Selasa, 26 Juni 2012

Mungkin (Takkan) Ada Lagi


Setelah bermaraton 14 hari menulis FF, akhirnya semuanya selesai, lega rasanya. Apalagi, kemudian panitia memberitahu, bahwa ada doorprize berlibur ke Raja Ampat sebagai “upah” jerih payah telah mengikuti kompetisi menulis FF ini. Aku, yang menulis FF untuk pertama kalinya, tidak berharap banyak akan hadiah ini, karena memang aku masih newbie dalam masalah tulis-menulis, jadi aku putuskan siang itu untuk tidur.

Kriiiing...

Bunyi hp mengejutkanku, nomer yang tidak dikenal ternyata yang menghubungiku, akupun menekan tombol hijau, “halo,” aku menyapa. “Halo, Mas Luki? Kami dari panitia penulisan FF. Selamat, anda berhasil mendapatkan doorprize liburan ke Raja Ampat, semua biaya dan akomodasi kami yang tanggung.” Bagaikan petir di siang bolong, aku pun sujud syukur, tidak menyangka bakal mendapat kejutan seperti ini.

***

Disinilah aku sekarang, Raja Ampat, Papua. Sudah dua hari aku disini. Benar-benar liburan, melepaskan diri dari suasana semrawut ibukota. Yang ada disini hanyalah keindahan, keindahan, dan keindahan. Bayangkan, setiap hari kerjaannya hanya tidur, makan, berenang, makan, tidur, waaah, sangat senang sekali. Satu hal yang paling menghebohkan yaitu ketika berenang di pantai Raja Ampat, sesekali apabila sedang menenggelamkan kepala ke dalam air, terumbu karang terlihat sangat jelas, belum lagi ikan-ikan yang berenang di sekitar tubuhku, serasa di surga.

Sungguh sangat beruntung diriku, ketaksengajaan akhirnya berakhir di Raja Ampat. Ya, aku tak sengaja melihat ada kompetisi menulis seperti ini, karena memang minatku pada menulis tak sebesar minatku terhadap membaca. Jadi dengan adanya kompetisi semacam ini, aku dipaksa untuk menulis dalam deadine, dengan tema yang telah ditentukan oleh panitia. Bukan itu saja, acara ini juga bermanfaat terhadap kelangsungan blogku, sebelumnya jarang-jarang ada yang lihat, apalagi komentar disana, namun setelah mengikuti acara ini otomatis blogku terangkat, dan mungkin bakatku bisa terlihat, karena panitia setiap hari secara rutin mempromosikan tulisan-tulisan kami. Entah, bakal ada kapan lagi acara yang seperti ini, mungkin melihat dulu kesuksesan program kali ini, sehingga mungkin juga acara seperti ini takkan ada lagi di masa mendatang.

Aku menerawang jauh, kini aku sedang berada di tengah lautan luas, di sebuah kapal kecil, aku berbaring sambil melihat ke langit biru. Menikmati saat-saat terakhir liburanku, bersyukur atas karunia Tuhan yang telah memberikan segalanya. Tiba-tiba hpku berbunyi, letaknya lumayan jauh di meja seberang, sedangkan aku malas untuk beranjak, maka akupun meraba-raba meja di seberang tempatku berbaring. Tanpa terasa, kursi yang kupakai untuk berbaring mendadak terbalik akibat badanku terlalu miring, dan tanpa bisa kutolak, tubuhku pun tercebur ke dalam lautan... “Tolooong!” teriakku.

***

Byuurrr...kriiinggg...

“Ayo bangun Luk, angkat tuh teleponnya!” ternyata emakku yang mengakibatkan aku tercebur ke dalam laut, eh, maksudnya diriku basah. Beliau mengguyurku dengan air seember karena aku tak kunjung bangun mendengar dering hp-ku.

“Aaaah, Emak! Jadi basah semua nih, mana lagi enak-enak mimpi di surga, malah kecebur ke laut.”

“Ngomong apa kamu?! Dasar pemalas, ayo bangun!”

Sedangkan doorprize ke Raja Ampat tersebut akhirnya kuketahui hanya hoax, ternyata panitia menjadikan Raja Ampat sebagai tempat kejutan untuk setting cerita FF ke-15, ya, jadi bukan empatbelas cerita yang mesti kutulis, namun limabelas. Dan bukan pula Raja Ampat sebagai doorprize untuk peserta penulisan FF.

Senin, 25 Juni 2012

Langit pun Tersenyum


Yah, disinilah aku sekarang, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Tujuanku kesini sebenarnya ialah dalam rangka mengampanyekan dan mempromosikan Taman Nasional Laut Wakatobi sebagai Cagar Biosfer Dunia ke-8 di Indonesia. Sebagai putra asli Sulawesi Tenggara, nampaknya kurang afdol apabila obyek wisata di kampung halaman sendiri tidak berusaha kujadikan Cagar Biosfer Dunia. Karena sepengalamanku waktu kecil, Wakatobi yang mempunyai pemandangan yang indah merupakan tempat sehari-hari aku bermain, menghabiskan waktu, bahkan bertamasya bersama keluarga. Apalagi, aku dan rekan-rekan telah berhasil mengampanyekan dan menjadikan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu di Riau sebagai Cagar Biosfer Dunia ke-7 di Indonesia.

Aku mulai aktif di kegiatan ini di tahun 2008, bukan sekedar gaya-gayaan, segala daya dan upaya yang aku dan teman-temanku lakukan ini tak lain adalah untuk menjaga kelestarian alam serta lebih mengharumkan nama Indonesia di dunia, terutama di mata PBB. Biarlah carut-marut perokonomian dan perpolitikan kita dipandang sebelah mata oleh dunia, namun mengenai hal lingkungan, kita tidak boleh abai, karena ini juga merupakan masa depan bagi kita, terutama bagi anak-anak kita. Aku sangat senang ketika usaha kami menjadikan Giam Siak Kecil-Bukit Batu akhirnya diakui PBB, di saat kendala asap akibat pembakaran hutan marak di Riau, kami bisa membuktikan bahwa masih ada harapan untuk memperbaiki hal itu, terbukti dengan diakuinya Giam Siak Kecil-Bukit Batu menjadi Cagar Biosfer Dunia di Indonesia.

Perlu kalian tahu, Cagar Biosfer ini merupakan perpaduan keselarasan antara ekonomi, masyarakat, dan lingkungan. Jadi kasarnya, perkembangan ekonomi, harus selaras dengan sumber daya masyarakat, dan juga perlindungan lingkungan. Jadi disini tidak hanya diperlukan alam yang indah saja untuk menjadi Cagar Biosfer, namun juga diperlukan peran aktifdari masyarakat dan perkembangan ekonomi yang stabil.

Usaha menjadikan Wakatobi ini akhirnya mengemuka sejak dua tahun yang lalu, satu tahun setelah Giam Siak Kecil-Bukit Batu menjadi Cagar Biosfer, kegiatan kami stagnan, tidak ada hal baru yang bisa kami lakukan. Maka aku pun berinisiatif untuk mengajukan daerahku, tempat kenangan masa kecilku, sebagai Cagar Biosfer berikutnya. Bukan hal yang mudah, karena kebiasaan masyarakat Indonesia pada umumnya, serta masyarakat Wakatobi pada umumnya, yang masih kurang peduli pada alam, padahal unsur masyarakat ini yang menjadi sangat vital dalam kegiatan ini. Bagaimana bisa lingkungan tetap asri dan terjaga bila kebiasaan buruk seperti membuang sampah sembarangan  ataupun perusakan terumbu karang tetap berlangsung? Atau apa yang terjadi apabila Wakatobi ini tidak indah dan asri? Pastinya tidak akan banyak wisatawan yang berkunjung, sehingga tidak akan menimbulkan perkembangan ekonomi yang meningkat setiap harinya. Maka dari itu aku dan teman-temanku berupaya memberi contoh dan pemahaman bagi masyarakat tentang bagaimna cara bersatu dengan alam, menjaganya, bahkan menjadikannya sumber uang bagi daerah. Untungnya, kegiatan ini didukung penuh oleh pemerintah pusat maupun daerah, sehingga tugas kami tidak beigitu berat, dan lambat laun Wakatobi ini menjadi daerah yang bersih, asri, indah, dan yang paling penting dicintai oleh masyarakatnya.

Akhirnya, perjuangan kami tidak sia-sia, April 2012 ini UNESCO telah menyepakati bahwa Taman Nasional Laut Wakatobi berhasil menjadi Cagar Biosfer Dunia kedelapan di Indonesia. Walaupun penyerahan piagam penetapannya baru akan diberikan September nanti, tak ayal aku yang mendengar kabar ini begitu gembira. Aku dan teman-temanpun segera berlarian ke tepi pantai Wakatobi, berteriak-teriak senang, hingga akhirnya berbaring di atas pasir pantai sambil memandang langit, sekilas, kulihat langit pun tersenyum melihat keberhasilan kami, keberhasilan warga Wakatobi dan Indonesia untuk mengharumkan nama bangsa di mata dunia.

Minggu, 24 Juni 2012

Oeroeg by Hella S. Haasse




Oeroeg...

Cukup surprise liat buku ini di obralan gramedia. Judulnya Indonesia banget, tapi yang nulis kok namanya Belanda. Yaa, berhubung lagi diskon, walaupun gak bersegel dan tinggal satu-satunya, akhirnya diputuskan beli aja deh, lumayan Cuma 7,5k. Usut punya usut, Hella S. Haasse ini ternyata seorang Belanda yang lahir di Batavia, maka tak heran buku ini pun bercerita tentang anak Indonesia dan berseting di Indonesia pula.

Ya, Oeroeg adalah seorang anak Indonesia, namun yang membedakan ialah Oeroeg berteman karib dengan “aku”, tokoh yang sepanjang buku tidak disebutkan namanya. “Aku” ini adalah anak Belanda, namun seperti Haasse, dia dilahirkan di Indonesia, dan menghabiskan hidupnya sebagian besar di Indonesia pula. Pershabatan ini tentunya mendapat tentangan dari orangtua “aku”, perbedaan kasta antara Meneer Belanda dan seorang pribumi masih cukup besar di buku ini. Karena setting buku ini juga berada di sekitar tahun 40-an, ketika Belanda masih ada di Indonesia.

