada font di isi cerita, masih merupakan font yang jadul, font yang sama dengan cetakan Holmes sebelumnya. Overall, dari sisi cerita, buku ini layak mendapatkan lima bintang.

buku ini saya masukka ke dalam baca bareng event Mistery Reading Challenge 2013 disini


Judul: Petualangan Sherlock Holmes
Penulis: Sir Arthur Conan Doyle
Tebal: 504 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Rate: 5/5

Minggu, 10 Maret 2013

Cerita Misteri Lintas Zaman




Ini adalah buku Abdullah Harahap pertama yang saya baca. Sempat terpesona oleh cover-cover dan judul buku ini di toko-toko buku, namun tak pernah kesampaian untuk membelinya. Hingga suatu saat saya menemukan buku ini di tumpukan buku-buku berharga 10 ribu di Blok M Square. Kebetulan juga buku ini dapat saya masukkan ke dalam event Mistery Reading Challenge. Sekaligus memperkenalkan buku misteri lokal kepada rekan-rekan pembaca buku semua.

Misteri Lemari Antik, inilah judul buku yang saya baca. Dengan cover sebuah pintu lemari bertatahkan wajah seorang wanita, cover ini seolah mencerminkan apa yang sedang diceritakan di dalam buku ini. Walaupun apabila dibaca dengan teliti, sebenarnya cover dengan lemari antik yang diceritakan mempunyai gambar yang lumayan berbeda. Sebab, di buku diceritakan ukiran gambar yang terdapat pada lemari yaitu seorang wanita dengan membawa seekor kambing. Namun dari segi cover, ilustrasi yang ada telah cukup membuat saya merinding.

Dari segi cerita, di awal buku saja kita telah dibawa ke tahun 1928. Pada tahun tersebut diceritakan bahwa Sukaesih yang dipercaya masyarakat sebagai tukang sihir akhirnya dihakimi massa untuk kemudian dihukum bakar. Supardi, seorang pengukir kayu yang menaruh hati terhadap Sukaesih mendapat isyarat dari Sukaesih sebelum ia mengalami hukum bakar, yaitu untuk membuat sebuah lemari bergambar wajahnya. Kelak, roh Sukaesih akhirnya masuk ke dalam ukiran lemari tersebut, walaupun pada saat dihukum bakar tersebut, mayat Sukaesih sebenarnya tidak dapat ditemukan. Inilah kisah awal mula lemari antik yang akhirnya menjadi pintu gerbang menuju masa lalu, sebuah lemari yang misterius dan memakan tumbal.

Beralih ke masa kini, tepatnya tahun 1984 di Pandeglang, Banten. Ismed, seorang pegawai negeri yang dipindahtugaskan ke Pandeglang dari Bandung berencana untuk membeli furniture-furniture bekas untuk keperluan rumah tangganya di rumah barunya. Tanpa sengaja, di toko furniture itu Ismed menemukan lemari antik yang misterius tersebut. Sebenarnya si pemilik toko telah melarang Ismed untuk membeli lemari tersebut karena riwayat lemari tersebut yang kurang sedap ketika berada di pemilik sebelumnya. Ada yang jatuh miskin, bahkan ada pula yang mencoba menyetubuhi ukiran perempuan yang berada di pintu lemari tersebut. Namun dengan usaha yang gigih, akhirnya Ismed mendapatkan lemari antik tersebut.



Di rumah, peristiwa-peristiwa yang diceritakan si pemilik toko ternyata benar terjadi. Ada dorongan kuat bagi diri Ismed untuk bercinta dengan lemari tersebut, untung saja ia sempat sadar pada saat terakhir. Masalah baru muncul ketika Farida, istri Ismed tiba di Pandeglang.  Pada suatu hari, Farida tiba-tiba menghilang. Ismed, yang kebingungan mencari istrinya kemudian teringat pada lemari tersebut, dan ketika ia membuka lemari itu, tiba-tiba ia tersedot ke masa lalu, ke tahun 1929, satu tahun setelah peristiwa pembakaran Sukaesih. Ismed pun terjebak di masa lalu, mengalami kejadian-kejadian mistis, serta harus secepatnya menemukan istrinya.

Bisa dibilang, buku ini horor Indonesia banget. Feel horornya dapat tersampaikan dengan baik. Bagaimana sesosok wanita di tahun 1929 muncul pada malam hari dan mencuri bayi-bayi masyarakat sekitar, sungguh sangat misterius. Belum lagi peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan mistis, seperti roh yang masuk ke dalam ukiran lemari, sungguh sangat khas. Apalagi dibumbui peristiwa-peristiwa sejarah pada tahun 20-an tersebut. Dikisahkan, bahwa pada tahun tersebut Belanda masih menjajah Indonesia, maka kejadian-kejadian yang dialami Ismed pun berkaitan dengan kekejaman Belanda yang terjadi di tahun tersebut.