Cerita terjadi di sekitar Jawa Barat dan Batavia, juga di Sukabumi. Oeroeg dan “aku” berteman karena ayah Oeroeg adalah orang kepercayaan ayah “aku”. Hingga besar, mereka masih bersahabat, walaupun banyak perubahan-perubahan yang terjadi, namun tidak menghambat persahabatann mereka. Konflik-konflik yang terjadi diantara mereka semakin besar seiring mereka beranjak dewasa. Perbedaan kasta makin tercipta dan tersadari oleh mereka. Selain itu perubahan yang tidak terhindarkan ialah ambisi dan hasrat Oeroeg untuk menyejajarkan diri dengan anak-anak Belanda. Sedangkan “aku”mulai bimbang juga, dia yang kelahiran Indonesia tetapi harus dibeda-bedakan akibat negerinya yang telah menjajah Indonesia, sehingga ia tidak bisa mencintai tanah kelahirannya dengan sempurna, karena dibayangi ketakutan. Ya, dibandingkan Belanda, “aku” lebih mencintai Indonesia sebagai tanah kelahirannya.

Buku ini sebenarnya bikin capek, tidak ada pembagian bab, dan semua jadi satu. Berkisah tentang persahabatan dari kecil hingga beranjak dewasa, dengan dibumbui  aroma kasta diantara lingkungan mereka. Boleh dibilang, ini merupakan curahan hati Haasse tentang negeri kelahirannya. Negeri yang tidak bisa ia cintai sepenuhnya karena kisah masa lalu antara Indonesia-Belanda. Dan dengan jeli, Haasse menuangkan kisah hidupnya dalam seorang bocah fiksi yang disebut “aku”.

Rate 4 dari 5 bintang cukup untuk buku ini, buku yang bikin surprise, ada kisah Indonesia yang diceritakan oleh orang asing

Aku Tak Mengerti


Makassar, 20 Juni 2011.

Museum Kota Makassar dilanda kepanikan, pagi itu telah terjadi kebakaran di museum, tepatnya di  ruang penyimpanan koleksi keramik kuno, dan ruang tempat penyimpanan barang-barang pernikahan adat Bugis. Sontak kejadian itu membuat geger kota Makassar, namun untungnya tidak ada koleksi museum yang rusak maupun terbakar.

Tak urung, media-media cetak serta portal berita nasional menjadikan kebakaran ini sebagai headline di bagian peliputannya. Okezone.com, detik.com, metrotvnews.com, hingga inilah.com serentak memasang judul: “Museum Kota Makassar terbakar” sebagai headline di masing-masing situs berita. Kejadian kebakaran ini membuat masyarakat Makassar prihatin sekaligus lega. Prihatin karena pihak museum bisa kecolongan terjadi kebakaran, sekaligus lega karena tidak ada benda-benda kuno bersejarah yang rusak maupun hilang. Jauh daripada itu, ada sepasang suami istri yang begitu kecewa, tidak mengerti, tidak percaya dengan keadaan yang mereka hadapi terkait dengan kebakaran yang terjadi pagi itu.

Sehari sebelumnya, Makassar, 19 Juni 2011.

Sepasang suami-istri  asal Inggris, Matt dan Cindy Baker adalah sepasang suami-istri kaya raya penjelajah dunia. Bukan tanpa alasan mereka berkeliling dunia, karena mereka merupakan kolektor keramik ternama di dunia, terutama keramik-keramik kuno yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Banyak cara mereka lakukan untuk mendapatkan koleksi keramik kuno itu, namun yang terutama ialah dengan cara mencurinya. Hebatnya, belum pernah sekalipun mereka terbukti bersalah atas beberapa kasus pencurian keramik kuno yang pernah terjadi.

Siang itu, perencanaan yang matang dari Matt dan Cindy telah dibuat. Kali ini targetnya adalah keramik kuno Cina dan Jepang dari Dinasti Ming abad ke 14-17 yang disimpan di Museum Kota Makasaar. Tidak main-main, sepasang suamii istri ini telah berada di Makassar sekitar satu bulan untuk melaksanakan dan merencanakan pencurian ini. Dan tibalah waktu yang mereka pikir sesuai untuk melakukan pencurian ini, yaitu hari minggu tanggal 19 Juni malam.

Blue print dari rencana ini telah tersusun rapi, bagaimana cara mereka bersembunyi, cara mencuri, hingga cara mengambil koleksi keramik yang ada secara aman dan bebas tanpa dicurigai petugas. Tidak lupa pula cara mereka melarikan diri telah juga tercetak denga sempurna. Maka minggu siang itu, sekitar pukul 13.30 mereka mendatangi museum yang jam operasionalnya hanya sampai pukul 14.00. Sengaja mereka memilih hari minggu dalam melaksanakan aksinya, karena senin merupakan hari libur bagi museum, museum tutup setiaphari senin. Sesampainya di dalam, mereka langsung bersembunyi di tempat yang telah mereka perhitungkan sebelumnya. Ya, mereka telah berkali-kali datang ke museum untuk memastikan tempat yang kira-kira dapat dijadikan tempat bersembunyi. Toilet yang rusak mereka pilih sebagai tempat bersembunyi, karena  sesuai pengamatan, toilet ini kurang diawasi, dan cenderung diabaikan oleh petugas museum.  Mereka bersembunyi sampai kira-kira pukul 18.00, dimana pada waktu tersebut, museum telah benar-benar sepi, dan jarang sekali petugas museum mengecek hingga ruangan dalam museum, karena museum ini pun terkenal dengan keangkerannya. Mereka pun keluar dari tempat persembunyian, dan segera menyalakan lilin yang telah mereka persiapkan sebelumnya sambil melihat kembali blue print yang mereka bawa. Lilin ini mereka butuhkan sebagai penerangan karena apabila malam tiba semua lampu di museum dipadamkan. Sekitar pukul 03.00 dini hari keesokan harinya, dimulailah aksi pasangan tersebut. Belum lagi dimulai, terdengar suara gemerisik di dekat mereka, ternyata seekor kucing!

“Husssssh,” usir Cindy. Kucing itu menggeram sebentar lalu beranjak pergi.

“Sudah, ayo kita lakukan, jangan lupa matikan lilinnya,” ujar Matt. Cindy pun mematikan lilin dan segera mengikuti suaminya.

Sekitar  tiga jam waktu yang mereka butuhkan untuk mengumpulkan keramik-keramik incaran yang ingin mereka ambil. Namun belum selesai aksi mereka, tiba-tiba Cindy melihat kobaran api yang menyala.

“Matt, ada kebakaran!” raung Cindy kepada suaminya.

“Oh, sial, petugas akan segera kemari kalau begitu. Ayo kita segera melarikan diri!”

“Tapi, keramiknya?” ratap Cindy.

“Sudah, jangan dipikirkan, daripada kita tertangkap nantinya.”

“Aku tidak mengerti  kenapa kita bisa gagal, padahal rencana kita sudah begitu sempurna, aku tidak mengertiii!” Cindy mulai histeris, namun tak urung dia tetap mengikuti suaminya.

Mereka pun segera melarikan diri, dengan meninggalkan buntelan berisi keramik yang tidak sempat mereka bawa. Api pun segera membesar dan membakar sebagian museum.

***

Pemadaman api berlangsung lancar, petugas pun dimudahkan dalam menyelamatkan keramik-keramik kuno karena keramik kuno itu telah berada dalam satu buntelan, tetapi tidak ada yang menyadari keanehan itu, karena konsentrasi petugas hanya pada pemadaman api dan penyelamatan benda-benda museum. Sumber api disimpulkan berasal dari hubungan arus pendek listrik, semua media pun memberitakan begitu. Tetapi sebenarnya, yang terjadi adalah kebakaran berasal dari lilin yang tidak sempurna dimatikan oleh Cindy, dan api yang masih ada pada lilin tidak sengaja tersenggol oleh kucing yang tadi mengagetkan Cindy, sehingga api menjalar membakar  kertas-kertas blue print pencurian Matt dan Cindy yang berada di dekat lilin, dan akhirnya membesar membakar museum.

Sabtu, 23 Juni 2012

Memori Tentang-Mu


Sebuah bar, di bilangan Jakarta Barat.

Asap rokok dan bau alkohol menguar keras di ruangan itu, sementara itu di sebuah meja ada dua orang pemuda yang sedang bermain kartu.

“Coy, daripada iseng-iseng, mening kita taruhan aja yuk!” ajak Dedi, pemuda pertama. Dari nada bicaranya dia sudah dalam keadaan mabuk.

“Boleh coy, siapa takut?!” tantang pemuda kedua, Lilik, yang dalam keadaan tak kalah mabuk.

“Oke, yang menang dapet tiket liburan ke Bali ya, setuju?” Dedi mengajukan tawaran.

“Boleh, siapa takut?” Sambut Lilik.

Setengah jam berlalu, akhirnya muncul pemenang.

“Haha, gw yang menang coy, siapin tiket buat besok ya?” Dedi tertawa gembira.

“Sial,” teriak Lilik sambil membanting kartu. “Oke, besok gw pastikan tiket telah siap.

Dedi pun pulang ke rumah dengan hati senang, walaupun dalam keadaan mabuk, ia bisa sampai rumah dengan selamat.

Sesampainya di rumah, dia menemukan dinding rumahnya berlumuran darah, bahkan bau amisnya masih tercium, dan bau bangkai pun semakin menyengat hidung. Sambil curiga, Dedi mengendap-mengendap masuk ke dalam rumah, tanpa ia sadari, ada seseorang di belakangnya, hendak menusukkan pisau. Ketika Dedi berbalik...
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaa,” Dedi terbangun keesokan siangnya, ternyata dia hanya bermimpi. Saking mabuknya, dia tidur di sofa di ruang tamu. Masih teringat taruhannya kemarin dengan Lilik, dia pun menelepon rekannya itu.

“Halo Lik,”

“Yoi coy, kenapa?”

“ Udah siap tiketnya?”

“Udah dong, kita ketemu di bandara aja, tar gw yang urus disana.”

“Oke deh, gw berangkat sekarang.”

Dedi pun bergegas mandi dan berkemas seadanya. Singkat cerita,  Dedi pun bertemu Lilik di bandara, dan tanpa banyak basa-basi, tiket pun diberikan, sehingga Dedi bisa segera berangkat ke Bali.

Di pesawat, Dedi pun kembali bermimpi buruk. Kali ini dia didatangi oleh sesosok perempuan yang jelita.  Perempuan itu mengajaknya berhubungan intim, dan ketika mereka saling berhadapan, ternyata wanita itu memiliki gigi taring laiknya drakula, dan bola matanya keluar. Dedi pun terbangun sambil terengah-engah  dengan diikuti tatapan heran dari penumpang lainnya.


Bali, Pura Besakih.

Sesampainya di Bali, Dedi langsung ke Pura Besakih, entah mengapa, dia sangat mengagumi obyek wisata ini. Sekitar pukul 16.00 Dedi masih berjalan-jalan di sekitar Pura. Tak luput jari-jemarinya yang memegang kamera dengan lihai memotret setiap wanita yang lewat. Ya, Dedi memang mempunyai kebiasaan buruk, dengan mabuk, judi, dan wanita adalah tiga hal yang telah biasa ia gauli. Anehnya, kali ini, setiap dia melihat hasil potretannya, foto yang terlihat selalu wanita yang sedang menyeringai tajam kepadanya. Ini terjadi berkali-kali, setiap foto selalu seperti itu. Namun Dedi tidak ambil pusing, dia selalu langsug menghapus foto itu, dan kembali memotret wanita lainnya. Tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 17.30, Dedi mulai kehilangan arah, dia mulai bingung dengan keadaan sekitarnya. Pura yang biasanya ramai kini hening, bahkan semilir angin pun tidak terasa. Gelap pun mulai turun, padahal Maghrib belum lagi tiba. Dedi kini berada di hutan! Kanan-kiri yang ia lihat hanyalah pepohonan, pura yang tadi menjulang di hadapannya kini hilang! Dedi pun mulai berteriak memanggil orang-orang, namun keadaan tetap hening, tidak ada yang menyahut, sampai kemudian terdengar bisikan dari pepohonan di depannya.

“Dediii...”

Dedi pun terdiam.

“Dediii...”

Bisikan itu terdengar lagi, bahkan angin yang tadi tak terasa kini mulai kencang, menerbangkan pepohonan di sekitarnya.

“Hei, siapa disana?!” Dedi akhirnya memberanikan diri untuk berteriak.

Hening, tidak ada jawaban, hanya ada suara angin bergemuruh. Dedi pun mendekati arah asal suara, dan ketika dia menyibakkan pepohonan di depannya, dia ternyata melihat...Leak!!! leak itu sedang menyeringai kepadanya. Sambil berteriak ketakutan, Dedi pun berbalik lari dan pergi dari situ. Sayangnya, secepat apapun Dedi berlari, leak itu berhasil mengejarnya, dan menikamnya dari belakang...

Dedi tidak sadarkan diri, dia pingsan. Kali ini dalam pingsannya dia bermimpi sedang terombang-ambing di sebuah jembatan, dengan lautan api di sebelah kanan dan kirinya! Itu mengingatkannya pada neraka! Bayangan-bayangan dirinya melakukan judi, mabuk-mabukan, bahkan bermain wanita berkelebat di sekitarnya, seolah seperti film yang sedang diputar di teater.  Dedi pun mulai menangis, meratapi nasibnya, menyesalkan tindakannya di masa lalu, dan mulai mengingat kembali Tuhannya. Tuhan yang hanya berada di dalam memorinya, bahkan dia telah lupa sama sekali dengan Tuhan, karena terlalu asyik mengejar kesenangan di dunia. Teringat kembali dirinya sewaktu kecil, yang begitu rajin sembahyang, mengaji, bahkan sempat pula menjadi juara Azan se-nasional. Semua berubah ketika dia SMP, ketika ibunya meninggal, membuat dunianya berubah 180 derajat. Dia pun mulai menangis...

Keesokan harinya, mayat Dedi ditemukan di sekitar Pura Besakih, kematiannya terindikasi karena tersambar petir yang tiba-tiba muncul di sore yang padahal begitu cerah.

Jumat, 22 Juni 2012

Manusia Setengah Salmon by Raditya Dika




Apa hubungannya Manusia Setengah Salmon dengan Manusia Setengah Dewa? Mungkinkah Raditya Dika terinspirasi oleh Iwan Fals?

Banyak yang bilang buku ini garing, kurang suka, bahkan tidak suka sama buku ini. Bahkan ada juga yang sama sekali gak ketawa baca buku ini. Eh, tapi gw kok ngakak-ngakak aja ya? Apa gw terlalu mainstream? Hehehe...

Buku kedua dari Radit yang gw baca, sebelumnya pernah baca yang Kambing Jantan sekitar 7-8 tahun yang lalu. Dulu itu terlalu vulgar, dan Radit nulisnya masih agak ngaco. Sekarang? Tetap kecewa dengan kevulgarannya. Gagas, ada apa ini??? Sudah 2 buku dari Gagas Media yang saya baca dan mengandung kata-kata yang tidak pantas (baca review Opera Orang Kaya untuk jelasnya). Namun untuk gaya penulisan Radit, saya acungkan jempol. Banyak pesan moral yang bisa diperoleh dari buku ini. Salah satu pesan moral tersebut yaitu: Semakin tua, seharusnya kita semakin dekat dengan orangtua kita, bukan sebaliknya. Jujur aja, kata-kata itu buat gw trenyuh, inget mama disana. Selain itu, ajakan untuk move on melalui bab Manusia Setengah Salmon benar-benar keren. Semua orang pasti berubah, dan setiap perubahan itu harus kita ikuti, dan kita harus berani, seperti ikan salmon yang berani ikut arus demi mendapatkan makanan.

Namun ya, ada juga kekurangan dari buku ini. Bab-bab yang diambil dari twiter, serta interview dengan hantu itu kurang mutu, lebih baik Radit nantinya tetap menulis biasa aja di bukunya, gak usah yang kaya gitu kaya gitu. Ada satu lagi yang sangat gak bermutu: BAB 1! Gw sarankan, Bab 1 ini dihilangkan, karena gak guna banget ada disini, bikin buku ini rusak. Kalau ada yang  pertama baca bukunya Radit dan langsung disuguhi tentang tulisan di Bab 1 ini, dijamin makin males buat nerusin. Padahal bab-bab selanjutnya sangat lebih baik dibandingkan bab 1.

Well, sebenarnya bisa saja buku ini berbintang 4, namun gara-gara kekurangan di paragraf 4 tadi, saya hanya memberi rate 3,5. Buku ini layak dibaca, namun ya satu itu, lewati Bab 1! Jadi, apa ada hubungannya antara Manusia Setengah Salmon dengan Manusia Setengah Dewa? Ada kali ya, masih sama-sama manusia, sehingga pasti gak akan luput dari kesalahan, hehehe...

Tirai by Agatha Christie


Turunkan tirainya, dan kau akan melihat kebenaran.

Buku ini adalah buku terakhir dimana Poirot, sang detektif nyentrik asal Belgia mengungkap kasus pembunuhan. Berlokasi di Styles yang sebelumnya juga pernah menjadi lokasi pembunuhan, kali ini Poirot dan Hastings harus menyelidiki dan mengawasi seseorang yang dicurigai terlibat dalam lima pembunuhan yang terjadi belakangan ini. Tidak main-main, seseorang itu tidak membunuh langsung korban-korbannya, tetapi menggunakan orang lain sebagai pembunuhnya.

Hastings, yang kali ini tidak mendampingi Poirot dari awal, dipanggil ke Styles untuk menemui Poirot yang sudah lama tidak ditemuinya. Disana, ternyata Poirot yang sudah mulai menua, berangsur sakit-sakitan dan harus duduk di kursi roda. Selain itu, Hastings dipanggil oleh Poirot karena Poirot tahu, bahwa bakal ada kasus pembunuhan yang terjadi di Styles. Di buku ini Hastings dipaksa berpikir keras oleh Poirot untuk menemukan seseorang itu, karena Poirot tidak mau memberitahukan hal itu kepada Hastings. Celakanya, diantara orang-orang yang saat itu berada di Styles, termasuk pula putri Hastings yaitu Judith, yang mau tak mau bisa jadi dialah seseorang yang dicari tersebut.

Ketika akhirnya terjadi kasus pembunuhan, waktu Poirot di dunia ini tak lama lagi, karena kesehatannya terus menurun, tibalah ajalnya, dengan dua kasus pembunuhan yang masih menggantung. Ya, dua kasus pembunuhan, bukan satu. Hastings terpaksa berpikir keras sendirian, sampai akhirnya surat wasiat dari Poirot-lah yang memberitahukan segalanya. Surat wasiat yang seakan menjadi tirai yang harus diturunkan oleh Hastings.

Akhir yang epik dari Hercule Poirot, musuh yang dihadapinya kali ini lebih tangguh darinya, bahkan Poirot sendiri yang mengakui. Alur dari buku ini yang penuh misteri mengenai para penghuni Styles, membuat otak kita harus berpikir keras, siapakah penjahatnya, dan bahkan siapakah korban berikutnya. Walaupun bisa dibilang akhir kisah Poirot ini sebagai epik, sangat disayangkan bahwa nasib Poirot harus berakhir seperti itu. Namun pastinya, dunia akan tetap mengenang Poirot sebagai salah satu detektif ternama yang pernah ada di dunia.

Saya beri rate 4 dari 5 bintang karena ending yang agak mengecewakan, namun overall, buku ini memang wajib dibaca penggemar cerita detektif. Oh ya, saya cukup beruntung bisa mendapatkan buku ini dengan harga sangat murah.

Sasirangan



Kiki, 23 tahun merupakan seorang pemuda tanggung dari daerah Banjarmasin. Sehari-hari tidak ada hal rutin yang ia kerjakan. Ya, dengan kata lain dia adalah pengangguran. Ia sesekali hanya membantu orangtuanya berdagang. Setelah lulus SMU enam tahun yang lalu, Kiki tidak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi karena masalah klasik, biaya.

Seperti pagi ini, Kiki masih bermalas-malasan di dalam kamarnya. Sembari mendengarkan siaran radio pagi, Kiki masih asyik menghayalkan Rina, perempuan cantik yang sering diajaknya chatting di facebook. Kiki merasa dia jatuh cinta pada Rina, namun sayang, jarak yang jauh memisahkan mereka. Rina tercatat sebagai seorang mahasiswi di sebuah institut di kota Surabaya. Suasana rumah di pagi ini memang sepi, ayah dan ibu Kiki sudah berangkat sejak subuh tadi ke pasar terapung untunk berjualan. Orangtua Kiki berjualan sasirangan, kain khas Banjar yang banyak orang menyebutnya batik-nya Banjar, padahal anggapan tersebut salah, batik dan sasirangan sangat berbeda dalam hal pembuatannya, juga motifnya, mungkin yang sama hanya kekhasannya, batik dari Jawa, sedangkan sasirangan dari Banjar.

Kiki beranjak ke dapur untuk sarapan Soto Banjar yang telah disiapkan oleh ibunya. Semalam Kiki tidak bisa tidur, itu diakibatkan oleh pernyataan Rina semalam melalui chatting facebook, bahwa Rina akan menghabiskan liburan semesterannya di kota Banjar, menginap di rumah tante temannya. Di percakapan tadi malam juga Rina mengatakan ingin bertemu secara langsung dengan Kiki, pacar virtualnya. Mengenai pacar virtual ini, sebenarnya Kiki sendiri yang pertama kali mengajak Rina untuk berpacaran meskipun lewat dunia maya, Kiki tidak pernah membayangkan bahwa suatu saat Rina akan benar-benar datang ke Banjar untuk menemuinya. Sebenarnya, masalahnya adalah, bahwa Kiki telah mempunyai tunangan, nama gadis itu adalah Siti, dan pagi ini mereka berjanji akan bersama-sama mengunjungi Pasar terapung untuk membantu orang tua Kiki.