Memang, buku ini agak kurang masuk akal dan terkesan terlalu dibuat-buat. Tetapi seperti telah dibilang sebelumnya, buku ini sangat cocok untuk dibaca para penggemar cerita horor. Walaupun memang diselingi dengan adegan-adegan dewasa yang tidak terlalu vulgar, namun hal ini tidak terlalu mengganggu kenikmatan membaca. Buku ini saya rasa dapat dijadikan film-film horor picisan yang sering ada di bioskop-bioskop, tetapi bukan termasuk film horor yang mengumbar hawa nafsu, tetapi lebih ke arah film-film horor semacam Jelangkung, yang dahulu sempat merajai bioskop Indonesia. Empat bintang untuk buku ini.


Judul: Misteri Lemari Antik
Penulis: Abdullah Harahap
Penerbit: Paradoks
Tebal: 344 hal.
Rate: 4/5

Musim Panas Lagi, Petualangan Lagi




Buku ketiga dari seri Lima Sekawan ini kembali berlatar belakang musim panas, namun kali ini telah satu tahun berlalu semenjak anak-anak ini bertemu pertama kalinya di musim panas lalu dan mengalami petualangan seru di Pulau Kirrin. Anak-anak pun mulai beranjak dewasa dibanding ketika pertama kali bertemu.

Liburan musim panas kelima sekawan ini masih mereka habiskan di Pondok Kirrin, walaupun dengan kabar yang agak kurang menyenangkan akibat bibi Fanny (ibu dari George) sedang sakit dan Joanna, asisten rumah tangga di Pondok Kirrin, sudah tidak bersama mereka lagi. Joanna digantikan oleh Bu Stick yang sama sekali tidak ramah, serta memiliki anak laki-laki bernama Edgar yang sangat menyebalkan dan juga seekor anjing yang bernama Abu (anak-anak memplesetkannya menjadi Bau) yang juga sangat tidak disukai oleh Timmy. Situasi bertambah runyam ketika Bibi Fanny tiba-tiba harus dirawat di rumah sakit gara-gara penyakitnya yang bertambah parah, serta kedatangan Pak Stick, yang juga sama menyebalkannya dengan Bu Stick dan Edgar.

Suasana rumah yang semakin tidak kondusif akibat sikap Bu Stick yang semena-mena, yang di antara lain tidak memberi jatah makanan kepada anak-anak, membuat anak-anak gerah dan memutuskan untuk kabur dari rumah. Tepatnya, mereka memutuskan untuk minggat ke Pulau Kirrin, karena kebetulan cuaca musim panas sedang cerah dan juga persediaan makanan yang mereka milik cukup untuk bekal mereka pada saat “kabur”. Tak disangka, di Pulau Kirrin, mereka kembali mengalami petualangan seru, yang diantaranya mereka menemukan sebuah koper yang isinya boneka-boneka serta keperluan-keperluan anak perempuan. Satu hal lagi yang lebih mencengangkan, ternyata keluarga Stick yang berada di balik kejadian-kejadian yang anak-anak awasi di Pulau Kirrin.

***


Buku ketiga Lima Sekawan ini masih berkisar di Kirrin, seputaran Pondok dan Pulau Kirrin, sama seperti dua buku awal Lima Sekawan, yang juga berlatar belakang di Kirrin. Dengan membaca buku ini, pembaca seolah dibawa oleh Enid Blyton untuk ikut “berpiknik” bersama anak-anak Lima Sekawan. Petualangan dan kehidupan mereka di Pulau Kirrin pada saat minggat sungguh sangat menggiurkan. Bagaimana tidak, coba saja bayangkan menginap di sebuah gua yang beralaskan pasir putih dan cahaya yang cukup dari sebuah lubang di atas langit-langit. Belum lagi perbekalan anak-anak yang sangat menggiurkan, khas Inggris Raya. Ada limun, air jahe, roti selai, daging dingin, dan lain-lain. Bagi kebanyakan pembaca Lima Sekawan yang bukan berasal dari Eropa sana, saya yakin akan tergiur juga dengan makanan-makanan tersebut. Belum lagi petualngan-petualangan mereka yang selalu menakjubkan, hal ini pun membuat pembaca ikut hanyut dalam cerita yang sedang dibaca.