Sekitar pukul sepuluh, Kiki telah siap untuk berangkat ke pasar. Sambil menggandeng Siti, mereka berdua asyik bersenandung sambil bercanda. Butuh sekitar dua puluh menit untuk mencapai pasar terapung. Suasana Banjar pagi itu yang cukup sejuk membuat perjalanan mereka berdua terasa begitu menyenangkan, seakan segala masalah hidup dapat terlupakan. Sesampainya di bantaran sungai Barito, Kiki segera mencari perahu orangtuanya. “Ah, itu dia,” ujar Kiki sambil menunjuk ke sebuah perahu yang nampaknya sedang ada pelanggan. Siti pun berinisiatif memanggil orang tua Kiki, “maaak... paaak...” panggilnya sambil melambai. “Hei Siti, ayo cepat bawa Kiki kemari, suruh dia bantu orangtuanya,” ibu Kiki membalas panggilan Siti. Mereka berdua pun beranjak ke perahu orang tua Kiki.

Sekilas Kiki melihat beberapa perempuan sedang bertransaksi dengan ibunya. Perempuan-perempuan ini tampaknya bukan dari Banjar, karena mereka terlihat sedikit asing dan juga kelewat antusias memilih sasirangan. Mungkin untuk oleh-oleh, pikir Kiki. Begitu sampai di perahu, Kiki langsung disambut ayahnya, “Ayo Kiki, layani pembeli, gadis-gadis ini dri Surabaya, mereka mau membeli sasirangan kita buat oleh-oleh katanya,” sambil berkata demikian, salah seorang perempuan calon pembeli sasirangan itu menoleh ketika disebutkan nama Kiki. Tanpa sengaja pandangan Kiki dan perempuan itu beradu, dan sesaat mereka terkesiap.

“Kiki...” kata sang perempuan.

“Rina...” balas Kiki sama terkejutnya.




P.S: bersambung ke http://putrinusantara.blogdetik.com/2012/06/22/sasirangan-2/

Kamis, 21 Juni 2012

Aku kembali




Lelaki tua itu sedang termenung sendiri di rumah tua-nya. Dia memang hidup sebatang kara setelah ia bercerai dengan istrinya. Anak satu-satunya, Rini, ikut dengan sang istri, dan mereka menetap di Bandung, sementara sang lelaki tua yang bernama Jun memutuskan untuk hijrah ke Surabaya demi menghilangkan segala jenis kenangan tentang keluarganya. Sampai beberapa saat lalu, ada pria penelepon gelap yang meminta untuk bertemu di Kota Tua Surabaya, itu jelas bukan telepon salah sambung, karena si penelepon tahu nama asli si lelaki tua, dan dia mengatakan bahwa dia memiliki satu kejutan untuk Pak Jun. “Topi kuning,” begitulah ciri-ciri si penelepon gelap tanpa memerinci lebih jelas posisinya, pokoknya Kota Tua Surabaya, titik.

Keadaan Pak Jun kala itu bimbang, ingin rasanya dia mengabaikan telepon gelap itu, mengingat maraknya kejahatan yang sering terjadi akhir-akhir ini. Di sisi lain, dia juga penasaran dengan si penelepon misterius, karena ciri-ciri “Topi Kuning” itu telah mengingatkannya pada suatu hal, yang ia sendiri celakanya lupa apa itu. Namu, walaupun lupa, firasat dan hatinya mengatakan bahwa ini merupakan suatu kejutan yang benar-benar kejutan untuknya, dan ia sendiri tak yakin apakah “Topi Kuning” itu berhubungan dengan masa lalunya atau tidak.

***

Sore hari, akhirnya dia putuskan untuk berangkat, si penelepon memintanya datang pukul 18.00, sehingga Pak Jun harus berangkat dari rumah sekitar pukul 17.00 kalau tidak mau terlambat. Syukurlah, dia datang tepat pukul 18.00, lalu dia pun mulai mencari si Topi Kuning tersebut.

Pak Jun mulai menyusuri Kota Tua Surabaya dengan berjalan kaki, mulai dari masjid tua Sunan Ampel, masjid merah Cheng Hoo, Tugu Pahlawan, hingga Jembatan Merah, ia tetap tidak menemukan seseorang ataupun sesuatu yang berhubungan dengan topi kuning itu. Setelah agak lelah berjalan, dia beristirahat di depan gedung tua di dekat Polrestabes Surabaya. Ingin rasanya ia melapor ke polisi untuk meminta bantuan mereka, tapi batinnya tetap memaksa dirinya untuk tidak menyerah. Akhirnya, dia memutuskan untuk masuk ke dalam sebuah warung nasi di dekat situ untuk sekedar beristirahat.

Baru sedikit Pak Jun melewati pintu, terlihat sesosok wanita berciri-ciri seperti yang dicarinya sedari tadi, yaitu “Topi Kuning”, bergegas dia menemui sosok perempuan muda itu.

“Permisi mbak.”

Perempuan itu terlonjak kaget, “oh iya, ada apa Pak?”

“Benar ini yang menelepon saya tadi pagi?”

Perempuan itu menerawang jauh, hening, dia lalu berkata, “anda tidak mengenali saya?” tanyanya. “Atau anda tidak ingat tentang topi kuning ini?” tanyanya lagi.

“Saya...,” belum sempat Pak Jun menyelesaikan kalimatnya, perempuan itu langsung memeluknya. “Saya Rini Paaak,” si perempuan berkata lirih sambil menangis. Sementara Pak Jun hanya tertegun dan mulai menyadari sesuatu. Dua puluh tahun lalu, ketika meninggalkan mantan istri dan anaknya untuk hijrah ke Surabaya, Rini yang waktu itu masih berusia 7 tahun sempat berujar, “Ayah, aku pasti kembali padamu, dengan mengenakan topi kuning.” Pak Jun pun tak bisa menahan air matanya, dan mulai menangis.

“Benar kamu Rini nak?”

“Benar Pak, topi kuning ini buktinya, tidakkah Bapak mengingatnya?” Sahutnya sambil melepaskan pelukannya.

“Bapak sudah ingat sekarang nak, maafkan Bapak telah melupakanmu. Lalu tadi yang menelepon siapa? Bukankah laki-laki?”

“Perkenalkan Pak, nama saya Ali, saya yang menelepon tadi,” kata sebuah suara pria tiba-tiba.

“Iya Pak, ini Ali. Inilah kejutan yang Rini ingin berikan kepada Bapak. Ali ini calon suami Rini, dan Rini kesini ingin meminta doa restu dari Bapak. Sengaja Rini meminta Bapak kesini, karena Rini tidak tahu alamat Bapak di Surabaya.”

Tidak terdengar suara lagi dari Pak Jun, hanya ada tangisan bahagia yang terdengar, setalah dia mendapat kejutan dari anaknya Rini yang sudah dua puluh tahun tidak bertemu.

Rabu, 20 Juni 2012

Genggaman tangan




Solo, Jawa tengah, pertengahan 1998.

Liburan sekolah kali ini aku bersama keluargaku mengunjungi paman-bibiku di kota Solo. Sebenarnya di Karang Anyar sih, tapi entah kenapa lebih familiar dengan sebutan Solo saja di keluarga kami. Sekitar pertengahan tahun ini sebenarnya sedang ada pesta sepakbola dunia di Prancis, tapi apa boleh buat, terpaksa aku tertinggal beberapa pertandingan, biar nanti aku menonton di rumah bibiku saja, batinku.

Beberapa hari di Solo, kami jalan-jalan seolah gak mau rugi, mulai candi Prambanan, Candi Borobudur, hingga Keraton Yogya kami kunjungi. Tidak lupa juga toko baju dagadu kami sambangi, maklum, belum begitu banyak produk dagadu yang ada di daerah kami, jadi mumpung jalan-jalan ke Jawa Tengah, sekalian saja mampir.

Hari terakhir di Solo, rencana dadakan muncul, yaitu untuk mengunjungi Tawang Mangu atau Grojogan Sewu. Ya, setelah berputar-putar di Jawa Tengah – Yogya, rasanya ironis apabila obyek wisata yang dekat dengan rumah bibi tidak kamu kunjungi, maka dari itu diputuskan siang itu untuk berangkat. Sekitar pukul 13.00 kami berangkat, cuaca cerah dan lumayan agak panas. Perjalanan pun memakan cukup waktu, maka kuhabiskan waktuku untuk tidur di mobil. Sekitar pukul 15.30 kami sampai di Tawang Mangu, akhirnya aku berhasil menginjakkan kaki disini, setelah sebelumnya hanya mengetahui tentang Tawang Mangu ini di teks buku Bahasa Indonesia. Tanpa pemberitahuan, tiba-tiba hujan muncul, tidak terlalu besar, namun menyurutkan niat keluargaku untuk turun dari mobil. Ayahku akhirnya memutuskan untuk turun hanya berdua saja denganku, karena beliau melihat betapa aku sangat ingin untuk mengunjunginya.

Disinilah aku, di bawah hujan rintik-rintik, aku menyaksikan air terjun Tawang Mangu dari dekat, juga ikut merasakan air yang ada disana, yang dipercaya orang sebagai air yang suci, air yang bisa menyembuhkan penyakit. Kami juga menyaksikan monyet-monyet yang memang banyak tersebar di Tawang Mangu. Tidak lama aku disana, karena hujan semakin deras. Kuputuskan untuk menyudahi perjalanan ini, dan mulai naik kembali menyusuri Grojogan Sewu. Tak disangka, di tengah perjalanan, banyak ranting yang jatuh hampir menimpa kami. Aku pun menggenggam tangan ayah keras-keras, karena takut kehilangan pegangan dan juga tertimpa ranting-ranting yang berjatuhan. Bisa dibilang inilah saat pertama kami berpegangan tangan dengan erat, karena sudah menjadi rahasia umum di keluarga kami, bahwa aku dan ayah seperti tikus dan kucing, tak pernah akur, apalagi sampai bergenggaman tangan. Setelah perjalanan yang agak melelahkan, kami pun sampai di mobil, tanpa kurang apapun, dan untungnya tidak tertimpa ranting-ranting yang berjatuhan.

Malamnya, kami sekeluarga mengakhiri liburan dan melanjutkan perjalanan pulang. Malam itu adalah malam final pesta sepakbola dunia antara Brazil dan Prancis, dan aku harus puas hanya mendengarkan siaran langsung final ini di radio mobil.


Juni 2012

Aku menulis cerita ini di suatu tempat, mungkin kau bisa menyebutnya surga. Malam di saat kami pulang itu, telah terjadi kecelakaan hebat yang menimpa mobil kami. Perjalanan pulang yang berlangsung tengah malam, disertai hujan lebat dan juga kurangnya konsentrasi ayahku ketika mengendarai mobil karena terbagi dengan mendengar siaran langsung sepakbola, telah merenggut nyawa kami sekeluarga. Mobil kami menabrak pembatas jalan, dan terjun ke jurang setinggi 10 meter. Hingga saat ini, mobil beserta seluruh jenazah keluargaku masih belum bisa ditemukan polisi.

Oh ya, genggaman tangan antara ayah dan aku yang terjadi pertama kali di Grojogan Sewu itu akhirnya juga menjadi genggaman tangan terakhir di antara kami. Di dunia.

Selasa, 19 Juni 2012

City of Ashes by Cassandra Clare




Tolooong.. :(

Sungguh, buku ini bikin gw stres, tertekan. Entah deh, dengan ketebalan yang melebih rata-rata ±600an halaman, buku ini sukses bikin beban. Cukup deh cerita-cerita fantasi tentang Nephilim, Vampir, Manusia Serigala, Iblis, Peri, dll., dll. hal-hal ini udah bikin gw jenuh. Makin sini makin gak masuk nalar, kenapa Malaikat itu bisa kawin sama manusia sehingga tercipta Nephilim, sampai mengapa Vampir dan Manusia Serigala tuh bermusuhan. Gak disini, gak di Twilight, sama aja, mereka bermusuhan. Dan tetep, sosok Jace di buku ini mengingatkan gw terhadap Edward Cullen.

Kembali ke isi buku...

Review singkat gw gini aja deh. Jace dan Clary yang akhirnya tahu siapa ayah kandung mereka akhirnya harus bertempur lagi dengan ayahnya. Ayahnya (Valentine) sendiri bercita-cita menciptakan lebih banyak Pemburu Bayangan dan menghancurkan Kunci. Nah, di buku ini, Mortal Instrumen kedua yang menjadi alat untuk mencapai cita-cita Valentine akhirnya berhasil Valentine rebut dari tangan Saudara Hening. Di sisi lain, Jace terus dicurigai ibu angkatnya sebagai mata-mata Valentine, sehingga Jace makin gak betah tinggal di rumah keluarga angkatnya. Sedangkan Clary, petualangan cintanya dengan Simon mulai menuai hasil, akhirnya Simon agak mendapat lampu hijau dari Clary. Nah, ada yang terjadi dengan Simon di buku ini, itu yang menjadi surprise. Buku ini pun bercerita tentang perjalanan Clary dan teman-teman ke negeri peri. Selebihnya, buku ini bercerita tentang lika-liku dunia dan pertempuran Dunia Bawah, serta ada juga kisah cinta yang diceritakan. Jeleknya, Incest dan cinta sesama jenis juga bukan hal tabu di buku ini, jadi jangan mual ketika baca buku ini.

Gw kasih rate 3 dari 4 buat buku ini. Sebenarnya tadinya Cuma mau ngasih 2 bintang, tapi sialnya epilog buku ini bikin penasaran, argh... gaktau deh mau lanjut buku 3 gak tar...

Ketika Cinta Berbuah Surga by Habiburrahman El Shirazy


Kumpulan cerita pendek, atau lebih tepatnya kumpulan pelajaran dan kisah para sahabat Nabi yang terjadi di masa setelah Nabi.

Walaupun buku ini tipis, banyak hal yang bisa kita dapat dari buku ini. Seperti misalnya mengapa dua buah lalat bisa membedakan nasib dua orang pria, hingga bagaimana caranya mencari teman sejati untukmu. Semua cerita ini dikemas dalam bahasa yang ringan khas Kang Abik. Buku ini memang buku islami, namun untuk non muslim juga saya kira bisa dibaca. Karena tidak ada unsur pemaksaan harus-masuk-Islam di buku ini. Tidak ada pula huruf-huruf Arab, sehingga bisa dibaca oleh semua orang. Ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits ditulis dalam bahasa Indonesia, dan juga berkaitan dengan isi kisah yang diceritakan, sehingga kisah-kisah yang diceritakan bisa menggugah hati.

So, Iqra, bacalah, gak akan rugi baca buku ini :)
Rate 4 of 5 

Misteri Kematian Seorang Casanova by S. Mara Gd


Sekali lagi, beri applause yang meriah untuk pasangan Kosasih-Gozali...

Kali ini kasus yang dihadapi adalah sebuah kasus pembunuhan terhadap anggota band Casanova. Jack Permana, si vokalis band, ditemukan tewas di sebuah kamar ketika sedang berlangsung pesta ulang tahun rekan gaul-nya. FYI, rekan gaul Jack ini ialah segerombolan anak SMA yang hobinya bersenang-senang, berpesta, bahkan mabuk-mabukan. Yang menjadi dilema bagi Kapten Polisi Kosasih ialah, tanpa disengaja putranya Bambang berada di TKP! Dia diajak oleh kenalan wanitanya yang baru dikenal hanya beberapa hari saja di sebuah toko buku.

Pembunuhan ini minim saksi, namun beraninya, sang pembunuh membunuh di sela-sela keramaian pesta yang berlangsung begitu meriah yang kira-kira dihadiri oleh 70an orang yang kebanyakan masih ABG. Diantara banyak anak-anak ABG ini, terselip beberapa pemuda berumur 20-an yang memang dibawa oleh para ABG ini. Nah, tugas Kosasih-Gozali lah untuk mencari pembunuh yang bersembuny diantara 70an orang ini.

Seperti yang biasa saya bilang, buku berawalan Misteri karangan S. Mara Gd, selalu keren. Walaupun buku ini terbit di tahun 1988, namun ternyata telah banyak pergaulan-pergaulan tidak pantas yang dilakukan oleh anak-anak SMA di jaman itu. Ini bisa menjadi pengetahuan tersendiri, dimana di buku ini digambarkan bahwa pesta ulang tahun yang bermodalkan besar (duit orangtua), disertai dengan suguhan live music, serta minuman keras dan perilaku seks bebas telah terjadi di buku ini. Siapa yang dapat membantah kalau kejadian-kejadian sepeti yang dituangkan di buku ini tidak terjadi di kehidupan nyata di waktu itu? Itu tahun 1988 lho, bisa dibayangkan sekarang tahun 2012 seperti apa, apalagi dengan makin canggihnya teknologi dan pergaulan yang semakin bebas. Back to book, cerita yang ditulis oleh S. Mara Gd ini sungguh sangat mengalir. Dengan per-bab-nya ditandai hari dan tanggal, maka pembaca tidak akan kesulitan merunut peristiwa hari demi hari. Selain itu alur di buku ini terus maju, sehingga kata-kata saya tentang mengalir tadi dapat dibuktikan. Apalagi, cerita dari buku ini juga sangat dramatis. Bagaimana kematian Jack akhirnya terungkap setelah penyelidikan yang lumayan lama dan banyaknya orang yang diperiksa terkait kasus ini.

Well, tanpa banyak spoiler lagi, buku ini pas bagi pecinta kisah detektif, saya beri rate 5 dari 5 untuk buku ini.

Ramai



"Di persimpangan, langkahku terhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera, orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu"



Lirik lagu Yogyakarta dari KLA Project ini sedang mengalun lembut di telingaku. Tanpa sadar, pikiranku menerawang jauh ke beberapa tahun yang lalu, mungkin tepatnya puluhan tahun yang lalu, ketika aku sedang berjalan sendirian di tengah keriuhan Malioboro.

***

Siang itu, aku tak punya rencana apa-apa untuk menghabiskan waktuku di kota Yogyakarta ini. Acara yang kususun di kota ini telah berjalan sesuai rencana, hari ini memang hari terakhirku di Yogyakarta, hari yang sengaja kubuat untuk bersantai, sekedar melepaskan penat setelah lelah bekerja. Lebih dari itu, hari ini sengaja kupakai untuk bernostalgia, mengenang Yogyakarta-ku yang telah menggoreskan kisah pedih di dalam hatiku. Kuputuskan untuk berjalan-jalan ke Malioboro, sekedar untuk berinteraksi dengan masyarakat Yogya yang ada di daerah itu, sengaja tempat ini kupilih karena di tempat ini pula aku sempat menghabiskan waktu dengan gadis pujaanku yang telah tiada.

Sebenarnya aku tidak sengaja mencintai kota ini, aku pun tak sengaja hadir di kota ini, aku kesini karena dirinya, gadis pujaanku, yang memang tinggal di kota ini. Banyak hal yang telah kami lakukan bersama di kota ini, sekedar nongkrong bareng di angkringan yang ada, mencicipi  jajanan di pedagang kaki lima yang bertebaran di sepanjang jalan, hingga menikmati alunan nada dan suara yang dilagukan oleh para musisi jalanan yang memang banyak tersebar di kota ini.

Kini aku berjalan sendirian tanpa gadisku, aku mengenang tempat-tempat yang dari dulu masih lestari hingga kini. Sempat pula aku berbincang dengan pedagang langgananku dahulu yang sampai sekarang masih ada di Malioboro ini. Aku tersenyum sendiri menikmati Malioboro ini, seakan membalas senyuman yang diberikan Malioboro kepadaku. Bisa dikatakan, senyum Malioboro ini tidak akan lekang oleh waktu, sampai sekarang aku masih bisa merasakan keasrian dan keaslian daerah ini, seakan tak berubah digerus oleh waktu. Yang menakjubkan, nampaknya daerah Malioboro ini tidak pernah sepi, tidak pernah kehabisan pengunjung, baik itu warga asli maupun wisatawan. Walau bukan asli Yogya, aku yang menganggap diriku “pulang” ke Yogyakarta tetap bangga dengan keadaan ini. Terselip rasa haru di dadaku, andai saja gadisku masih ada, tentu akan kunikmati Yogya ini bersamanya.

Setelah lelah berjalan, aku putuskan untuk duduk di salah satu warung kaki lima, setelah memesan makanan, akupun mulai mengeluarkan buku catatan yang biasa kubawa-bawa, dan mulai menulis...

***

“Ayah...” aku dikejutkan oleh suara istriku. “Lagi nostalgia ni yee..” cibirnya.

“Ah, Mama ngegangguin Ayah aja nih,“ sahutku sambil merangkul istriku.

“Mau nih kapan-kapan kita nostalgia ke Yogyakarta lagi?” istriku mulai menggoda.

“Boleh banget Ma, tapi nanti aja ya ngomonginnya, sekarang Ayah pengen makan,” usirku secara halus.