Ada sebuah kesamaan dari tiga buku pertama Lima Sekawan ini, yaitu anak-anak ini selalu terlibat dengan suatu kejahatan yang melibatkan orang dewasa dan juga melibatkan kasus-kasus yang lumayan besar, baik dalam lingkupnya, maupun harta yang terlibat di dalamnya. Kesamaan lain yaitu kejadian-kejadian petualangan mereka ini selalu terjadi pada saat liburan sekolah, hal ini mungkin dimaksudkan oleh Enid Blyton untuk memotivasi anak-anak agar mengisi waktu liburan mereka dengan kumpul dengan keluarga dan melakukan kegiatan-kegiatan seru, seperti berkemah, atau mungkin berpetualang. Hal ini pulalah yang membuat Lima Sekawan ini menjadi buku anak yang terkenal di seluruh dunia. Mengenai rekomendasi usia untuk buku ini, sama seperti kedua buku sebelumnya, masih ada kata yang lumayan kasar di buku ini, sehingga perlu diberinya pemahaman kepada mereka bahwa kata-kata kasar tersebut tidak layak untuk mereka ucapkan. Jadi kesimpulannya, buku ini cocok untuk usia 10 tahun ke atas, serta empat bintang untuk buku ini. Oh ya, buku ini juga saya sertakan dalam baca bareng karya-karya Enid Blyton dalam event Fun Months 2 dalam tantanga membaca literatur-literatur untuk anak-anak dengan host mbak @bzee_why disini


Judul: Lima Sekawan: Minggat
Penulis: Enid Blyton
Tebal: 267 hal.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Rate: 4/5
Rekomendasi Usia: >10 tahun

Selasa, 05 Maret 2013

Sebuah Review untuk Sebuah Fantasi




Kami terikat dengan dirimu
Jiwa kami adalah jiwamu
Ragamu adalah milik kami
Dan kekuatan kami adalah milikmu


Itu merupakan ikatan antara naga dan para pengendalinya. Suatu hubungan timbal balik yang sebenarnya agak timpang. Mengapa demikian? Karena sebagai seorang pengendali naga, apabila si pengendali mati maka sang naga akan tetap hidup guna mencari tuan yang baru nantinya, sementara apabila sang naga yang mati, maka otomatis si pengendali naga pun akan mati. Tetapi para pengendali naga seolah tidak pernah memikirkan hal tersebut, dia akan sekuat tenaga untuk tetap berjuang bersama sang naga, guna tetap mempertahankan perjanjian yang telah terucap sejak lama antara kaum naga dan kaum manusia.

Buku ini merupakan buku fantasi lokal kedua yang saya baca setelah Nibiru-nya Tasaro GK. Seingat saya belum ada lagi cerita atau buku fantasi lokal yang saya baca dan begitu berkesan selain kedua buku ini. Buku ini ialah buku karangan seorang teman di salah satu forum terbesar di Indonesia, yaitu kaskus. Dicetak melalui jalur indie melalui Leutika Prio, jujur saja saya agak tercengang melihat penampakan dari buku ini. Dengan ketebalan 600-an halaman, kertas putih HVS, ilustrasi naga yang ada pada setiap bab-nya, hingga pembatas buku yang juga berilustrasikan sang naga membuat buku ini berkesan pada pandangan pertama. Tetapi jujur saja, saya kurang melihat korelasi antara cover buku dan ilustrasi-ilustrasi yang ada dengan naga-naga yang ada di dalam cerita. Seolah gambar naga pada cover hanya sebagai formalitas bahwa buku ini mempunyai judul yang berkaitan dengan naga.

Siyan, sang tokoh utama buku ini merupakan tetua naga provinsi Timur, salah satu provinsi dari enam provinsi yang dimiliki oleh kerajaan Avriedhas. Avriedhas ini memiliki seorang raja yaitu Azel. Seorang raja yang sangat berambisi untuk memusnahkan semua pengendali naga, terutama tetua naga dari keenam provinsi guna menghancurkan perjanjian yang telah dibuat semenjak dahulu kala antara kaum naga dan manusia. Tujuan Azel sebenarnya ialah untuk melanggengkan kekuasaannya dan meminiminalkan ancaman dari para tetua naga terhadap posisinya sebagai raja. Provinsi Timur ini merupakan salah satu provinsi selain Barat Daya dan Tenggara yang tetuanya belum takluk kepada raja atau dibunuh oleh sesama warga dari provinsi tersebut guna menghindari siksaan yang lebih berat dari raja. Siyan, yang mempunyai dendam pribadi terhadap Avriedhas akibat perbuatan raja dan ajudan-ajudannya membunuh ayah serta kedua kakak laki-lakinya, hingga membawa kabur ibu dan kakak perempuannya, diam-diam merencanakan untuk melakukan pemberontakan dan meruntuhkan tirani raja Azel. Apalagi posisinya sebagai Tetua Naga Provinsi Timur merupakan posisi yang juga sangat diincar raja untuk dihancurkan, makin memanaskan ambisi Siyan untuk menghancurkan Raja Azel. Mampukah Siyan memberontak dan meruntuhkan Avriedhas?