“Huu...bilang aja gak mau digangguin,” sahut istriku sambil beranjak pergi mengambilkan makanan.

Ah, beruntungnya aku, walau gadisku telah tiada, namun aku telah menemukan penggantinya di dalam diri istriku. Aku juga merasa bersyukur karena tulisan yang kutulis di warung kaki lima dahulu itu (yang akhirnya disempurnakan secara bersama-sama dengan temanku) akhirnya menjadi salah satu kenangan yang abadi sampai sekarang.

Oh ya, kalau kalian penasaran, nama istriku adalah... Ira Wibowo.

Senin, 18 Juni 2012

Biru, Jatuh Hati


Seberapa banyak hal-hal unik yang mungkin membuatmu  jatuh hati? Mungkin cukup banyak, karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang apa itu unik, dan apa itu jatuh hati. Selama itu masih dalam koridor hukum dan norma yang sesuai, jatuh hati tidak akan pernah dilarang, itu adalah hak asasi setiap manusia.

Aku sedang dalam perjalanan menuju tanah Ciamis, dengan mobil butut satu-satunya yang aku punya, aku memulai perjalanan dengan santai dari Bandung, karena memang tidak ada yang perlu kukejar dengan terburu-buru kali ini. Pantai Pangandaran, ya, inilah tempat yang akan kutuju. Sebuah pantai yang istimewa di pesisir selatan Jawa Barat. Sebuah pantai yang menyimpan banyak sejarah karena sempat digunakan sebagai tempat pendaratan tentara Jepan semasa Perang Dunia ke 2. Sebuah pantai yang lekat dengan legenda sang Nyi Roro Kidul. Sebuah pantai yang berpantangan berpakaian hijau bagi para pengunjungnya.

Ngomong-ngomong tentang hijau, aku langsung melirik pakaian yang kukenakan, untungnya bukan baju hijau yang kupakai. Sebenarnya aku tak percaya dengan pantangan itu, ingin sekali-kali aku membuktikan bahwa teori itu salah, tapi aku belum punya waktu untuk membuktikan itu. Aku sekarang disini, di perjalanan ini untuk mengejar satu warna lain yang bukan hijau yang telah membuatku jatuh hati.

Sesampainya di Pangandaran, aku langsung berkeliling untuk mencari satu warna yang membuatku jatuh hati, yaitu biru. Warna yang mempunyai banyak makna, terutama bagiku. Entah mengapa warna ini sangat membuatku mabuk kepayang, aku pun tidak pernah menyangka akan sejatuh hati ini. Kulihat banyak warna biru yang kutemui di pantai ini, tapi hanya satu yang kutuju.

Laut biru? Ah, itu memang indah, tapi tidak cukup untuk membuatku jatuh hati, aku tidak semelankolis itu.

Langit biru? Tak kalah indahnya, tapi sama seperti laut biru alasan yang kugunakan.

Gadis berbaju biru? Well, cukup menggoda, tapi itu belum mampu membuatku jatuh hati.

Gadis berbikini biru? Itu sangat menantang, tetapi aku bukan tipe pria seperti itu, jadi aku tidak jatuh hati pada bikini biru.

Ah, akhirnya kutemui si biru yang membuatku jatuh hati. Jauh di tepi pantai sana aku melihat si biru ini. Bukan benda tunggal memang, karena cukup banyak si biru ini yang kulihat. Ya, yang kulihat disana merupakan segerombolan orang yang mengenakan pakaian biru, well ya, memang segerombolan pria, tapi aku masih normal kok. Karena si biru yang membuatku jatuh hati ini ialah si biru kebanggaan masyarakat Jawa Barat. Pangeran biru, Maung Bandung, Persib Bandung, apapun sebutannya. Biru inilah yang membuatku jatuh hati. Sengaja aku kejar sampai Pangandaran sini karena memang mereka sedang mengadakan pemusatan latihan di pantai Pangandaran ini.

Minggu, 17 Juni 2012

Sehangat Serabi Solo


Serabi Solo... Apa itu? Walaupun asli Solo, aku sekarang bekerja dan tinggal di Bekasi, dan otomatis Serabi Solo yang asli aku sangat jarang sekali menikmatinya. Oh ya, bukannya tidak mencintai kuliner daerah sendiri, tapi jujur saja, aku lebih familiar, dan bahkan menganggap bahwa serabi hijau Rengasdengklok Karawang ialah makanan paling enak sedunia. Lalu apa hubungannya? Aku kan di Bekasi, bukan Karawang? Bersyukurlah Chairil Anwar diciptakan, karena berkat beliau, semua orang jadi tahu bahwa Bekasi – Karawang itu dekat. Berkaitan dengan serabi Dengklok itu, sebenarnya makanan ini pertama kali disajikan oleh sang pujaan hatiku yang asli Rengasdengklok, Karawang, sehingga wajar saja kalau aku menganggap serabi hijau Rengasdengklok adalah makanan paling enak sedunia. Kalau kalian pria, kawan, kalian pasti mengerti apa yang terjadi apabila kita blak-blakan menyebutkan makanan khas daerah wanita pujaan kita TIDAK ENAK. Tolong jangan dibayangkan.

Sudah beberapa hari ini aku pulang kampung ke Solo, menemui orangtuaku yang telah lama tidak bertemu. Mungkin sudah sekitar 25 tahun semenjak kecelakaan yang menimpa kedua orangtuaku, dan merenggut nyawa mereka. Sehingga aku yang waktu itu masih berusia 3 tahun, terpaksa pindah ke Bekasi, tinggal di tempat pamanku, satu-satunya keluarga yang kumiliki. Maka dari itu kawan, kalian harus mengerti mengapa aku jarang, bahkan bisa dikatakan belum pernah makan serabi Solo. Mungkin sudah, tapi kau mengertilah, anak berusia 3 tahun, dan kini berusia 28 tahun, pasti lupa apa-apa saja yang pernah dimakannya sewaktu kecil.

Sekarang, saat ini, aku berdiri di wilayah Pasar Klewer. Niatku cuma satu, bertekad menikmati dan mengobati rasa penasaranku terhadap makanan yang satu ini, Serabi Solo. Masuk sedikit ke dalam area pasar, aku langsung menemukan satu kedai serabi yang tertera di spanduknya: Serabi Solo No.1. Aku langsung masuk dan menikmati kuliner khas Solo ini. Yang mengagetkan, ternyata tampilannya tidak beda dengan serabi Dengklok, serabi hijau, dengan “sambal” gula merah. Aku tak ambil pusing, aku pun menikmati makanan ini. Aku excited, makanan ini sama enaknya dengan Serabi Dengklok. Setelah beres makan, aku sambil senyum-senyum keluar dari kedai dan melanjutkan perjalanan, karena rencanaku memang hari ini adalah hari terakhirku di Solo.
***
Aku sekarang berada di bus antarkota Solo-Bekasi, tiba-tiba di sebelahku duduk sosok yang aku rasa sudah familiar denganku, aku mengambil inisiatif untuk menyapanya.

“Maaf Mas, mau kemana ya?”

Dia menjawab, “Oh, saya mau pulang kampung Mas.”

“Memangnya asli mana Mas?”

“Saya asli Karawang, tepatnya di Rengasdengklok. Mas tahu dong Rengasdengklok?” sahut dia sambil tersenyum.

Aku terperanjat, “jadi, Mas asli Karawang? Tahu cara membuat serabi Dengklok?”

“Ya jelas tahu lah Mas, serabi Dengklok kan tidak ada bandingannya, bahkan Serabi Solo pun kalah. Satu-satunya resep serabi yang saya tahu ya serabi Dengklok itu, gak ada lawannya deh.”

Aku pun termenung, berpikir keras, apakah butuh 25 tahun lagi aku menikmati Serabi Solo yang sebenarnya? Asal kau tahu kawan, orang yang kuajak ngobrol di bus itu ialah penjaga kedai Serabi Solo No.1 yang tadi kunikmati!

Sabtu, 16 Juni 2012

Sepanjang Jalan Braga


Aku menerawang jauh, tiket kunjungan ke Braga telah kupegang erat di tangan. Ya, liburan kali ini aku memutuskan untuk jalan-jalan ke Portugal, tepatnya ke kota Braga. Telah terbayang di benakku galeri seni House of Coimbra, museum arkeologi Museu D. Diogo de Sousa, hingga tempat spa Aquafalls Spa. Yah, lumayan lah untuk sejenak refreshing, bukannya aku tidak cinta tanah airku, meskipun aku tinggal di Bali, aku telah cukup jenuh berada disini, apalagi dengan aktivitas pekerjaan sehari-hari yang sangat menyita waktu dan tenagaku. Beruntungnya aku, ada yang menjual tiket paket wisata murah ke Braga, tanpa pikir panjang aku langsung ambil kesempatan itu, kapan lagi aku bisa ke luar negeri dengan harga yang murah meriah.

Tibalah saat keberangkatan. Setelah check-in dan mengurus segala tetek bengek, akhirnya aku dapat duduk dengan nyaman di pesawat, seketika aku langsung tertidur untuk menikmati perjalanan panjang. Aku terbangun ketika pesawat telah mendarat, wah, cepat sekali pesawat ini mendarat, pikirku, aku pun siap-siap untuk turun dari pesawat. Masih dalam keadaan setengah mengantuk, aku pun langsung naik mobil travel jemputan yang memang akan menjemputku sesuai dengan perjanjian di paket perjalanan ini. Sejenak aku membatin, ah, Portugal ini mirip-mirip Indonesia juga ternyata, tak lama aku pun langsung terlelap kembali.

Aku dibangunkan oleh pak supir tak lama kemudian, “Welcome to Braga, Sir,” aku hanya tersenyum. Aku turun dari mobil, lalu aku menelusuri jalan di Braga ini, aku agak heran juga mengingat situasi disini sangat mirip Indonesia, tetapi walau demikian, keindahan arsitektur kuno khas Eropa yang ada di sepanjang jalan ini sangatlah indah, belum lagi pedagang lukisan yang ada, menambah keyakinanku bahwa ini adalah taman impianku, Eropa. Aku pun mulai menuju obyek wisata pertama yang aku ingat, House of Coimbra. Malu bertanya sesat di jalan, begitu pikirku, lalu aku bertanya pada seseorang yang kutemui di pinggir jalan, nekat aku bicara dengan bahasa Inggris, karena itu bahasa internasional, walaupun aku ragu juga dia akan mengerti, mengingat bahasa Portugis yang memang lebih dominan disini.

“Excuse me Sir,” aku memulai pembicaraan.

“Yes?” dia hanya menjawab singkat.

“Where is House of Coimbra?”

“Eh?” dia tampak kebingungan, lalu dia bertanya lagi kepada temannya, “Kang, ngartos teu eta bule nyarios naon? Abdi mah kirang tiasa nyarios Inggris euy,” orang kedua tersebut lalu menghampiriku.

“What happen Mister?”

“Where is House of Coimbra?” aku mengulang pertanyaanku.

“Eh, what is that?”

“It’s an art gallery,”

“And where is it?”

“Don’t be kidding, of course in Braga,” aku mulai kesal.

“Wait a minute,” dia lalu mengambil hp-nya dan mulai mengetik sesuatu, dan dia tersenyum, “oh, it’s not in 
this Braga.”

“Eh, what do you mean?” aku mulai bingung.

“It’s Portugal’s Braga, but this is Indonesian’s Braga.”

“Hah? What do you mean with Indonesian’s Braga?”

“This is Bandung sir, not Portugal.”

“Apa??? Masa sih ini di Bandung?” Aku seketika pingsan, shock. Sesaat sebelum pingsan, aku sempat melihat orang itu tak kalah kagetnya mendengar aku yang memang berwajah indo ini berbicara bahasa Indonesia.

Jumat, 15 Juni 2012

Kerudung Merah




Aku terjebak...

Entah apa yang ada di pikiranku ketika aku memutuskan untuk liburan dan bersantai di Danau Toba ini, apa memang aku sangat penasaran dengan Danau Toba ini, atau Pulau Samosirnya kah yang membuat aku penasaran? Atau bahkan cerita-cerita yang terdengar bahwa di sekitar Danau Toba ini selalu ada perempuan-perempuan cantik yang konon kecantikannya telah melegenda? Yang jelas sekarang aku telah aku berada disini. Well, sebenarnya tidak masalah juga liburan kesini, yang jadi masalah adalah, ketika tak sengaja aku melihat berita sehari sebelum aku berangkat kesini, aku melihat adanya pertempuran antara Gerakan Pemberontak dengan Tentara Indonesia. Aku tidak berpikir panjang waktu itu, aku pikir toh itu hanya sesaat saja, tidak bakal ada lagi pertempuran. Landasan pemikiranku waktu itu ialah bahwa aku sudah sangat tidak mempercayai media , tidak akan pernah, tetapi ternyata kali ini aku salah, media-media sialan itu kali ini benar, sedang terjadi pertempuran sengit disini, dan aku terjebak di dalam hotel –yang untungnya mau menampungku, tidak bisa kemana-mana, sudah tiga hari terus berlangsung seperti ini.

Hari keempat, akhirnya pegawai hotel mengabarkan bahwa situasi telah aman, dan aku diijinkan untuk keluar berjalan-jalan, bahkan disarankan untuk segera mengakhiri liburan. Aku berkata bahwa aku akan berpikir terlebih dahulu, aku masih ingin menikmati keindahan Danau Toba ini. Aku pun mulai berjalan-jalan, dan benar sekali, Danau Toba dan Pulau Samosir memang sangat indah, tinggal menunggu perempuan cantik yang legendaris, yang aku sendiri kurang yakin bahwa mereka bakal keluar rumah, mengingat situasi masih panas, masih rawan konflik. Tidak lama aku berjalan, akhirnya aku melihatnya, seorang perempuan cantik berkerudung putih, nampaknya ia sedang tergesa-gesa menuju kediamannya. Sempat aku mengabadikan wajahnya melalui kamera digital yang aku bawa, dan beruntungnya aku, foto yang aku ambil begitu sempurna, sesempurna wajahnya. Tak bosan-bosannya kupandangi foto dalam kamera itu, kupandangi wajahnya, seakan mengingatkanku kepada seseorang yang telah lama hilang di dalam kehidupanku.

DORR..

Letusan senjata menyadarkanku, baku tembak ternyata belum selesai, aku pun lari terbirit-terbirit menuju hotel, sempat terpikirkan nasib si wanita berkerudung putih, tetapi hanya sekilas, karena aku tidak mengenalnya, aku memutuskan untuk terlebih dahulu menyelamatkan nyawaku.

Sesampainya di hotel, aku langsung mendekam di dalam kamar, seharian, bahkan sehari semalam, karena kuputuskan untuk tidak keluar kamar lagi, dan langsung tidur ketika malam telah turun. Tak kupedulikan suara baku tembak yang terjadi di luar, yang kupikirkan hanya satu, besok aku harus segera pergi dari sini.

Keesokan harinya aku dibangunkan oleh suara-suara teriakan orang-orang dari luar hotel. Setelah aku longokkan kepala keluar, ternyata telah ditemukan mayat seorang wanita di luar hotel. Aku pun segera bergegas turun untuk melihat lebih jelas.
Sesampainya di luar, ternyata korban seorang perempuan, dan berkerudung. Untungnya kerudung perempuan ini merah, bukan putih seperti perempuan yang kupotret kemarin. Terdengar selentingan bahwa korban merupakan korban peluru nyasar, ya, peluru nyasar yang sayangnya memakan korban orang tidak berdosa. Aku pun terus mendekat ke arah sang perempuan yang telah menjadi mayat, kuperhatikan dengan seksama bahwa wajahnya mirip dengan perempuan yang kupotret kemarin. Sesaat, aku tak bisa menahan emosiku, akupun berteriak histeris, karena ternyata perempuan ini memang perempuan yang sama dengan yang kemarin, dan warna kerudungnya yang merah merupakan warna merah darah, darah yang mengaliri kerudungnya akibat peluru nyasar yang menembus kepalanya.

Kamis, 14 Juni 2012

Opera Orang Kaya by Ita Sembiring


Bisa dibilang buku ini merupakan memoar sang penulis. Memoar petualangan dan perjalanannya selama memandu 27 anak Indonesia kaya raya (harta orang tua) dalam rangka pertukaran budaya ke Inggris, tepatnya ke Oxford. Mengapa saya bilang memoar? Karena ini nampaknya kisah nyata sang penulis, terbukti dari nama belakang sang penulis yang dijadikan nama tokoh utama buku ini, yaitu Gre Kinayan.

Gaya bercerita di buku ini ditulis dengan cara nostalgia, yaitu si tokoh utama (Gre Kinayan) mengingat-ingat hal yang terjadi selama dirinya memandu perjalanan tersebut. Namun bukan hanya dari sudut pandang dia, tetapi juga dari sudut pandang si polkadot yang kebetulan bertemu dan sering berbincang dengan Gre baik itu melalui e-mail, telepon maupun bertemu langsung.

Setting dari buku ini juga keren, Oxford, Belanda, hingga Amerika Serikat. Maklum, namanya juga orang-orang kaya, jadinya tidak masalah untuk mereka apabila misalnya, tiba-tiba janjian di negara Inggris, atau misalanya tiba-tiba cancel tiket pesawat, semuanya bisa terjadi di opera ini. Bukan hanya tentang kekayaan, tentang gaya hidup anak-anak orang kaya ini pun sudah sangat barat, ada yang hidup serumah tanpa menikah, shopping everyday bahkan pesta-pesta hingga mabuk pun bukan suatu hal yang mustahil.

Buku ini bisa digolongkan sebagai buku travelling, karena settingnya yang memang di luar negeri, dipadu dengan tempat-tempat wisata, terutama di Oxford, Inggris, yang anak-anak orang kaya ini kunjungi. Buku ini pun penuh dengan percakapan melalui e-mail dan chatting, sehingga tidk jarang dalam satu bab kita hanya disajikan dialog semacam itu.

Yang disayangkan, buku terbitan Gagas ini seolah benar-benar kebaratan. Kurang ada pengeditan yang sesuai. Bayangkan saja, ada penyebutan alat kelamin pria yang tanpa sensor, apa adanya ditulis begitu saja, dan ini agak mengecewakan buat saya.

Overall, buku ini saya beri rate 3 dari 5 bintang.

Ronggeng Dukuh Paruk by Ahmad Tohari


Walaupun font buku ini sangat rapet, walaupun pakde Tohari benar-benar menggunakan bahasa sastra, novel ini sangat keren, khas Ahmad Tohari, mengingat ini buku kedua beliau yg saya baca. Buku yang sempat dibanned ini memang layak dibanned, karena selain ada unsur PKI yg bikin kena banned, banyak pula umpatan-umpatan yang tidak pantas untuk diucapkan. Tetapi itu semua tidak masalah, karena buku ini benar2 asu buntung...

Banyak yg menyoroti kisah cinta Srintil-Rasus yang "katanya" tragis, tapi kenyataannya, buku ini lebih dari itu, bahkan menurut saya, hampir tidak ada cinta yang tersurat diantara keduanya. Malah menurut saya lagi, buku ini lebih menyoroti tentang keadaan Indonesia yg sebenarnya, bahwa Dukuh Paruk di Indonesia ini benar2 ada. Bayangkan, sebuah dusun yg bodoh, terbelakang, bahkan bisa disebut masih murni, belum terpengaruh dunia luar. Saya yakin, pasti masih ada dusun seperti itu di Indonesia ini, dimana anak2 tidak mengenal sekolah, tidak ada guru formal, dan suatu kenyataan pahit bahwa anak2 itu lebih mengenal ronggeng. Ya, ronggeng, Srintil adalah ronggeng, bisa juga dikatakan "pelacur yang berstrata tinggi", karena memang kerjaannya melayani masyarakat, terutama para prianya, dan gilanya istri dari pria yg dilayani ronggeng justru merasa bangga, tidak ada rasa sakit hati, saking bodohnya mereka.

Perjalanan Srintil menjadi ronggeng sebenarnya berakhir ketika dia jatuh cinta kepada Rasus, namun pertanyaannya apakah Rasus juga merasakan hal yg sama? Silakan nilai sendiri saat baca bukunya. Konflik yg diramu Ahmad Tohari memang renyah, sesuai dg zaman, misalnya ketika ramai pemilu, maupun ketika geger komunis, penulis berhasil meramu karyanya dg indah. Belum lagi, budaya ronggeng yg diperkenalkan merupakan budaya asli Indonesia, perlu dilestarikan dg penyesuaian disana-sini, agar kebudayaan ronggeng ini tidak kena banned seperti bukunya :)

Sleep No More by Greg Iles




Novel ini merupakan salah satu dari sekian banyak karya penulis novel misteri kenamaan, Greg Iles. Sama halnya dalam novel lainnya, The Footprints of God, sekali lagi Greg Iles mengajak kita berpetualang menguak sebuah misteri dahsyat. Misteri yang membuat Anda terus terjaga sepanjang malam. Jadi, jangan baca buku ini jika Anda masih menginginkan tidur yang lelap!