Dari isi cerita, sebelumnya perhatian pasti bakal tertuju kepada nama tokoh-tokoh yang terkesan aneh dan sulit diucapkan. Siyan, Xiesht, Alant, Lalita, Hises, dan lain-lain. Belum lagi nama-nama tempat dan istilah-istilah yang ada seperti Avriedhas, Da’anrha, Sarakhan, cukup sulit untuk diingat dan dihapalkan, apalagi dilafalkan. Namun, satu pujian layak diberikan atas penamaan klan manusia pada buku ini. Contohnya saja Siyan. Ia memiliki nama ayah Arest Restellyn Dion, maka nama panjangnya menjadi Siyan Restellyn Arest. Begitu pula Arest, dari namanya dapat ditebak bahwa nama ayahnya yang juga kakek dari Siyan ialah Dion, menarik!

Ada lagi sedikit ketidaknyamanan dalam membaca buku ini, suara-suara yang menurut saya kurang penting untuk dibahas, seperti suara pintu dibuka, suara langkah kecil, suara jantung yang berdebar selalu ditulis dalam tulisan yang mengganggu pandangan. Contoh penulisan ini ada prolog awal: ““KRESK...” Suara langkah kecil yang samar terdengar dari arah belakang.”. tulisan “KRESK” ini yang mengganggu, sebabnya tulisan-tulisan ini tidak muncul satu-dua kali, namun hampir sering terjadi, seperti “DEG”, “CKLEK”, dan banyak lagi. Ada baiknya penulis mengurangi penggunaan bunyi-bunyian tersebut. Atau mungkin dapat agak diminimalisir dengan tidak menulisnya dengan huruf kapital semua. Satu hal lagi, nampaknya penulis berhasrat untuk menjadi desainer pakaian. Ini terlihat dari sangat lengkapnya deskripsi pakaian yang digunakan oleh masing-masing tokoh di buku ini. Seperti contoh di halaman 33: “Gadis itu mengenakan pakaian lengan panjang yang longgar, mirip seperti kemeja laki-laki dengan panjang sampai ke lutut. Di pinggangnya terdapat kain putih yang melilit, dengan ikatan yang masuk ke dalam lilitan kain sehingga membuatnya terlihat lebih rapi. Celana panjangnya berwarna senada dengan warna pakaiannya, putih gading, dengan panjang sampai ke mata kaki“. Saya pikir untuk deskripsi pakaian tidak perlu sepanjang itu, karena jujur saja, saya tidak mau pusing-pusing membayangkan pakaian seperti apa yang dideskripsikan tersebut, lebih banyak saya banyak sekilas saja pada saat membahas “mode-mode” tersebut. Ada lagi sih masalah tentang makanan yang sepertinya kok Indonesia banget, sayur bayam, tempe goreng, sambal, sampai-sampai saya berpikir, apakah ini rumah makan sunda? Hehehe. Tapi hal ini tidak terlalu mengganggu dibanding dua hal di atas tadi.

Walaupun paragraf sebelumnya agak banyak keluhan tentang suara-suara dan fashion, namun dari sisi cerita saya sangat menyukainya. Seru, membuat penasaran, jalan ceritanya pun mengalir.  Pembaca seolah dibawa ke alam para pengendali naga, merasakan pertempuran-pertempuran yang terjadi, hingga membayangkan memiliki naga seperti yang dialami Siyan dengan Flyker-nya (Flyker adalah nama naga dari Siyan), membuat iri! Selain unsur action dan petualangan, ada pula unsur romance pada buku ini. Hubungan antar anak manusia yang begitu unik dan mungkin saja benar terjadi di dunia nyata. Satu hal yang membuat kaget ada di akhir buku ini, ketika terjadi sebuah adegan kekerasan yang menurut saya terlalu sadis, sehingga pemikiran bahwa buku ini cocok untuk anak-anak seketika sirna ketika membaca adegan tersebut. Tapi hal ini bukan merupakan nilai minus, karena wajar saja apabila di dalam suatu pertempuran terjadi hal yang demikian. Overall, bintang empat saya berikan untuk buku ini, good job Mbak Dhia, walaupun ending ceritanya sangatlah kentaaaaaaaaaaaaaaang....


Judul: Para Pengendali Naga: Nyanyian Perang di Tanah Naga
Penulis: Dhia Citrahayi
Penerbit: LeutikaPrio
Tebal: 631 hal.
Rate: 4/5