Sempat skeptis juga baca sinopsis buku ini, sebabnya adalah buku ini tetap bikin ngantuk di awal-awal ceritanya, alurnya agak lambat, actionnya masih belum muncul, dan tokoh-tokohnya pun masih adem ayem, sangat sedikit konflik, lebih banyak bercerita tentang masa lalu. Nah, di pertengahan buku sampai akhir, barulah misteri dahsyat ini mulai terkuak, mulai terbuka semua, tak sabar ingin segera menghabiskan buku ini, dan jujur saja baru sekarang lagi sensasi membaca buku saya rasakan kembali. 

Kehadiran Eve Sumner membuat Waters terperangah. Bukan karena Eve cantik dan memesona. Lebih dari itu, Eve adalah juga Malorie, yang selalu terobsesi dengannya. Mustahil memang mengingat Malorie telah terbunuh beberapa tahun yang lalu. Lantas, siapa Eve sebenarnya? Benarkah ia hanya mengarang cerita tentang jatidirinya? Apa hubungan mereka sebenarnya? Apakah Malorie benar-benar sudah mati? Waters harus tahu jawaban semua pertanyaan itu. Jika tidak, ia akan kehilangan seluruh anggota keluarganya. 


Awal dari sinopsis buku ini, langsung muncul typo antara Mallory di dalam buku dan Malorie di bagian belakang buku (sinopsis), entah kalau dua nama ini punya arti yang sama di luar negeri sana. Tapi sebagai orang Indonesia, tetap ingat kata-kata William Shakespeare:  “Apalah Arti Sebuah Nama”.

Penuh misteri, membuat bertanya-tanya, bahkan saya sendiri sampai menebak-nebak, kira-kira apa yang terjadi pada Eve, mengapa dia bisa sangat mirip dan bahkan tahu rahasia-rahasia terbesar Mallory. Mallory sendiri ialah mantan pacar John Walters semenjak muda, hingga akhirnya dia tewas sepuluh tahun yang lalu. Sebelum tewas, ternyata Mallory sempat berkehendak untuk membunuh Walters, dengan alasan dia sangat mencintai Walters, sehingga setiap kali muncul rasa cemburu dalam dirinya, emosi dan nafsu untuk membunuh Walters itu muncul, dua kali sudah percobaan pembunuhan itu dilakukan.

Ternyata, semua ini memang berawal dari masa lalu. Banyak kejadian masa lalu terkuak setelah Eve alias Mallory ditemukan tewas setelah tidur bersama Waters. Bagaimana masa lalu Mallory yang begitu kelam, sampai-sampai menjadi korban kekerasan seksual dari seseorang yang sangat dekat dengannya. Bagaimana ternyata sahabat dan istri Walters ternyata pernah punya hubungan di masa muda. Hingga kisah mengapa Walters dan istrinya hanya dikaruniai seorang anak padahal Lily, sang istri sempat hamil lagi sampai dua kali.

Proses pencarian dan pemecahan teka-teki kematian Eve mencapai puncaknya ketika Walters ditemani oleh pengacara dan juga sahabatnya, Penn, dalam merunut peristiwa-peristiwa logis yang terjadi diantara hidup Walters dan sekelilingnya. Disini kita diajak ikut berpikir, apakah tudingan Penn terhadap sahabat dan istri Walters bahwa mereka ikut terlibat dalam konspirasi pembunuhan ini adalah benar. Ataukah memang Mallory itu sebenarnya masih hidup, dan semua hal yang terjadi di luar nalar Walters dan terutama hukum, adalah hal yang nyata, dan bisa dibuktikan. Bukan sekedar kejadian mistis yang tidak mungkin untuk dilakukan.

Bisa dibilang buku ini sangat rapi, walaupun cukup banyak adegan seks yang tersirat, namun tidak dibuat tersurat dalam buku ini. Begitu pula dengan selera sang penulis, Greg Iles, yang juga pernah tergabung dalam grup musik Frankly Scarlet, dia tidak segan untuk menulis hal-hal yang ada di dunia modern ini, seperti penyebutan merk mobil, hingga penyebutan judul buku lain, seperti Harry Potter dan Lord of the Ring, sehingga kesannya buku ini memang merupakan buku yang berdasarkan kisah nyata dan bukan hanya fiksi belaka. Cerita dari buku ini sendiri menurut saya sangat pantas untuk difilmkan, sehingga kita bisa melihat, apakah fenomena tentang jiwa yang merasuk itu benar-benar terjadi di dunia nyata, ataukah hanya sekedar fiksi.

Buku ini pantas untuk mendapatkan rate 4 dari 5 bintang.

Jingga di Ujung Senja


Seorang kakek tua berusia 60 tahun yang divonis mengalami kanker paru-paru akut dan telah diramalkan oleh dokter bahwa usianya tidak akan lama lagi sedang melamun dan merenung di sisi sebuah sungai terkenal di Palembang. Dengan disaksikan oleh jembatan ampera yang kian lama kian menua, sang kakek tua seakan bernostalgia dan menerawang jauh menuju zaman mudanya dulu, zaman ketika dia mulai mengenal seorang wanita yang ia yakin merupakan cinta sejatinya.

***

Armyn, seorang asli Palembang, berangkat untuk menuntut ilmu dan kuliah di Institut Pertanian Bogor, dengan berbekal beasiswa dari kampus atas prestasi yang telah dicapainya semasa sekolah. Di kampus ini, Armyn berkenalan dengan seorang wanita, dan Armyn yakin, wanita ini merupakan cinta sejatinya, karena Armyn langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Beruntungnya Armyn, karena ternyata wanita ini satu jurusan dengannya di kampus, sehingga tidak sulit bagi Armyn untuk bersahabat dan berbagi masalah serta mencurahkan hati kepada wanita ini.

Seiring perjalanan waktu, Armyn tetap tidak mampu untuk mengungkapkan perasaannya kepada wanita tersebut. Ya, pada dasarnya Armyn memang orang yang pemalu dan pengecut, dia lebih rela dan memilih tetap bersahabat dengannya. Dia takut hubungannya dengan wanita ini rusak apabila perasaan cintanya yang menggebu, dia katakan dan curahkan kepada sang wanita.

Di sisi lain, wanita ini tidak tahu dan tidak mengerti kalau Armyn menyimpan hati untuknya. Wanita ini hanya menganggap Armyn sebagai sahabatnya, sahabat tempat ia berbagi cerita-cerita seru, bahkan tempatnya curhat juga ketika dia sedang ada masalah dalam hidup, terutama ketika wanita ini sedang bermasalah dengan pacarnya. Ya, wanita ini sering mencurahkan perasaannya dan kejadian-kejadian yang terjadi antara dirinya dengan pacarnya kepada Armyn, tanpa ia tahu bahwa hati Armyn seperti tertusuk-tusuk setiap kali wanita pujaannya curhat mengenai kehidupan asmaranya. Sementara itu Armyn hanya bisa pasrah dan menjadi pendengar serta penasihat yang baik ketika sang wanita pujaan mencurahkan isi hatinya, Armyn berlapang dada dan berbesar hati karena dia menyadari tidak ada hal lain yang bisa ia perbuat, tidak juga untuk jujur mengatakan isi hatinya kepada sang wanita pujaan.

Untuk mencurahkan dan mengungkapkan isi hatinya tentang sang wanita, Armyn bercerita kepada teman satu kosnya yang kebetulan sama-sama berasal dari Palembang, namun berbeda jurusan dengan Armyn. Okta, nama sahabatnya itu, dialah yang selama ini menjadi tempat sampah bagi Armyn dalam mencurahkan perasaan hatinya tentang sang wanita.

Beberapa tahun berlalu, mereka pun lulus dari kampus. Wanita itu mengambil langkah drastis dengan mengiyakan ajakan menikah dari pacarnya. Sementara itu, Armyn yang makin patah hati setalah ditinggal menikah oleh sang wanita pujaan hati, bertekad untuk tidak menikah seumur hidupnya, karena ia tidak yakin dapat mengganti posisi sang wanita dengan wanita lain. Ia juga takut apabila menikah, ia hanya akan menyakiti pasangannya, karena di hatinya, sang wanita pujaan tetap menempati porsi terbesar, tidak dapat terganti oleh siapapun. Okta, sang sahabat, terus menasehati Armyn untuk segera melupakan sang wanita pujaan, karena ia telah milik orang lain. Tetapi Armyn hanya berkata iya di mulut saja, sementara hatinya berkata tidak, dan ia tetap hidup sendiri sepanjang hidupnya.

***

“Armyn,” suara merdu seorang wanita seakan membangunkan Armyn dari lamunannya tentang masa lalu. Armyn yang sedari tadi matanya memperhatikan sungai Musi berbalik untuk mencari asal suara merdu itu. “Kamu...” Armyn tidak bisa berkata apa-apa lagi, dia hanya terpana menyadari sang wanita yang ada di hadapannya. “Sudah, jangan berkata apa-apa lagi. Aku sudah tahu semuanya, Okta telah menceritakan semuanya. Tekadmu, penyakitmu, vonis dokter tentangmu, dan terutama perasaanmu padaku,” wanita itu menjelaskan panjang lebar, “Andai saja aku tahu dari dulu, andai saja kita bisa memutar ulang waktu, andai saja kamu tidak terlalu takut untuk mengungkapkan kepadaku, maafkan aku...”

 “Kamu tidak perlu meminta maaf, seharusnya aku yang meminta maaf karena memendam perasaan ini kepadamu. Kamu tahu sendiri bagaimana watak dan sifat aku. Namun yang pasti, aku tidak menyesal telah mencintaimu, aku tidak menyesal tidak mengatakan ini padamu, aku bahkan menikmati perasaan ini. Aku pun menikmati saat-saat kita bersahabat dahulu, walaupun tanpa cinta. Aku pun turut berbahagia atas pernikahanmu, kehidupan bahagiamu, anak-anakmu, aku sama sekali tidak menyesal,” Armyn berkata dengan penuh kebanggaan.

“Terima kasih atas semuanya Myn, kamu memang sahabat terbaikku. Kamu rela tidak berbahagia demi aku, aku bangga padamu. Sekarang izinkan aku untuk menemanimu disini, menikmati indahnya sungai Musi dari dekat,”

“Tidak masalah, aku pun berterimakasih kamu mau menemaniku disini.”

Suasana kemudian hening, tidak ada diantara mereka berdua yang berbicara, hanya suara kendaraan dan suara orang-orang yang lalu-lalang di sekitar mereka yang terdengar. Akhirnya Armyn memutus kebisuan diantara mereka, “Sekali lagi, aku berterimakasih karena kau telah bersedia menemaniku. Menemaniku di ujung usiaku, menemaniku di saat senjaku, walaupun hanya sejenak, hal ini sangat berarti bagiku,” Armyn menghela nafas, “Aku akan selalu mencintaimu, Jingga, sampai akhir hayatku.”